Maka tidak heran bila masyarakat nusantara menjadi mayoritas muslim dan Islam sudah menjadi bagian dari adat istiadat. Hal itu karena keimanan masyarakat selalu dijaga olehh penguasanya. Penjagaan keimanan para penguasa nusantara tersebut juga tak lepas dari pantauan penguasa Islam Internasional kala itu, Khilafah Utsmaniyah.
Di abad 16, kesultanan Aceh menjadi bagian dari kekhilafahan Utsmaniyah dan terwujudlah kekuatan yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Saat itu negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis ataupun Denmark dibuat takluk dan tak berani berbuat macam-macam di Nangroe. Kedigdayaan ini tak bisa lepas dari pendidikan jihad dan teknologi pendukunganya yang diberikan oleh Kholifah pada rakyat Aceh.
Pendidikan jihad yang bernama Baitul Maqdis, akademi militer di Banda Aceh yang mendidik langsung dari Turki, sehingga melahirkan pejuang-pejuang Islam tangguh. Sebut saja laksamana Malahayati, sang panglima pasukan laut yang memimpin sekitar 3000 muslimah pejuang yang dikenal dengan Inong Balee.
Selain aceh, kesultanan Banten maupun Jawa bukan hanya berhubungan dengan Kholifah namun juga diakui keberadaannya oleh pemerintahan pusat Daulah di Istambul. Saat itu justru Banten merupakan kesultanan di pulau jawa yang mengajukan ketaatan dan baiat pada otoritas pusat dunia Islam.
Belum lagi bila masuk lebih jauh ke pedalaman Jawa, di sana terdapat kesultanana Mataram yang kuat, yang mencapai puncak kekuasaan pada saat Sultan Agung memerintah. Pemerintah Mataram juga resmi berdaulat pada Kholifah Sultan Murad IV.
Selanjutnya penguasa Gowa di Makassar juga berdaulat pada Kholifah yang mengirim utusan ke Makkah. Mannuntungi Daeng Mattola, penguasa Makassar ke 15 yang mengirim utusan tersebut mendapat gelar Sultan Muhammad Sa’id.
Bergeser lebih ke timur, kesultanan Buton yang bergelar negeri Kholifatul Khamis ini kemudian mengikuti jejak langkah pendahulunya untuk berdaulat pada Kholifah Utsmaniyah. Sejarah lisan menyatakan bahwa Sultan Utsmani yang salah satu gelarnya adalah Sultan Rum, akan berkunjung ke Wolio, nama lain dari Buton. Tujuannya untuk mendiskusikan permasalahan duni dengan sultan lainnya dari Ternate maupun Solor.
Selain para sultan nusantara ini berhubungan erat dengan khilafah Utsmaniyah, ternyata sebelumnya mereka juga dekat dengan Khilafah Abbasiyah. Terlihat dari penamaan gelar yang mereka bubuhkan pada cap ataupun stempel mereka. Seperti al Mustanjid Billah, al Muttawakkil ‘Alallah, al Mu’tashim billah dan lain-lain.
Pada Juni 1596 dengan membawa empat kapal, Belanda bersandar di teluk Banten dipimpin oleh Cornellis de Houtman, pedagang yang menyebut dirinya sebagai Kapten Mayor. Mereka datang dengan sikap yang buruk yang otomatis membuat masyarakat dan penguasa Banten muak. Dengan begitu Cornelis de houtman diusir dari tanah Banten namun terus berbuat keonaran di sepanjang pesisir Jawa.
Saat mereka pulang ke negeri asal di tahun berikutnya, tak disangka mereka meraup laba yang besar hasil dari penjualan rempah-rempah yang diangkut ke Belanda. Dengan begitu Cornelis de Houtman mencoba peruntungannya untuk kembali ke Nusantara dan kemudian ia datang ke kesultanan Aceh dengan perilaku yang sama.
Dengan perasaan jengkel, penguasa Aceh saat itu, Sultan Alaudin Sayyid al Mukammil mengutus muslimah tangguh lulusan akademi militer Utsmani di Aceh, laksmana Malahayati untuk memberi pelajaran pada Cornelis de Houtman.
Walau kegagalan kembali dirasakan oleh de Houtman, namun ia menawarkan kesempatan menggiurkan pada kapitalis Belanda. Dengan begitu hanya dengan satu dekade saja terdapat 65 kapal layar Belanda yang dikirim ke Asia.
Sumber rempah yang melimpah di Nusantara telah menggelitik para pemodal Belanda untuk berserikat dalam satu wadah. Hal ini dilakukan demi manajemen monopoli rempah yang lebih terorganisir. Sehingga pada Maret 1620 terbentuklah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang menjadi awal bencana bagi Muslimin Nusantara.
Sejarah memang tidak selalu berjalan mulus, kedatangan VOC ke Maluku memang atas undangan Sultan Ternate untuk bersekutu melawan saudaranya sendiri seperti Tidore dan bacan. Kemudian dibuatlah kantor dagang di Maluku untuk penguasaan rempah di sana. Tidak puas hanya di Maluku, VOC berusaha merambah penguasaannya di tempat-tempat strategis di seluruh Asia.
Jayakarta yang saat itu di bawah kekuasaan kesultanan Banten dan Cirebon juga menjadi target VOC untuk dikuasai. Awalnya hanya menyewa sebagian lahan untuk berniaga, namun berikutnya mereka mendominasi dan memonopoli perdagangan. Kekuasaannya merambah hingga seluruh pulau Jawa bahkan seluruh nusantara pada umumnya.
Pada tahun 1619, Jayakarta ditaklukan dan diganti namanya menjadi Batavia, kemudian dijadikan pusat kolonialisme Belanda di Nusantara. Kemudian Mataram, yang merupakan satu-satunya kekuasaan Islam terbesar Jawa, dapat ditaklukan oleh Belanda saat Mataram menyerangnya sebanyak dua kali. Hal ini membuat Belanda congkak dan berupaya mengalahkan sultan-sultan lain di Nusantara.
Kemudian Makassar di bawah pimpinan Sulyan Hasanuddin juga dapat dikalahkan dengan perjanjian Bongaya, 1667. Kemudian banyak para mujahidin dari Makassar yang hijrah untuk melanjutkan perjuangan melawan kafir VOC di tanah jawa.
Di Mataram, mujahid Bugis dan Makassar bersatu dipimpin oleh Karaeng galesong membantu perjuangan putra Madura, Trunojoyo untuk melawan Susuhunan Amangkurat I dan penguasa Mataram yang bersahabat dengan belanda. Walaupun kemudian perjuangan Trunojoyo ini dapat dikalahkan.
Begitulah, perjuangan melawan kafir Belanda tak pernah henti dilakukan oleh para mujahid di seluruh penjuru Nusantara, berjuang sampai darah penghabisan. Jiwa pejuang sampai saat inipun mengalir dalam darah masyarakat nusantara untuk selalu melawan ketidak sesuaian dengan syari’at. Namun semangat itu sengaja ditumpulkan dan arahnya pun dikaburkan.
Seperti yang belum lama ini dikatakan oleh Jokowi bahwa mental inlander seolah-olah sudah menjadi seperti DNA masyarakat. Ia curiga hal ini disebabkan karena lamanya masa penjajahan Belanda di Tanah Air. Padahal, RI sudah lama merdeka (Kompas.com 11/11/2021).
Sesungguhnya hal tersebut tidak terbukti. Justru yang membuat mental tersebut terbentuk adalah penguasa sendiri yang tidak pernah menjaga semangat dan arah perjuangan masyarakatnya. Selalu dilemahkan dan dicitra burukkan. Sehingga bila ingin terus menumbuhkan mental baja dan tidak takut terhadap pendudukan asing, maka jadikanlah Islam selalu mengalir di dalam darah masyarakat.
Wallahu’alam. [RH]
Penulis : Ruruh Hapsari
0 Komentar