Melansir dari suara.com, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menegaskan bahwa Hari Ibu pada 22 Desember bukanlah Mother's Day atau Hari Ibu Internasional.
"Tapi kita untuk mengenang perjuangan pergerakan perempuan pada tanggal 22 Desember 1928," tutur Menteri Bintang. Tujuannya, selain memperjuangkan hak perempuan juga berdiskusi tentang peran perempuan untuk memajukan bangsa dan negara.
Apakah para ibu sudah optimal dalam menjalankan perannya terutama dalam mendidik putra-putrinya—yang merupakan amanah terbesar di antara tugas yang dibebankan oleh Pencipta? Ataukah ada hambatan yang menghalangi tertunaikannya peran utama tersebut secara sempurna?
/Peran Utama Muslimah sebagai Ibu Pendidik/
Seorang ibu muslimah bersama suaminya bertanggung jawab untuk mendidik putra-putrinya dengan ajaran Islam. Ia harus menanamkan keimanan yang sahih sehingga jauh dari khurafat dan kemusyrikan.
Mereka pun dituntut mengenalkan berbagai aturan Islam tentang kehidupan yang terkumpul dalam syariat Islam, di samping tanggung jawab mengajari berbagai ilmu pengetahuan.
Hasil pendidikan dan pembinaan yang dilakukan dalam keluarga akan melahirkan keturunan yang memiliki karakter dan identitas yang khas sebagai generasi muslim. Identitas ini akan membedakan mereka dengan bangsa mana pun.
Inilah salah satu tugas utama dan mulia bagi seorang ibu. Kuat lemahnya karakter anak tergantung pendidikan dari orang tua. Bahkan, tumbuhnya anak sebagai muslim taat, pelaku maksiat, atau kafir, semuanya terpengaruh pendidikan orang tua. Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir)
Tidak mudah untuk menjalankan peran tersebut secara optimal apalagi di tengah dominasi sistem sekularisme kapitalisme yang menjauhkan ajaran agama dari kehidupan serta mengedepankan kesenangan materi. Alih-alih menjadikan agama sebagai acuan kehidupan, mereka justru memosisikan agama sebagai ancaman yang harus dihindari.
Berikutnya, muncullah beberapa istilah yang dimaksudkan untuk menjauhkan ajaran agama dari kehidupan. Seperti istilah "agama radikal" dan "ajaran agama yang menginspirasi tindak terorisme". Mereka melemparkan opini ke tengah masyarakat bahwa seolah-olah negeri ini sedang darurat terorisme dan radikalisme sehingga harus ada upaya masif dan sistemis untuk melawannya.
Di antara istilah yang mereka pakai adalah moderasi beragama. Moderasi beragama ini mereka klaim sebagai obat mujarab segala permasalahan. Betulkah moderasi beragama itu obat? Ataukah sebaliknya, racun yang berbahaya?
Tulisan berikut secara ringkas akan memaparkan pengaruh moderasi beragama terhadap peran ibu. Pembahasan akan fokus pada empat indikator moderasi beragama yang tercantum dalam buku Moderasi Beragama terbitan Badan Litbang dan Diklat Kemenag tahun 2019.
Dalam bagian Konseptual Moderasi Beragama disebutkan ada empat indikator moderasi beragama, yaitu 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) antikekerasan; dan 4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal.[1]
/1. Komitmen kebangsaan vs. ukhuwah islamiah./
Islam tidak melarang pemeluknya untuk mencintai tanah air, tempat ia lahir dan hidup. Bahkan, mempertahankan tanah negerinya dari orang zalim dan penjajah menjadi alasan bolehnya berperang sebagaimana firman Allah Swt., "Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, tidak lain karena perkataan mereka, 'Tuhan kami hanyalah Allah.'" (QS Al-Hajj: 39—40).
Seorang ibu penting mengenalkan pada anaknya tentang tempat ia lahir, asal sukunya, dan nama negeri tempat tinggalnya. Informasi seperti ini diperlukan supaya anak mengenali identitas fisik menyangkut dirinya.
Namun, dalam konsep moderasi, makna ukhuwah ini telah terpalingkan dengan arti yang berpeluang mengarah pada ashabiyah, baik ashabiyah keluarga, suku, ataupun ashabiyah kebangsaan yang bisa mengantarkan pada nasionalisme, yakni kesatuan dan persatuan hanya terbatas kesamaan suku bangsa.
Moderasi berbaju nasionalisme ini terus gencar sedini mungkin. Seperti program parenting kebangsaan Badan Kesbangpol Kota Yogyakarta. Mengutip dari Tribunnews.com, Kepala Badan Kesbangpol Kota Yogyakarta mengatakan, "Tujuan parenting kebangsaan ini dimaksudkan untuk mendidik anak-anak dalam memupuk nasionalisme sejak dini."
Terkait larangan ashabiyah Rasulullah ﷺ menegaskan dalam sabdanya,
عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajaliy, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa terbunuh karena membela bendera kefanatikan yang menyeru kepada kebangsaan atau mendukungnya, maka matinya seperti mati jahiliah.” (HR Muslim No. 3440)
As-Sindi memahami Ummiyyah atau Immiyyah sebagai bentuk kinâyah, yaitu larangan berperang membela jemaah (kelompok) yang dihimpun dengan dasar yang tidak jelas (majhûl), yang tidak diketahui apakah hak atau batil. Karena itu, orang yang berperang karena faktor ta’âshub itu, menurutnya, adalah orang yang berperang bukan demi memenangkan agama, atau menjunjung tinggi kalimah Allah. (As-Sindi, Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibn Majah, VII/318).
Islam yang Rasulullah ﷺ bawa tidak mengenal nasionalisme. Islam bersifat global dan universal. Ikatan untuk menyatukan sesama muslim adalah kesamaan akidah, itulah ukhuwah Islamiyah.
Seorang ibu harus memahamkan anaknya bahwa setiap muslim bersaudara; bahwa sesama muslim memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan dan persatuan hakiki tersebut membutuhkan kehadiran negara yang akan mewujudkannya. Itulah Negara Khilafah Islamiah.
Betapa indah gambaran ukhuwah Islamiyah yang Rasulullah ﷺ contohkan, sebagaimana sabda beliau ﷺ,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit, dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam.” (HR. Muslim no. 2586).
Keberhasilan penanaman konsep ukhuwah islamiah akan melahirkan generasi muslim yang saling berkasih sayang, saling memperhatikan, dan saling membantu. Salah satu wujud ukhuwah yang paling tinggi adalah kepedulian terhadap nasib umatnya. Mereka tidak akan rela menyaksikan saudaranya terzalimi dan terjajah. Mereka pun akan berusaha membebaskannya dengan cara menghilangkan kezaliman dan penjajahan dari belahan negeri muslim mana pun.
Penting kita waspadai juga bahwa di balik kalimat "komitmen kebangsaan" mengandung makna 'kebenaran dan aturan yang diterapkan harus berdasarkan komitmen yang sudah dibuat oleh suatu bangsa'. Jelas di sini menghilangkan peran agama dalam kehidupan.
Padahal, Allah Swt. memerintahkan untuk berpegang teguh pada agama Allah (Lihat QS Ali Imran: 103).
/2. Toleransi, wajah lain dari pluralisme./
Kata ini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna 'sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri'.
Sekilas, pernyataan tersebut seperti tidak ada masalah. Namun, realitasnya menunjukkan lain. Atas nama toleransi, umat Islam terpaksa membiarkan kemaksiatan, seperti keharusan mengizinkan prostitusi, L98T, miras, termasuk tidak boleh protes terhadap pelecehan ajaran-ajaran Islam. Sebaliknya, keinginan untuk terikat dengan syariat kafah justru dituduh intoleran dan mengancam kebinekaan.
Para orang tua pun ikut dipersulit dalam mendidik anak-anaknya agar menaati syariat. Dengan alasan hak anak dan HAM, orang tua tidak boleh menyuruh anaknya menutup aurat, melarangnya mengajari bahwa hanya Islam agama yang diridai Allah, apalagi menyampaikan pemahaman bahwa jihad itu bermakna memerangi orang kafir.
Bahkan, mereka sering kali menggunakan firman Allah Swt. dalam QS Al-Baqarah: 256 sebagai dalil bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Ujungnya, semua agama benar, tidak ada beda antara orang kafir dengan muslim. Itulah pluralisme, buah dari sekularisme.
/3. Antikekerasan./
Islam adalah adalah agama damai yang mengedepankan kelembutan dan kasih sayang sering kali disalahartikan. Propaganda musuh-musuh Islam yang menuduh bahwa Islam ajaran radikal yang menggunakan kekerasan dalam perjuangan telah menggiring sikap defensive apologetic, menempatkan Islam dan umatnya sebagai tertuduh sehingga membutuhkan pembelaan.
Parahnya, semangat untuk membela Islam tidak dibarengi upaya merujuk pemahaman dan fakta penerapan Islam yang Rasulullah ﷺ contohkan. Tidak sedikit umat Islam yang terjebak dalam perangkap musuh (Barat) dalam menggambarkan Islam.
Jadilah Islam terwujudkan dengan format mereka yang tidak tergali dengan metode istinbat yang benar. Di antaranya, memaknai "jihad" sebagai 'upaya sungguh-sungguh' untuk membuktikan bahwa Islam antikekerasan. Padahal, banyak nas menjelaskan bahwa jihad itu adalah 'perang', salah satunya dalam QS Al-Maidah: 35.
Islam memang mengajarkan lemah lembut, tetapi Islam juga memerintahkan berbuat tegas terhadap kemaksiatan dan kekafiran (Lihat QS Al-Fath: 29). Islam melarang membiarkan terjadinya pelanggaran. Setiap pelanggaran ada sanksinya.
Seorang ibu harus mengajarkan pada putra-putrinya kewajiban untuk terikat hukum syarak. Sekecil apa pun pelanggaran, niscaya ada konsekuensi hukumnya. Namun, dalam konsep moderasi, sikap ibu yang konsisten mengajarkan kebenaran kepada anaknya boleh jadi akan mendapat tuduhan radikal dan menganggapnya melakukan kekerasan. Bisa juga memicu konflik antara orang tua dan anak yang bertentangan pendapat.
/4. Bersikap akomodatif terhadap budaya lokal./
Apa yang dimaksud budaya lokal? Apakah keyakinan animisme yang berbau kemusrikan dan khurafat, seperti adat melarung sesaji ke laut untuk tolak bala? Apakah yang mereka inginkan itu budaya tidak menutup aurat dan bergaul bebas laki-laki dengan perempuan? Atau budaya minum-minuman keras yang dianggap sebagai tradisi?
Jika semua itu yang dimaksudkan, lalu umat Islam dipaksa menerima adat dan tradisi tersebut karena sudah dianggap tradisi lokal yang turun temurun di negeri ini, jelas perkara-perkara tersebut tidak sejalan dengan ajaran Islam yang memerintahkan untuk memurnikan keimanan, serta melarang mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil.
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bahil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 42)
Menurut Imam Qatadah dan Mujahid ayat ini maknanya, “Janganlah kalian campur-adukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam.” (Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an , Juz 1, hlm. 233)
/Khatimah/
Di tengah arus moderasi beragama, optimalisasi peran ibu sebagai pendidik generasi mendapatkan tantangan dan hambatan. Sekalipun seremonial perayaan Hari Ibu terus digaungkan, peran dan beban ibu tidak makin mudah.
Moderasi beragama adalah strategi untuk terus menancapkan hegemoni kapitalisme penjajah. Oleh karena itu, peran ibu tidak mungkin optimal selama sistem ini belum berganti dengan sistem aturan Islam. Wallahualam.
Penulis: Dedeh Wahidah Achmad
#ModerasiBukanSolusi
#WaspadaModerasiBeragama
#IslamJalanKebangkitan
#IslamKaffahSolusiHakiki
#UmatBangkitDenganIslamKaffah
0 Komentar