Menakar Kelayakan Layanan di Balik Award BPJS Kesehatan

 


BPJS Kesehatan memperoleh penghargaan sebagai Indonesia Best Brand Award 2021 Kategori Asuransi Kesehatan dalam ajang yang diselenggarakan oleh kolaborasi SWA dan MARS Digital. Menurut survei yang dilakukan SWA dan MARS Digital di sejumlah kota besar di Indonesia selama tiga bulan dengan lebih dari 10.000 responden, BPJS Kesehatan dinilai dapat mempertahankan brand image di tengah pandemi Covid-19 yang hingga kini belum berakhir. (bpjs-kesehatan.go.id, 26/11/2021).

Sebuah penghargaan atau award pada umumnya menunjukkan prestasi atau keberhasilan dari seseorang, perusahaan, lembaga atau sebuah program. Jika diamati perjalanan pelayanan BPJS dari tahun ke tahun, justru menunjukkan realitas yang sebaliknya. Prosedurnya terkenal berbelit-belit dan menyulitkan. Pasien merasa dianaktirikan karena layanan cenderung diprioritas untuk pasien umum atau non BPJS, baik dari segi tindakan maupun jenis obat.

Fakta ini dikuatkan Hery Susanto, anggota Ombudsman RI yang mengatakan bahwa masalah pelayanan BPJS Kesehatan yang banyak diadukan meliputi masalah antrean pelayanan, pasien yang ditolak rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Selain itu, tindakan tertentu seperti operasi yang kerap mundur atau sulitnya mendapatkan jadwal tindakan juga banyak dilaporkan masyarakat. "Masih banyak lagi laporan masyarakat yang mengeluhkan penyelenggaraan pelayanan BPJS Kesehatan. (ombudsman.go.id, 10/04/2021).

Meskipun skema BPJS membantu masyarakat, tapi faktanya tidak dapat mengcover secara keseluruhan. Baik dari segi jumlah masyarakat yang terlayani maupun jenis penyakit yang ditanggung. Mayoritas pasien masih kesulitan berobat dengan layak dan optimal walaupun program BPJS sudah ada sejak dulu.

Jika tidak ada korelasinya dengan kualitas pelayanan, lantas apa indikator yang digunakan untuk menilai BPJS layak menerima penghargaan?

Inilah yang terjadi jika aturan hidup dibuat oleh manusia. Dalam menentukan kebijakan ada motivasi atau kepentingan lain yang cenderung hanya untuk mengejar materi dan kepuasan dunia. Memperturutkan hawa nafsu.

Orientasi manusia yang condong kepada materi dan materi seperti ini adalah ciri khas prinsip kapitalisme. Asasnya adalah manfaat, tolok ukurnya adalah untung rugi. Langkah apapun akan diambil selama menambah pundi-pundi rupiah. Bahkan menjadikan kesehatan sebagai celah bisnis karena memang berpotensi mendatangkan keuntungan.

Citranya terus dijaga agar keberadaannya diakui, menciptakan kesan dibutuhkan, atau menutupi kegagalan demi meraih kepercayaan, hingga roda bisnisnya bisa terus berjalan. Termasuk melalui ajang penghargaan atau yang lain.

Kapitalisme sendiri lahir dari sistem sekularisme, yang sengaja memisahkan agama dari kehidupan. Urusan kesehatan dianggap tidak ada hubungannya dengan Tuhan, maka tidak perlu menggunakan aturan Tuhan (agama).

Kapitalisme secara halus mengusik ranah aqidah, terutama muslim. Umat tidak sadar digiring merasa takut akan masa depan. Hingga melemahkan sikap tawakkal akan ketetapan-ketetapan Allah.

Aturan ala kapitalisme menjadikan "jaminan keamanan masa depan" sebagai celah yang bisa dimanfaatkan. Terbukti melalui bisnis asuransi cukup efektif menarik uang umat, yang kemudian dikelola dengan segala cara agar mendapatkan keuntungan berlipat.

Karena menjadi komoditas bisnis, kesehatan menjadi kebutuhan dasar yang sulit didapatkan. Rakyat harus membayar sendiri dengan biaya mahal untuk mendapatkan layanan kesehatan. Atau mencoba mengambil fasilitas BPJS namun dengan realitas yang telah dijelaskan sebelumnya. Sementara negara hanya menjadi regulator atau fasilitator dalam hal legalitas kebijakan, sementara tanggungjawab pengurusan diserahkan kepada pihak lain.

Padahal keberadaan manusia dan alam semesta tidak bisa dilepaskan dari Tuhan Sang Pencipta. Dan Tuhan tidak hanya Maha Menciptakan tapi juga Maha Mengatur semua yang diciptakan dalam segala aspek, termasuk kesehatan, dan lain-lain.

Dalam sistem Islam, jaminan kesehatan adalah hak individu yang wajib dijamin oleh negara dengan mudah bahkan gratis. Negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh memungkinkan memiliki potensi kekayaan yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan pokok rakyatnya, yaitu sandang, pandang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Kekayaan negara salah satunya diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang tata cara pengelolaannya pun sesuai dengan hukum syara’. Dimana segala potensi kekayaan alam akan sepenuhnya di kelola negara dan haram hukumnya diserahkan kepada pihak lain, swasta apalagi asing, tidak seperti yang tengah terjadi hari ini.

Fakta membuktikan sistem kapitalisme jelas rusak dan merusak, sementara ada sistem Islam yang sempurna, yang secara komprehensi menawarkan solusi pemecahan segala problematika umat. Mana yang lebih baik? “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah: 50). [AR]




Posting Komentar

0 Komentar