Upaya kaum kafir untuk menghadang Islam politik tak pernah surut. Ini dibuktikan dengan beraneka ragam program yang dicetuskan dan dijalankan untuk itu. Program yang sangat memukul kaum muslimin adalah program penghancuran daulah khilafah di Turki tahun 1924.
Program untuk menghancurkan jantung kaum muslimin itu sudah berlangsung sangat lama, namun baru berhasil ketika umat Islam mengalami kemunduran secara akidah. Tak lama setelah keruntuhan Khilafah, Barat mulai menjalankan kesepakatan mereka yang tertuang dalam perjanjian Sykes-Picot, membagi-bagi wilayah bekas daulah menjadi wilayah jajahan mereka.
Untuk melanggengkan hegemoni mereka atas tanah jajahan, isu nasionalisme pun dimainkan. Mereka tak ingin kaum muslimin bersatu kembali dalam naungan institusi politik khilafah. Karenanya negara bangsa (nation state) dibuat agar kaum muslimin hanya berpikir untuk skala teritorialnya saja.
Para penguasa boneka dilibatkan untuk memuluskan berbagai program tersebut. Menanamkan rasa nasionalisme, menjauhkan kaum muslimin dari agamanya, mengarahkan pemikiran kaum muslimin hanya untuk memikirkan kondisi negerinya tanpa memikirkan negeri muslim yang lain, mengubah parameter kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai barat dan sebagainya.
Di antara program-program yang ada, yang kini sangat menyakitkan kaum muslimin adalah program deradikalisasi. Program ini secara tidak langsung telah menuding Islam sebagai ajaran radikal yang harus dijauhi kaum muslimin. Secara global peristiwa 911 menjadi titik awal program ini dicetuskan.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam tak luput dari sasaran program ini. Di dalam negeri, Perpres RAN PE no 7 tahun 2021 adalah contoh nyata bagaimana seriusnya pemerintah melakukan upaya deradikalisasi ini.
Program moderasi beragama yang sangat deras akhir-akhir ini juga merupakan bagian dari upaya menghadang Islam politik. Ungkapan Said Agil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam pembukaan Muktamar NU ke-34 sangat jelas menunjukkan hal ini.
Sebagaimana dilansir Kompas.com (22/12/21), Said Agil mengakui bahwa sikap moderat yang ditempuh NU membuat sebagian pihak yang tak setuju bersikap sinis. Ia mengambil contoh terkait dua organisasi Islam yang punya kecenderungan eksklusif dan intoleran, HT1 dan FP1. "Mereka yang tidak paham sikap NU atas HT1 maupun FP1 barangkali memang belum mengerti betul betapa berat moderasi kutub-kutub ekstrem di negeri ini," ucap Said.
Ungkapan ini menyiratkan bahwa program moderasi beragama ini memang ditujukan untuk menghadang kebangkitan Islam dan tegaknya institusi khilafah. Bisa dipahami demikian karena FP1 adalah organisasi yang sangat tegas dalam melakukan amar makruf nahi munkar, HT1 adalah organisasi yang sangat konsen dalam menyerukan Islam kafah dan tegaknya khilafah, sedangkan gerakan 212 adalah sekumpulan massa yang merindukan formalisasi syariat Islam dalam kehidupan bernegara.
Jelaslah bahwa berbagai jenis program yang dibuat ini berawal dari upaya Barat untuk menghadang kembalinya Islam ke kancah politik dunia. Mereka sangat takut jika Islam kembali bangkit dan menguasai dunia. Ini jelas digambarkan dalam Al Qur’an. Allah SWT berfirman:
لَأَنتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِى صُدُورِهِم مِّنَ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُونَ
“Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Hasyr: 13)
Ketakutan Barat akan bangkitnya Islam ini harus dipahami sebagai sebuah peluang untuk terus mendakwahkan Islam secara kafah. Sekeras apapun upaya mereka untuk menghadang kebangkitan Islam, dakwah tak boleh berhenti. Sebab kaum muslimin yang menjalankan dakwah akan mendapat pahala yang besar di sisi Allah, sesulit apapun kondisinya dan bagaimanapun resikonya.
Apalagi jika kaum muslimin meyakini apa yang tertulis dalam Al Qur’an. Allah SWT telah mengabarkan bahwa mereka memiliki permusuhan yang sangat kuat dengan sesama mereka. Allah berfirman:
بَأْسُهُم بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ ۚ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ
“Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti”.(QS. Al Hasyr: 14)
Karena itu tak pantas kaum muslimin yang menginginkan kebangkitan Islam gentar dengan semua program-program yang telah dirancang dan berbagai resiko yang telah disiapkan. Meyakini bahwa Allah akan menolong siapa saja yang menolong agama-Nya adalah kunci utama yang harus dimiliki kaum muslimin untuk terus bersemangat mendakwahkan Islam politik ini ke seluruh penjuru dunia. Wallahu.
Kamilia Mustadjab
0 Komentar