Menumpuk Utang Demi Proyek Kereta, Siapa yang Diuntungkan?

 



Pemerintah Indonesia kerap menjadikan kebijakan utang luar negeri, sebagai solusi untuk mengatasi masalah finansial negara. Maka sangatlah wajar jika Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki utang terbanyak. Adanya wabah pandemi covid-19, lagi-lagi menjadi dalih bagi pemerintah Indonesia untuk berutang kembali. Namun, benarkah negara berutang itu untuk mengatasi perekonomian di kala pandemi?


Ekonom Senior Indef dari Universitas Indonesia Didik J, Rachbini menyatakan bahwa dalam periode kedua pemerintahan Joko Widodo bakal berpotensi menumpuk utang negara. Dalam pemerintahannya, gagasan pembangunan infrastruktur terus berjalan, meski kedepannya negara akan mengalami kerugian besar dan akan menghadapi resiko besar. Utang untuk proyek kereta cepat saja  baru akan terlunasi  hingga 100 tahun mendatang (Law Justice, 12/12/21)


Dalam laporan International Debt Statistics (IDS) 2021 yang dirilis Bank Dunia. Indonesia menempati posisi ketujuh dari daftar 10 negara berpenghasilan kecil dan menengah dengan utang luar negeri terbesar di dunia. Ini tentunya bukan prestasi yang membanggakan bagi sebuah negara. Mengingat negara yang memiliki utang akan tunduk dan patuh dengan berbagai penjanjian sebagai kompensasi dari utang tersebut.


Indonesia yang dijuluki Zamrud Khatulistiwa, memiliki kekayaan yang melimpah ruah. Seharusnya dengan kekayaan alam yang dimilikinya, Indonesia menjadi negara yang makmur dan sejahtera. Namun fakta berbicara lain, kekayaan alam tersebut dengan sukarela diberikan kepada asing dan aseng untuk dikelola. Sedangkan untuk menghidupkan negara ini, dengan mengandalkan pajak dan utang luar negeri.


Justru pemerintah begitu gencarnya berutang untuk pembangunan infrastruktur. Berapa banyak infrastruktur yang sudah dibangun seperti, bandara, pelabuhan, kereta cepat dan lain sebagainya, yang menghabiskan uang negara, hingga negara harus berutang. 


Dari fakta di atas, jelaslah bahwa pemerintah berutang untuk pembangunan infrastuktur bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan korporasi/pemilik modal. Pemerintah kekeuh berutang tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan dari adanya utang luar negeri. Walhasil, seperti yang kita lihat saat ini, Indonesia menjadi negara yang kehilangan kedaulatannya dan para korporasi dengan mudah mengendalikan semua kebijakan yang akan diterapkan di negeri ini.


Ini semua terjadi karena negeri ini telah berkhidmat pada sistem kapitalis sekuler untuk diterapkan dalam lini kehidupan. Sudah menjadi tabiat buruk dari sistem yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan, yang memandang segala sesuatu dari kacamata materi/bisnis semata. Dan akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung berbagai dampak ekonomi yang ditimbulkan dari penerapan sistem ini. 


Adapun kehadiran penguasa yang lahir dari sistem tersebut, hanya akan hadir jika untuk melayani kepentingan para pemilik modal. Bahkan pemerintah menjadi pelayan setia mereka dan menuruti apa saja yang diinginkan oleh “bos besar” mereka. Sedangkan rakyat bagi rezim penguasa, tak lebih dari sekedar sapi perahan bagi negara. Rakyat dipaksa untuk membayar pajak sebagai bentuk loyalitas kepada negara. Padahal negara sendiri tidak memberikan apa-apa kepada rakyat selain kemiskinan dan penderitaan. Miris nian nasib rakyat yang harus merasakan hidup dalam sistem yang rusak dan merusak ini. 


Fenomena periayahan negara seperti ini tidak akan pernah dijumpai dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Pasalnya, sistem khilafah adalah sistem pemerintahan yang bersumber dari sang pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan, yaitu Allah Swt. Yang paling mengetahui aturan yang terbaik bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Kehadiran khilafah ditengah rakyat untuk menjamin dan memenuhi apa saja yang diperlukan oleh rakyat.


Yang pengurusan ini dilakukan oleh seorang pemimpin (khalifah) yang sangat memahami tupoksinya sebagai pelayan umat. Dengan penerapan sistem ekonomi berbasis syariat Islam, khalifah menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, dari sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan lainnya seperti infrastruktur jalan, jembatan dan lain sebagainya.


Infrastruktur merupakan hal yang penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, khalifah wajib membangun infrastruktur yang baik, bagus dan merata hingga ke pelosok negeri. Di dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khattab, diceritakan bahwa khalifah Umar menyediakan pos dana khusus dari Baitu Mal untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan semua hal yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. 


Pengelolaan baitul mal sebagai APBN negara dengan pengaturan kepemilikan yang sangat jelas menjadikan sumber APBN kuat. Khilafah juga memiliki kebijakan pengeluaran yang sangat ketat, sehingga pengeluaran tidak boros dan berskala prioritas yaitu terelesaikan urusan umat. Tak ada campur tangan asing dan bebas dari korporasi dalam mengelola kepemilikan baik umum maupun negara.


Sumber APBN yang melimpah ini negara tak perlu menetapkan pajak kepada rakyatnya seperti halnya yang terjadi dalam sistem kapitalis sekuler, apalagi harus berhutang pada negara kafir. Dengan mekanisme penerapan syariat Islam kaffah inilah khilafah mampu membiayai pembangunan negara dan kebutuhan rakyatnya. Sehingga umat manusia akan kembali menikmati hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran.


Sudah sangat jelas bahwa yang menjadi sumber permasalahan yang dihadapi oleh negeri ini, dan dunia adalah penerapan sistem kapitalis sekuler. Sudah saatnya kita ganti sistem yang rusak ini dengan sistem khilafah yang telah terbukti selama ratusan tahun mampu menyejahterakan seluruh umat manusia dengan kesempurnaan syariat-Nya. Wallahualam.

Oleh Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar