Mengapa Harus Khilafah?



Dikit-dikit kok khilafah, apapun masalahnya ujung-ujungnya khilafah, memangnya nggak ada solusi lain? Apa hubungannya kemiskinan dengan khilafah? Memangnya pergaulan bebas sampai korupsi bisa diberantas di bawah sistem khilafah? Apa iya bisa membangun negara tanpa utang riba kalau pakai khilafah? Mengapa harus khilafah?

Apakah pertanyaan-pertanyaan di atas juga ada di benak Anda hari ini? Maka, mari sama-sama kita mencari jawabannya. Karena pertanyaan “mengapa” atau “strong of why” akan mengarahkan kecenderungan kita dalam memilih dan atau melakukan sesuatu. Mengapa harus memilih jalan ini dan bukan itu? Mengapa membeli barang A dan bukan B? Mengapa harus khilafah, bukan yang lain?

Saat kita belum menemukan jawaban yang tepat mengapa kita harus shalat, mengapa kita harus puasa, mengapa kita harus menurup aurat, maka wajar hari ini tidak sedikit umat muslim yang meninggalkannya. Ataupun menjalankannya hanya sekedar rutinitas atau karena perintah orangtua atau guru. Bukan karena dorongan atau kesadaran dari dalam hati. Inilah pentingnya memahami “strong of why”.

Sementara itu, “strong of why” tidak datang dengan tiba-tiba. Salah satunya bisa ditempuh melalui jalan ilmu. Bagaimana kita memahami hakikat diri, siapa kita, dari mana asal kita, untuk tujuan apa kita hidup didunia, dan akan kemana setelah mati, mengapa kita memilih Islam dan sebagainya. Maka kita harus menemukan jawabannya, sehingga pilihan hidup yang kita ambilpun atas dasar pemahaman dan dilakukan dengan penuh kesadaran.

Mengapa harus khilafah? Maka kita harus mencari tahu dulu apa itu khilafah? Jangan kemudian asal mengikuti arus opini yang masih simpang siur dan tidak jelas sumbernya.

Khilafah penjelasan sederhananya adalah sistem pemerintahan Islam. Dalam buku Cinta Indonesia Rindu Khilafah, Muhammad Choirul Anam mengutip pendapat beberapa ulama tentang apa itu khilafah. Salah satunya menurut Imam Al-Mawardi, dalam kitabnya Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Imamah atau Khilafah adalah pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia. Jadi, definisi khilafah secara syar’i dan komprehensif adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslim seluruhnya di dunia untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. (hal.275-276).

Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim, diambil dari hadist Rasulullah saw., “Imam yang (mempimpin) atas manusia adalah bagaikan seorang penggembala dan dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya (rakyatnya). (Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidzi).

Adapun yang menunjukkan bahwa khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslim di dunia, adalah dari hadist Rasulullah saw., “Jika dibaiat dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya”, (Shahih Muslim).

Sungguh ketetapan Allah Swt. adalah sebaik-baik ketetapan dan Rasulullah saw. adalah sebaik-baik suri tauladan. Rasulullah saw. bersabda, “...Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk...”.

Rasulullah saw. dan para Khulafaur Rasyidin menjalankan syariat Islam secara menyeluruh, tanpa tapi, tanpa nanti, sammi’na wa ato’na. Karena memang Syariat Islam Allah turunkan untuk ditegakkan di muka bumi, mengatur manusia, alam semesta dan kehidupan. Dan, semua aturan tersebut tidak mungkin bisa dijalankan dan ditegakkan individu ataupun kelompok saja, tapi harus ada institusi negara sebagai pemilik otoritas tertinggi.

Fakta sejarah tak bisa dibantah bahwa syairat Islam pernah tegak di bawah negara (daulah) khilafah selama lebih dari 13 abad. Meninggalkan peradaban gemilang yang jejaknya masih ada hingga hari ini. Terlepas dalam perjalanannya ada beberapa penyimpangan bukan kemudian mengubah status hukum wajibnya menegakkan syariat Islam menjadi boleh di tawar, diotak-atik apalagi ditinggalkan. Sejarah bukanlah sumber hukum, namun darinya dapat kita ambil pelajaran, dengan harapan kedepan menjadi lebih baik.

Setelah runtuhnya khilafah, lihat faktanya hari ini. Kerusakan terjadi diberbagai lini. Terkhusus umat muslim, terstigma buruk, bodoh, miskin, hingga cap radikal dan teroris.  Hukum Allah diacak-acak, yang haram di halalkan, hak dan batil dicampur adukkan.

Hal ini terjadi karena otoritas tertinggi hari ini mengatur manusia, alam semesta dan kehidupan menggunakan aturan buatan manusia. Sebagai sebuah konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi, dimana asasnya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat melalui para wakilnya merancang bagaimana berekonomi, bagaimana berpolitik, bagaimana menyusun kurikulum pendidikan dan lain-lain. Muncullah kemudian UU cipta kerja, UU omnibuslaw, UU minerba, yang dinilai hanya mengakomodir kepentingan para korporat dan mengabaikan kepentingan rakyat. Hingga terbaru Permendikbud No.30 yang dianggap justru melegalkan zina.

Sementara di bawah naungan khilafah, hak membuat hukum ada pada Allah Swt. Sang khalifah sebagai pemegang otoritas tertinggi mengatur manusia, alam semesta dan kehidupan menggunakan aturan dari Sang Pencipta. Sumber hukumnya jelas dan tidak berubah dari awal hingga akhir zaman, yaitu Alquran dan Sunah.

Khalifah bertanggungjawab atas ketaqwaan individu, masyarakat hingga negara. Bagaimana agar seluruh umat muslim menegakkan shalat namun juga meninggalkan riba. Bagaimana agar kekayaan alam tidak dikuasai oleh individu apalagi asing, karena itu hak umat. Tidak ada yang meragukan potensi kekayaan negeri-negeri muslim. Banyak ahli yang menghitung jika semua dikelola sesuai syariat Islam tidak akan ada lagi orang miskin, tidak akan ada lagi pejabat yang kongkalikong korupsi, tidak akan ada lagi cerita membangun negara dengan utang apalagi riba.

Bagaimana agar sistem pendidikan melahirkan generasi bervisi besar dan jauh hingga akhirat. Tumbuh di dalam hati mereka rasa takut kepada Allah hingga selalu berusaha mejaga dari diri dari pergaulan yang dilarang. Bagaimana membebaskan negeri-negeri muslim terjajah, yang hari ini tidak bisa dilakukan karena terhalang sekat nasionalisme. Mungkinkah semua itu terwujud jika menggunakan sistem atau aturan selain Islam? Fakta hari ini adalah jawabannya.

Dengan mengamati fakta, kemudian diperjelas dengan argumentasi logis, ditambah adanya dasar dalil, harusnya semakin memuaskan akal, menentramkan hati dan menjadi strong of why yang kuat untuk menjawab “Mengapa harus khilafah?”.

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Dulu Bani Israel dipimpin dan diurus oleh para nabi. Jika para nabi itu telah wafat, mereka digantikan oleh nabi yang baru. Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi, tetapi akan ada para khalifah yang banyak.” (HR Bukhari dan Muslim).

Juga hadist rasulullah “Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada.  Lalu  Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada.  Lalu  Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya  akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR Ahmad dan al-Bazar).

Dengan atau tanpa kita, takdir Allah akan tetap berjalan. Termasuk kabar Rasulullah saw. akan kembalinya khilafah kedua. Namun bukan berarti khilafah akan tegak dengan sendirinya. Khilafah akan tegak karena ada orang-orang hanif yang terus memperjuangkannya, sejak runtuh tahun 1924, hingga hari ini. Hari ini kita mengenal kata khilafahpun karena ada yang mendakwahkannya bukan?. Semua kejadian tetap ada hubungan kausalitas, sebab akibat. Hanya masalah hasil, kapan, siapa, dimana, bagaimana, itu Allah yang menentukan.

Yang belum ditentukan adalah dimana posisi kita. Karena ini adalah pilihan. Peran apa yang kita ambil? Sebagai pejuangnya kah? Penontonkah? Atau justru penentang? Peran itulah yang membedakan nilai kita dihadapan Allah. Kalau kita tidak mengambil peran sebagai pejuang, maka ada orang lain yg mengambil peran itu.

Jadi, mengapa harus khilafah?


Oleh Anita Rachman
Muslimah Peduli Peradaban

Posting Komentar

0 Komentar