Moderasi Beragama, Mengintai Masa Depan Anak Kita


 Anak merupakan amanah luar biasa yang Allah berikan kepada kita, bukan hanya sekedar penerus keturunan manusia semata, melainkan mereka memiliki tujuan mulia ketika pertama Allah menciptakannya di muka bumi ini. Sebagai orang tua tentu saja kita menginginkan yang terbaik bagi anak kita, termasuk bagaimana ia dalam menjalankan kehidupan beragamanya. Melalui agama, kita para orang tua dapat mengajarkan dan mendidik anak-anak kita bagaimana itu konsep ketuhanan, konsep kehidupan dan konsekuensi kita hidup di dunia ini sebagai manusia. Dan melalui semua proses pendidikan agama tadi, nantinya diharapkan akan mampu membentuk karakter mulia bagi anak-anak kita.

 

Namun saat ini, tak sedikit pemikiran yang rusak dan berbahaya yang mengintai anak-anak kita. Salah satunya adalah moderasi beragama. Tak sedikit pula yang menyebutnya sebagai moderasi Islam. Moderasi beragama sendiri, jika ditelusuri sejatinya ia merupakan ide yang justru sama sekali bukan berasal dari Islam. Secara definisi, menurut Asisten Deputi Moderasi Beragama Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Thomas Siregar yang merupakan moderasi beragama merupakan konsepsi yang dapat membangun sikap toleran dan rukun guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa (kemenkopmk.go.id). Sedangkan menurut Kementrian Agama (Kemenag) moderasi beragama didefinisikan sebagai cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama - yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum - berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa (kemenag.go.id).

 

Melalui definisi yang kelihatan apik tadi, kita dan anak-anak kita pada akhirnya akan digiring untuk bersikap moderat atau mengambil jalan tengah dalam kondisi apa pun. Agama harus dijalankan bukan lagi atas dasar aturan agama, melainkan berdasarkan konstitusi yang merupakan buatan manusia. Lewat cara pandangan ini, posisi Tuhan (agama) adalah pada posisi kesekian jika dibandingkan dengan konstitusi tadi. Dan pada akhirnya, atas nama toleransi dan moderasi, umat Islam harus mengakui bahwa semua agama adalah benar. Padahal ini jelas menyalahi akidah sebagaimana dalam QS. Ali Imran: 19 Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

 

Jika sudah demikian, maka atas nama toleransi dan moderasi pula, sekolah-sekolah tak lagi boleh menetapkan seragam muslimah bagi para siswinya. Para guru atau pun orang tua juga tak berhak untuk mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan Islam yang dianggap bertentangan dengan definisi toleransi tadi. Pada akhirnya, anak-anak kita akan menjadi generasi yang bebas dan tidak mau terikat pada aturanNya lagi, karena nilai agama tak lagi sakral di mata mereka.

 

Pandangan yang tertancap dalam benak mereka bahwa semua agama itu sama, membuat proses saling mengingatkan dalam kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar) tidak dapat berjalan dengan baik - mengingat bahwa semua agama adalah benar. Kalau sudah demikian, maka lambat laun umat Islam akan berkompromi dengan hal-hal bathil, atau pun mencampurkan yang haq dan yang bathil. Perbuatan ini jelas-jelas melanggar larangan Allah SWT. (lihat QS. Al-Baqarah: 42). Dan pada akhirnya, generasi di masa depan yang rusak pun tak akan dapat terhindarkan jika kita masih membiarkan pola pikir moderasi dalam beragama tertancap dalam kehidupan sehari-hari kita.

Oleh : 
Ayu Fitri Nursofya

Posting Komentar

0 Komentar