Masalah bangsa ini sebenarnya sangat banyak, namun saat ini ada fokus yang sedang menjadi proyek besar pemerintah yaitu mengkampayekan moderasi beragama dan kontra narasi radikalisme. Padahal masalah bangsa yang saat ini terjadi di tiap sektor, tak lebih kecil bahkan bisa membinasakan negeri.
Sepertinya memang ada upaya sistematis bahwa terorisme dan radikalisme menjadi bahaya bersama untuk segera diberantas dengan opini moderasi beragama ini. Upaya tersebut dapat dilihat antara lain dari biaya anggaran moderasi beragama yang membengkak sampai delapan kali lipat hingga 3,2 trilyun rupiah (Republika.id 28/9/2021).
Selain itu gagasan moderasi beragama ini menjadi salah satu rencana program jangka menengah nasional tahun 2020-2024 (kemenag.go.id 1/5/2021). Sehingga otomatis setiap Departemen harus mengikuti pengarusutamaan moderasi beragama ini.
Dimana Titik Kritis Moderasi Beragama?
Dalam moderasi beragama, kaum muslimin menjadi pelaku yang menyebarluasan gagasan ini sekaligus menjadi penerimanya. Tentunya yang menjadi pelaku adalah tokoh-tokoh ataupun pemikir-pemikir Islam yang dipercaya oleh umat secara luas. Namun ajaran Islam yang dibawa mereka telah disesuaikan dengan ide sekuler barat.
Bila masyarakat telah dicekoki dengan moderasi Islam yang ternyata sudah terkontaminasi dengan ide barat, maka pastinya masyarakat akan kebingungan. Bingung memilih mana Islam yang lurus dan mana yang telah dicelup dengan nuansa sekuler. Dengan tujuan akhir adalah umat Islam menentang syariat yang seharusnya menjadi tolok ukur kehidupan.
Makna Ummatan Washathan yang Sesuai Nash
Dalam mengarus utamakan moderasi beragama, seringkali penyerunya membawa dalil agar argumennya selaras dengan Islam. Mencari dan memeras dalil agar gagasan ini dapat dipercaya oleh masyarakat dan sekaligus menerimanya. Akhirnya frasa ummatan washathan dalam surat Albaqarah, 143 dijadikan sebagai dalil moderasi beragama.
Dalam surat Al Baqarah, 143 Allah berfirman,” Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” (ummatan wasathon) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Kata-kata Umatan Washathon dalam ayat di atas lah yang menjadi landasan moderasi beragama. Karena mereka hanya ingin mencari pembenaran terhadap aktivitas yang sedang dilakukan, hingga butuh merubah tafsir ayat Allah swt. Orang-orang sekuler menginginkan agar umat Islam menjadi umat yang di tengah, tidak ke kanan ataupun ke kiri, dengan kata lain jangan terlalu fanatik dalam beragama, biasa-biasa saja.
Padahal tafsir kata Ummatan Washathon yang sebenarnya sangat jauh dari yang di gaungkan penyeru moderasi beragama. Menurut Ust Yuana Ryan Tresna, Mudir Ma'had Khadimus Sunnah Bandung, terdapat banyak pendapat dari para ulama yang mengarah pada pengertian wasathiyah (bagian pertengahan) Hal itu dapat kita jumpai dalam pendapatnya Ibnu ‘Asyur, al-Asfahani, Wahbah az-Zuhaili, ath-Thabari, Ibnu Katsir dan lain sebagainya.
Kemudian yang dimaksud dengan tengah-tengah, menurut Imam ath-Thabari terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al wasath bermakna al ‘adl. Pasalnya, hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang (tengah-tengah) dan bisa disebut sebagai orang pilihan.
Selain bermakna adil, ummatan wasathan juga berarti umat pilihan. Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad saw sebagai umat yang adil di antara umat yang lain, untuk menjadi saksi atas umat manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. Al wasath dalam perkataan orang-orang Arab berkonotasi al khiyâr (pilihan) dan orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil.
Berdasarkan pengertian tersebut, sering dipersoalkan mengapa Allah lebih memilih menggunakan kata al wasath daripada kata al khiyar. Setidaknya hal ini terkait dua sebab, pertama, Allah menggunakan kata al wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain.
Posisi saksi semestinya berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik.
Kedua, penggunaan kata al wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik. Pasalnya, mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah maupun muamalah.
Dengan memahami bahwa frasa ummatan wasathan itu bermakna umat pilihan dan adil (khiyaran ’udulan), maka gagasan moderasi beragama yang memang diproyeksikan untuk umat muslim, sama sekali tidak ada landasan dalilnya. Umat yang adil adalah umat yang menegakkan ajaran Islam, bukan umat yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam.
Moderasi beragama itu pada hakikatnya ingin agar Islam tidak tampil sebagai pemberi solusi yang nyata pada tiap masalah kehidupan. Karena solusi yang disodorkan berasal dari ide sekuler, memisahkan antara agama dengan kehidupan.
Seperti kutipan pembicaraan DR Angle Rabasa, peneliti Rand Coorporation, NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat (AS) bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 September. Rabasa mengatakan bahwa moderat artinya orang yang mau menerima pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, demokrasi, kemudian humanisme dan lain sebagainya (Hidayatullah.com 8/10/2021). Wallahu’alam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar