Mewaspadai Arus Besar Legalisasi Zina di Balik Perda Perlindungan Anak

 





Kasus penganiayaan anak disabilitas berusia tiga belas tahun di Kampung Sinar Bakti, Desa Buni Asih, Kecamatan Tegal Buleud Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat telah menarik perhatian pemerintah, bahkan Menteri Sosial Risma—sapaan akrab Mensos—memberikan perlindungan hukum dan menawarkan layanan balai Kementerian Sosial kepada korban penganiayaan (jabar.genpi.co, 5/12/2021). 

Maraknya kasus penganiayaan terhadap anak di Sukabumi pun dijadikan momen untuk melakukan sosialisasi perda perlindungan anak. Dilansir dari tatarsukabumi.id (15/12/2021), Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, Dessy Susilawati melaksanakan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Jabar Nomor 3 tahun 2021 tentang perlindungan anak. Sosialisasi ini dilangsungkan di Kadudampit Sukabumi, dengan peserta Perempuan Amanat Nasional (PUAN) Kota Sukabumi.

Sosialisasi ini membahas Perda tentang perlindungan anak yang sebelumnya yakni Perda nomor 5 tahun 2006 tentang perlindungan anak yang sudah tidak relevan dengan perkembangan peraturan perundang - undangan dan kebutuhan daerah saat ini. Sehingga sejak 10 Februari 2021, perlindungan anak diatur dalam Perda nomor 3 tahun 2021.

Sayang sekali dalam perda tersebut ada pasal yang perlu dikiritisi karena diduga kuat akan menjadi payung pelegalan zina. Hal ini tertuang dalam Pasal 21 tentang pemenuhan hak Pendidikan pada huruf f yang berbunyi: 

“fasilitasi akses Pendidikan bagi anak yang sudah menikah”
Pada bagian penjelasan yang dimaksud Pasal 21 huruf f yaitu fasilitasi akses Pendidikan bagi anak yang sudah menikah adalah tidak melarang anak yang sudah menikah untuk bersekolah.

Bila kembali ke definisi anak dalam perda tersebut, anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun. Maka dari pasal tersebut, anak di bawah delapan belas tahun tetapi sudah menikah akan diberikan izin dan diperbolehkan tetap melanjutkan sekolah. Padahal UU Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia minimal pernikahan yakni Sembilan belas tahun. Sehingga usia delapan belas tahun seharusnya tidak boleh menikah.

Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negara dengan perkawinan anak tertinggi ke-7 di dunia. Oleh karena itu, melalui rapat paripurna pada 16 September 2019 lalu, DPR menyetujui revisi batas usia pernikahan anak. Sebelumnya, perempuan bisa menikah setelah berusia 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Kini, baik perempuan maupun laki-laki baru bisa menikah setelah menginjak 19 tahun.  Saat itu berbagai alasan diungkapkan untuk menyukseskan kampanye pelarangan pernikahan dini, di antaranya karena melanggar hak anak, dianggap mendiskiriminasi perempuan, dan berbahaya bagi kesehatan reproduksi. 

Berdasarkan hal tersebut, adanya perda ini memperlihatkan kontradiksi di antara keduanya. Perda ini seakan dipaksakan untuk memberikan kelonggaraan anak-anak yang menikah dini bisa melanjutkan sekolah. Sungguh, bukan izin sekolah setelah menikah yang menjadi masalah. Namun, kita ketahui bahwa pernikahan dini telah dilarang kecuali sudah mendapat dispensasi. Pernikahan dini yang mendapat dispensasi yaitu apabila perempuannya sudah hamil di luar nikah. Dengan kata lain, anak yang sudah menikah yang tidak boleh dilarang bersekolah yang dimaksud pada pasal tersebut adalah anak yang menikah karena telah hamil di luar nikah. Dengan kata lain, mereka adalah remaja yang telah melakukan perzinaan. 

Dilegalkannya perda yang dapat memberikan pemakluman kepada pelaku zina ini melengkapi beberapa undang-undang yang juga sebelumnya telah menuai kontroversi karena dianggap melegalkan zina yaitu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) dimana definisi kekerasan seksual yang tertuang di dalamnya jelas bertentangan dengan syariat Islam. 

Menurut Nazar Haris, Ketua Majelis Ormas Indonesia (MOI), di antara poin yang dikritisi dan ditolak oleh Majelis Ormas Indonesia (MOI) dari permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai agama, akan tetapi persetujuan dari para pihak, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah (kumparan.com, 2 November 2021).

Salah Mengidentifikasi Masalah
Berbagai solusi yang diberikan untuk masalah yang menyangkut kekerasan pada anak sangat tidak relevan dan justru akan menambah permasalahan yang ada. Kesalahan mengidentifikasi masalah membuat negara salah dalam menghadirkan solusi. Sangat jelas kontradiksi antara masalah dan solusi yang dihadirkan. Berbagai kekerasan yang terjadi pada anak dipicu oleh kesalahan cara pandang terhadap kehidupan. Faktor penyebabnya sangat erat dengan asas kehidupan yang sekuleristik, liberalistik, dan kapitalistik. Kita pun harus memiliki kepekaan dan kewaspadaan atas semakin merajalelanya perzinaan dan upaya pelegalannya. Hal ini karena akan mengundang azab Allah. 

Solusi Islam Menyelesaikan Kasus Kekerasan Anak
Kasus kekerasan terhadap anak meliputi kekerasan seksual, kekerasan fisik maupun kekerasan emosional. Berdasarkan survei nasional sebanyak 2 dari 3 anak Indonesia berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan.

Adapun solusi mendasar dan integral untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual berdasarkan aturan Islam adalah:

Pertama, ranah akidah. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban mendorong setiap individu warga negara untuk taat terhadap aturan Allah SWT. Negara juga mengharuskan penanaman akidah Islam pada diri setiap individu melalui pendidikan formal maupun nonformal melalui beragam sarana dan institusi yang dimiliki negara. Sehingga manusia takut untuk melakukan kekerasan kepada orang lain karena yakin Allah Maha Melihat dan semua perbuatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Kedua, ranah ekonomi. Sistem ekonomi Islam mengharuskan negara menyediakan lapangan kerja yang cukup memadai dan layak, serta mendorong setiap kepala keluarga (ayah) untuk dapat bekerja dan mampu menafkahi keluarganya. Tidak akan ada anak yang telantar ataupun orang tua yang stres karena tuntutan ekonomi yang sering memicu munculnya kekerasan anak oleh orang tua dan orang terdekat.

Efek lain dari pengaturan sistem ekonomi ini akan mampu mengembalikan fungsi perempuan dan ibu sebagai ummu warabatul bait dan madrasatul ula bagi generasi. Yaitu mengurus rumah tangga, juga mengasuh, menjaga, dan mendidik anak-anaknya.

Ketiga, ranah sosial. Dalam sistem sosial Islam, negara wajib menerapkan sistem sosial yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan sesuai ketentuan syariat. Laki-laki maupun perempuan wajib menjaga/menutup auratnya, tidak boleh berdua-duaan dengan nonmahram (khalwat) ataupun campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa ada keperluan syar’i (ikhtilat), serta menjaga pandangannya (gadhul bashar).

Keempat, ranah hukum. Negara akan memberikan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku kekerasan maupun kejahatan terhadap anak, baik fisik maupun seksual, dimana sanksi tersebut mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain.

Secara keseluruhan, hanya sistem Islam (Khilafah) yang mampu menciptakan suasana kondusif bagi perlindungan terhadap anak dari berbagai faktor pemicu kekerasan terhadap anak, mengunci pintu munculnya kekerasan anak, memberikan hak anak sesuai fitrah tanpa mengeksploitasi. Semua itu dilaksanakan dalam suasana keimanan kepada Allah SWT, tanpa ada paksaan. Selain itu, tujuan tertingginya bukan untuk memenangkan perlombaan semacam Kota Layak Anak, Predikat Kota Ramah Anak, Sekolah Ramah Anak, dll, akan tetapi demi mencapai rida Allah SWT. 

Oleh Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd.
(Pemerhati Sosial)


Posting Komentar

0 Komentar