Persoalan Natuna kembali memanas, seperti yang baru-baru ini terjadi, pemerintah China melakukan protes terhadap Indonesia. Protes itu meliputi pengeboran minyak dan gas alam di wilayah Laut China Selatan serta latihan militer yang dilakukan RI bersama Amerika Serikat (AS) (CNBCIndonesia.com 3/12/2021).
Dalam laporan Reuters, pemerintah China mengirimkan surat kepada Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI. Pengeboran minyak dan gas alam itu disebut bersinggungan dengan klaim wilayahnya melalui konsep 'sembilan garis putus-putus (nine-dash line)'.
Apa Itu Sembilan Garis Putus-Putus?
Tarik menarik kepemilikan Natuna memang sudah lama terjadi, hal ini dikarenakan Natuna mempunyai potensi yang sangat menggiurkan. Terletak di tempat strategis yang merupakan lalu lalang kapal-kapal dagang besar ataupun kapal tanker. Natuna juga berlokasi di daerah terluar Indonesia yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan.
Ia juga mempunyai sumber daya alam yang sangat kaya. Diketahui selain kekayaan biota lautnya, Natuna juga mempunyai cadangan minyak dan gas bumi yang melimpah. Selain itu, Natuna dianggap oleh Cina sebagai bagian historis dari negerinya yang kemudian timbullah sembilan garis putus-putus tersebut. Oleh karenanya Cina merasa mempunyai hak terhadap teritorial natuna dari darat berikut lautnya.
Sembilan garis putus-putus pada dasarnya merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China. Nine Dash Line yang berbentuk U ini mencakup 90 persen dari perairan Laut Cina Selatan, seluas 2 juta kilometer persegi.
Jalur Nine Dash Line membentang sejauh 2.000 km dari daratan China hingga beberapa ratus km dari Filipina, Malaysia, dan Vietman. Garis putus-putus itu dilaporkan pertama kali muncul di peta negara China pada 1947, setelah Perang Dunia II (Kompas.com 4/12/21).
Padahal Indonesia sudah menyatakan bahwa ujung selatan Laut Cina Selatan adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik RI di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan pada 2017 menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara.
Indonesia di Tengah Pertarungan Teritorial
Natuna terletak di ujung paling depan negeri ini, yang tepat di mukanya terdapat pergolakan tarik menarik pengakuan wilayah. Pelaku tarik menarik teritorial di kawasan ini bukan hanya negeri di sekeliling Natuna, namun sang polisi dunia pun ikut ambil bagian menjaga kawasan.
Setelah Amerika menarik diri dari Taliban, dikabarkan ia berkonsentrasi di kawasan Laut Cina Selatan yang tergabung dengan AUKUS (Australia, United Kingdom, United State of America) yang bertempat di Pasifik. Padahal beberapa negara di kawasan tidak setuju dengan pembentukan ini seperti Indonesia juga Malaysia. Karena menganggap keberadaan AUKUS ini akan menggangu perdamaian dan stabilitas terutama di Laut Cina Selatan (Republika.co.id 21/9/2021).
Bagaimana tidak, karena dengan pembentukan kerjasama pertahanan trilateral ini, Australia akan dilengkapi dengan delapan armada kapal selam bertenaga nuklir canggih. Terbentuknya AUKUS yang tidak mau disebut sebagai pakta pertahanan ini sangat jelas merupakan upaya untuk menghadang kekuatan China yang kekuatan militernya sedang melaju pertumbuhannya.
Bagaimana Sikap Terbaik Dalam Menghadapi Perterungan Teritorial ini?
Saat ini Indonesia tengah berhadapan dengan dua kekuatan besar di depan matanya. Satu sisi AUKUS dengan kekuatan nuklirnya, di sisi lain China dengan kekuatan ekonomi yang telah merajai negeri.
September lalu dikabarkan bahwa Prabowo telah menandatangani pembuatan kapal selam oleh PT. PAL dengan lisensi dari Inggris. Kapal selam tersebut dipersenjatai rudal-rudal antipesawat, serta torpedo antikapal selam yang membuatnya mampu memberikan pertahanan terhadap ancaman udara dan laut.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa teknologi ini sekaligus menjawab ancaman kapal perang Cina di Laut Natuna Utara. Setelah diketahui sebelumnya oleh nelayan terdapat enam kapal perang milik China yang berlalu lalang di sekitar Laut Natuna Utara (Tempo.co 18/9/2021).
Sehingga disinyalir bahwa protes China terhadap aksi pengeboran minyak RI dan latihan militer bersama AS merupakan gertakan China agar dapat mengukur sejauh mana RI akan berpihak. Karena pada kenyatannya memang pemerintah menerima kedatangan Menteri Luar Negeri AS, Anthony Binken secara diam-diam.
Dalam pernyataannya, Anthony akan bertemu dengan Jokowi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan beberapa pejabat tinggi lain. Pertemuan tersebut akan menegaskan kemitraan strategis kedua negara yang kuat serta arti penting kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka (Republika.co.id 14/12/2021). Kemudian akankah pemerintah justru berpihak kepada Barat dan meninggalkan China setelah banyak kesepakatan ekonomi yang telah dilakukan?
Sesungguhnya dalam menghadapi kekuatan dari luar negeri, tak selayaknya berpihak pada salah satunya. Karena telah diketahui kedua kekuatan tersebut hanya ingin menggerogoti kekayaan negeri yang sangat besar ini. Sudah saatnya negeri ini mempunyai arah yang jelas dan tidak lagi harus menggandeng kekuatan luar ketika berhadapan dengan ancaman dari salah satunya.
Sebagai negeri muslim terbesar, selayaknya negeri ini berjalan sesuai dengan arahan syariah, menjadikan Islam sebagai landasan negara dan tatanan kehidupan bernegara. Sehingga tidak lagi tergiur dengan kekuatan luar yang menawarkan solusi yang selalu terbukti tidak solutif dan membuat rakyat sengsara.
Sejarah mencatat bagaimana Muhammad Al Fatih menyerang benteng pertahanan Konstantinopel yang ratusan tahun gagal dijebol oleh siapapun. Semangat untuk meruntuhkan benteng dan bagaimana ia mengatur rakyatnya setelah benteng itu runtuh. Semuanya dengan landasan syariat. Kekuatan luar biasa yang timbul sangat diluar nalar.
Oleh karenanya dengan landasan Islam negeri ini menjadi kuat dan tidak lagi menjadi permainan yang hanya diperas kekayaannya oleh bangsa lain.
Wallahu’alam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar