Masih hangat dalam ingatan publik tentang diterbitkannya Permendikbud 30/2021 pada 31 Agustus 2021. Permendikbud yang sontak menuai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat ini, kemudian berujung pada pelayangan somasi kepada Nadiem Makarim. Nadiem, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) disomasi di kantor Kemendikbud oleh Dewan Pimpinan Nasional Kongres Pemuda Indonesia (KPI) pada Jumat (19/11/2021). Pasalnya, Pitra Romadoni Nasution, Kuasa Hukum KPI ingin agar frasa ‘persetujuaj korban’ pada pasal 5 ditinjau kembali dan direvisi.
Seperti diketahui, pasal 5 dalam Permendikbud 30 tersebut, diatur rumusan norma kekerasan seksual, meliputi tindakan yang dilakukan secara verbal, fisik, non-fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Dalam pasal 5 peraturan menteri tersebut juga di jelaskan beberapa poin bentuk kekerasan seksual yang dilakukan ‘tanpa persetujuan.’ Rumusan tersebut, menurut Pitra, dikhawatirkan menjadi alasan bagi generasi muda untuk melakukan kegiatan seksual berdasarkan asas suka sama suka (persetujuan).
Lebih jauh, kegiatan seksual berdasarkan persetujuan ini dikhawatirkan akan memicu terbukanya kesempatan perilaku seks bebas, terutama di lingkup perguruan tinggi. Terkait hal ini, Kemendikbudristek sudah menyatakan bantahan bahwa Permen tersebut telah melegalkan kegiatan seks bebas di kampus, CNN Indonesia (19/11/2021).
Terbitnya RUU TPKS
Habis Permendikbudristek 30, terbitlah UU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). RUU TPKS yang disetujui pada Rabu (8/12/2021) oleh tujuh fraksi di DPR, digadang-gadang berbeda dengan Permendikbudristek terdahulu. Diklaim bahwa di dalam UU TPKS frasa ‘sexual consent’ atau seks dengan persetujuan tidak dimuat. Hal ini, dianggap sebagai pembatas yang jelas antara tindak pelecehan seksual dengan tindak bukan pelecehan seksual. Ini seperti yang dipaparkan oleh Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya kepada CNN Indonesia (17/11/2021).
Namun, walaupun UU TPKS telah disahkan, polemik seputar isu sexual consent saat ini masih mengemuka. Dianggap, ada kalangan yang mencampuradukkan antara pembatasan tindak pidana kekerasan seksual dengan legalisasi seks bebas. Sedangkan sejalan dengan hal itu, sebagian masyarakat mendukung diterbitkannya UU TPKS dengan menggelar Pawai Akbar Dukung RUU TPKS pada Sabtu (8/12/2021).
Kasus pelecehan seksual seperti yang terjadi di Universitas Jember, Universitas Riau, Institut Agama Islam Negeri (UIN) Kediri, Universitas Negeri Padang, dan UIN Malang adalah beberapa contoh kasus yang membuktikan terjadinya tindak pelecehan seksual di lingkup kampus. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak mencatat, sejak Januari hingga 16 Maret 2021 telah terjadi 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang terjadi. Bahkan diklaim telah terjadi sebanyak 33,3 persen kekerasan seksual dialami pula oleh kaum lelaki.
Fakta di atas belum ditambah dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi. Kemudian, semakin membludaknya tindak kekerasan seksual belakangan ini, telah semakin membuat resah masyarakat. Sedangkan seperti diketahui bersama, tindak pelecehan seksual karakternya laksana fenomena gunung es. Secuil yang tampak di permukaan, tetapi sesungguhnya yang tersembunyi jauh lebih banyak. Inilah kiranya yang menjadikan masyarakat menaruh harapan besar pada pemberlakuan UU TPKS tersebut. Masyarakat berharap, dengan diberlakukannya UU TPKS ini, masalah pelecehan seksual dapat diatasi.
Perbedaan Cara Pandang
Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal I poin 1 RUU TPKS dijelaskan, kekerasan seksual adalah: "Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik."
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, perumusan norma kekerasan seksual yang memuat frasa 'secara paksa, berarti bertentangan dengan kehendak seseorang. Hal ini mengakibatkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Jika menggunakan tafsir argumentum a contrario, ini mengandung makna dapat dibenarkan jika ada 'persetujuan dan tanpa paksa.' Jadi artinya, hubungan seks diluar pernikahan tidak dapat dipersoalkan (diperbolehkan). Hal inilah yang dikhawatirkan menjadi legitimasi bagi kalangan manapun yang ingin melakukan seks diluar pernikahan, asalkan berdasarkan persetujuan.
Menurut kalangan yang mendukung UU TPKS, maraknya pelecehan dan kekerasan seksual disebabkan karena tidak adanya payung hukum yang komprehensif. Payung hukum yang dimaksud adalah untuk mengatur upaya penanganan dan pemulihan korban pelecehan dan kekerasan seksual. Padahal, kekerasan seksual sesungguhnya merupakan permasalahan sistemik, bukan masalah parsial, apalagi individual.
Sistem pergaulan dalam bingkai sistem Sekularisme telah melahirkan budaya permisif hedonis yang memberi kebebasan bagi syahwat manusia. Sementara ketiadaan perlindungan negara dalam mengatur tata pergaulan dan kehidupan di masyarakat sangat berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan seksual itu sendiri. Selayaknya negara ini memiliki aturan hukum yang melarang perzinaan atau hubungan seksual diluar pernikahan. Aturan ini akan dapat melindungi kehormatan, harkat, martabat perempuan dan masyarakat pada umumnya, serta melindungi moral bangsa dari kerusakan.
Jadi pada faktanya telah terjadi perbedaan cara pandang di masyarakat dalam menyikapi sexual consent dan kekerasan seksual. Sebagian masyarakat yang kurang jeli dan berpikiran kurang mendalam, menganggap UU TPKS adalah solusi yang memadai untuk mengentaskan masalah kekerasan seksual yang masif terjadi. Sedangkan bagi sebagian elemen masyarakat yang lebih cerdas, UU TPKS ini belum bisa menjadi solusi yang komprehensif. Di sisi lain, UU TPKS ini justru dianggap akan memicu maraknya aktivitas seks bebas.
Di sinilah pemberlakuan hukum menurut syariat Islam menjadi sangat penting. Hal ini karena, di dalam syariat Islam ada makna khas ketika memutuskan perkara berdasarkan hukum dari Allah SWT. Adil dalam menegakkan hukum menurut Islam adalah penegakkan hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah menikah) dan hukum cambuk bagi pezina yang belum mukhson. Hal itulah yang menyebabkan Maiz dan al-Ghamidiyah pada masa Rasulullah SAW menghadap Rasulullah SAW untuk meminta dihukum rajam. Karena keduanya sadar, azab Allah jauh lebih keras dibandingkan dengan merasakan hukuman di dunia.
Allah SWT telah berfirman dalam al-Quran Surah al-Furqan ayat 68, yang artinya, "Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) atas dosa(nya)." Di sinilah pentingnya menegakkan institusi Islam dalam bentuk negara. Yaitu agar hukum-hukum Islam bisa ditegakkan, sehingga dapat menghapuskan dosa-dosa para pendosa. Di sisi lain, akan tercurah pula keberkahan dan rahmat dari Allah SWT bagi seluruh penduduk di bumi ini.
Penulis : Dewi Purnasari
0 Komentar