Di Yogyakarta terdapatlah masjid Agung yang usianya telah ratusan tahun, walaupun begitu di sana tidak pernah sepi dari jamaah sholat apalagi saat sholat Jumat. Tepatnya terdapat di Kotagede masjid Agung itu berdiri.
Masjid Gedhe Mataram merupakan peninggalan sejarah Islam Jawa. Masjid agung tersebut juga mengungkap bahwa Islam di Jawa berhubungan erat dengan kekuatan politik Islam dunia di Turki.
Walaupun akulturasi budaya Jawa banyak yang mengatakan akarnya adalah Hindu dan Budha, namun sejarawan muda, Nurfajarudin mengatakan sebaliknya. Akar budaya Jawa datang dari Islam dan dapat terlihat jelas dari masjid Agung kotagede ini.
Pembentukan Mataram Islam
Dilansir dari Wikipedia.org bahwa menurut catatan Jawa, raja-raja Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng Sela (Sela adalah sebuah desa dekat Demak sekarang). Pada tahun 1570-an, salah satu keturunan Ki Ageng Sela, Kyai Gede Pamanahan dianugerahi kekuasaan atas tanah Mataram oleh raja Pajang, Sultan Adiwijaya. Hal itu dilakukan sebagai imbalan atas jasanya mengalahkan Arya Panangsang (Adipati Jipang).
Pajang terletak di kota Surakarta saat ini dan Mataram awalnya adalah vasal (taklukan) dari Pajang. Pamanahan sering disebut sebagai Kyai Gede Mataram. Gelar Kyai disematkan pada seorang ulama muslim yang berpendidikan tinggi dan cenderung disegani.
Putra Pamanahan, Sutawijaya atau Panembahan Senapati, menggantikan ayahnya sekitar tahun 1584 dan dia mulai melepaskan Mataram dari kekuasaan Pajang. Selama Sutawijaya berkuasa, Mataram tumbuh secara substansial melalui kampanye militer melawan penguasaan Mataram atas Pajang oleh Arya Pangiri.
Kesultanan Pajang benar-benar runtuh pada 1587 dan mengakui keberadaan Kesultanan Mataram Islam. Panembahan Senapati sebagai pendiri pemerintahan Mataram Islam kemudian menobatkan diri sebagai raja atau sultan pertama bergelar Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama (1587-1601). Pusat pemerintahan kesultanan Islam Mataram ini berada di Kotagede, Yogyakarta.
Sutawijaya menjadi pemimpin monarki dengan menyandang gelar Panembahan (secara harfiah berarti ‘orang yang dijunjung’). Dia mengungkapkan sifat pemerintahannya yang ekspansif dan mulai memproyeksasi manuver politiknya sesuai ketentuan, layanan, dan fungsi administrasi ke timur di sepanjang Bengawan Solo.
Sepanjang abad ke-16, tepatnya pada puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Anyakrakusuma, Mataram adalah salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan yang menyatukan sebagian besar pulau Jawa, Madura, dan Sukadana (Kalimantan Barat) serta Pulau Sumatera (Palembang dan Jambi). Kesultanan ini terdiri dari wilayah kutagara, nagaragung, mancanagara, pasisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi.
Islam, Mataram dan Masjid Gedhe
Pengaruh Islam sangat terlihat dari gelar Panembahan Senopati yang berbahasa Arab, ‘Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama’. Menurut Nurfajarudin dalam Chanel JKDN Production di Youtube ia mengatakan, tidak ada gelar di kesultanan Nusantara yang bergelar demikian. Kata ‘Penembahan senopati’ ini telah mengalami akulturasi Bahasa, dari Arab kepada Bahasa Jawa.
Penembahan merupakan pemimpin tertinggi, bila di Arabkan, pemimpin tertinggi ini disebut sulthon, sedangkan Senopati itu berarti kesatria. Sehingga ‘Penembahan Senopati’ bila dalam bahasa Arab menjadi Sulthonun Ghozy. Dalam era yang sama, gelar Sulthonun Ghozy ini juga ada di kesultanan Aceh, yaitu gelar yang disematkan pada Sultan ‘Alaudin Ri’ayat Syah yang berhubungan dengan kekuasaan islam di Turki.
Akulturasi ini, menurut Nurfajarudin karena adanya hubungan keilmuan dari Ki Ageng Sela yang merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Dipercaya bahwa Sunan Kalijaga adalah peletak dasar akulturasi budaya Islam di tanah Jawa. Bagaimana beliau membuat cara dan wasilah agar Islam dapat sampai ke masyarakat Jawa.
Akulturasi budaya tersebut juga sangat terlihat pada bangunan masjid Gedhe Mataram. Masjid yang dibangun saat Panembahan Senopati berkuasa pada tahun 1587. Sangat tampak dari fisik bangunan masjid yang seperti candi, gapura, adanya kolam kecil di depan masjid termasuk adanya pohon beringin di halaman masjid seakan menggambarkan ajaran Hindu dan Budha.
Padahal dari kesemuanya itu mengandung filosofi Islam dan bukan lahir dari ajaran Hindu ataupun Budha. Sehingga bisa dikatakan bahwa semua budaya Jawa adalah lahir dari filosofi Islam. Namun saat Belanda datang, sang penjajah itu merusak tatanan Islam yang sudah kental di tanah jawa.
Mereka mempelajari budaya Jawa yang sudah berakulturasi dengan Islam secara mendalam lalu dibelokkan menjadi hal yang berbau sinkritisme. Hingga sekarang yang masyarakat pahami tentang budaya Jawa itu penuh dengan mistis dan sinkritisme, padahal kesemuanya adalah usaha Belanda yang memporak porandakan budaya yang sudah tertanam di masyarakat.
Sehingga bila dipelajari lebih dalam, sejarah nusantara sangat dekat dan berhubungan dengan kekuasaan Islam di Turki. Seperti yang dikatakan oleh Sri Sultan Hamengkubowono X pada saat pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta, 2015 silam, bahwa Keraton Yogyakarta merupakan perwakilan kekhalifahan Islam di Jawa.
“Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.” (Republika.co.id 12/2/2015).
Wallahualam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar