Semut akan menggigit ketika merasa terancam. Manusiapun sama, akan berusaha mempertahankan diri saat ada yang mengusik keselamatan atau kenyamanannya. Karena fitrahnya manusia tidak ada yang ingin kehidupannya diganggu, wilayahnya dijajah, kemerdekaannya diancam. Begitupun ketika penjajah datang menyerang negeri ini. Para pejuang tak gentar berjihad fisabilillah meskipun harus menghadapi senapan dan meriam.
Indonesia diklaim berhasil mengusir penjajah dan telah menikmati kemerdekaan selama 76 tahun lamanya. Secara fisik memang tak terlihat lagi tentara bersenjata mondar-mandir melepaskan tembakan atau pesawat militer menjatuhkan bom. Namun benarkan negeri ini benar-benar sudah merdeka, tak lagi ada ancaman atau rasa tidak nyaman?
Faktanya, Badan Pusat Statistis (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2021 sebesar 27,54 juta orang. Disaat yang sama viral di media 70% pejabat negara harta kekayaanya meningkat, bahkan terjadi selama pandemi covid 19. Sudah menjadi rahasia umum pula bagaimana angka utang negara yang terus merangkak naik hingga mencapai angka 6000an triliun di kuartal III tahun 2021. Ditambah lagi sumber daya alam yang begitu melimpah entah siapa yang menikmati. Pembangunan infrastruktur hingga pengelolaan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) satu persatu diberitakan bermasalah.
Ironisnya, pemerintah justru sibuk dengan program moderasi beragama, yang intinya adalah jangan terlalu ekstrim dalam beragama. Sementara tolok ukur ekstrimpun ditentukan sepihak. Muslim yang menginginkan penerapan syariat Islam secara keseluruhan maka dianggap ekstrim, radikal, tidak moderat. Muncullah kemudian statement “jangan terlalu dalam mempelajari agama”. Umat digiring untuk menerima konsep bahwa toleransi adalah mengakui semua agama sama. Muculnya shalawatan di gereja dan lain-lainnya. Gaya hidup mulai dari fun, food and fashion diarahkan untuk mengikuti selera barat, dengan dalih modernisasi.
Banyak pihak memandang bahwa program moderasi beragama sejatinya hanyalah cara halus memisahkan agama dari kehidupan alias sekularisme. Bagaimana agara agama tak digunakan dalam ranah diluar ibadah. Cukup shalat zakat puasa haji dan ibadah ritual lain yang menggunakan aturan agama. selebihnya, dalam hal kurikulum pendidikan, ekonomi, sosial budaya, hingga politik pemerintahan dan hubungan luar negeri, karena dianggap bukan bagian dari ibadah, maka tak perlu menggunakan aturan agama.
Padahal Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk ditegakkan seluruhnya, tidak untuk dipilih sesuai kepentingan seseorang atau sekelompok manusia. Dengan begitu Allah akan berikan keberkahan dari langit dan bumi. Maka sejatinya hari ini kita belumnya merdeka, hanya memang tidak terjajah secara fisik, tapi pemikiran.
Umat Islam digiring untuk menerima konsep kebebasan yang lahir dari sekularisme. Kebebasan yang meniadakan peran agama dalam mengatur kehidupan. Jadilah ekonomi dikuasai hanya oleh segelintir orang. Mereka, para penguasa bersama pengusaha bebas menguasai kekayaan alam, sementara negara terus terlilit utang, masih banyak rakyatnya yang miskin dan kelaparan. Masyakarakat disibukkan dengan rutinitas demi memenuhi kebutuhan hidup, yang penting cukup makan, keluarganya aman dan nyaman, tak peduli saat melihat kemaksiatan, apalagi menyadari sebagian besar hukum Allah ditinggalkan.
Sungguh dampak dari penjajahan pemikiran tidak lebih baik dari penjejahan secara fisik. Karena mampu mengubah pandangan hidup umat dari tunduk dan patuh hanya pada aturan Allah, menjadi berpaling mengikuti nafsu dan arahan barat. Dengan perang justru akan membangunkan semangat perlawanan dari umat, karena memang jihad adalah ruh kaum muslimin. Sebagaimana yang dialami saudara-saudara kita di Palestina, Iraq, Suriah dan lainnya. Gempuran rudal tak membuat mereka gentar, tapi justru dihadapi dengan penuh keyakinan dengan dua pilihan, menang atau mati syahid.
Contohnya Arab Saudi yang merupakan negeri kiblatnya kaum muslimin. Bayangkan apa yang akan terjadi seandainya mereka diserang tembakan dan meriam. Tapi hari ini bukan tembakan ataupun meriam yang menyerang mereka, melainkan artis-artis hollywood, bollywood, musik, pesta pora, suka cita dan lain-lain. Dengan kondisi seperti ini, apa bedanya dengan Amerika? Inilah bagian dari dampak serangan pemikiran tadi.
Begitupun yang terjadi di negeri ini. Sudah bisa dibayangkan jika penjajah itu datang dengan membawa senapan. Bagaimana perjuangan panjang rakyat Indonesia melawan penjajah tak perlu lagi diragukan. Namun, hari ini penjajah itu datang bukan dengan baju besi, melainkan dengan baju moderasi dan atau modernisasi. Menggunakan konsep liberalisasi, berjuang atas nama hak asasi, memberikan bantuan dengan beberapa perjanjian dan kompromi.
Umat harus disadarkan bahwa penjajahan tak harus dengan jalan perang. Dan perang pemikrian terbukti cukup efektif melemahkan negeri-negeri muslim. Termasuk dengan menggencarkan opini moderasi yang dibuat terkesan indah, modern dan humanis hingga membuat umat menerima dan akhirnya mengikuti. Tentu lebih menguntungkan bagi barat daripada harus mengambil jalan perang yang akan menghabiskan lebih banyak tenaga dan biaya.
Padahal sejatinya umat muslim tengah dilemahkan secara aqidah dan terus digoyahkan persatuannya melaui jalan adu domba. Karena barat tahu, potensi umat muslim jika bersatu, baik dari segi jumlah maupun kekayaan maka akan muncul negera adidaya baru di bawah kepemimpinan Islam.
Umat harus disadarkan bahwa tidak ada yang lebih baik antara penjajahan fisik maupun pemikiran. Semuanya buruk, karena sifatnya sama-sama menghancurkan. Maka, hanya dengan Islamlah umat bisa kembali bangkit dari keterpurukan, melawan segala bentuk penjajahan. Islam yang menyeluruh. Sejarah mencatat non muslim menguasai untuk menjajah, sementara Islam menguasai untuk megurusi, karena memang Islam adalah rahmat untuk seluruh alam. Wallahualam.
Oleh Anita Rachman
#ModerasiBukanSolusi
#WaspadaModerasiBeragama
#IslamJalanKebangkitan
#IslamKaffahSolusiHakiki
#UmatBangkitDenganIslamKaffah
0 Komentar