Dua tahun sudah lamanya pandemi melanda dunia tak terkecuali Indonesia, selama itu pula persoalan-persoalan umat melesat naik ke permukaan, semakin kompleks dan pelik, membawa efek domino yang berkepanjangan. Persoalan-persoalan tersebut makin menambah penyakit-penyakit kronis yang mengakibatkan kerusakan yang luar biasa bagi umat. Sayangnya kondisi ini tidak lantas membuat kita tersadar khususnya pemerintah untuk serius dan fokus mengupayakan solusi atas persoalan-persoalan ini secara tuntas tetapi yang dilakukan pemerintah justru disibukkan dengan melakukan upaya-upaya yang jauh dari solusi persoalan tersebut.
Salah satu upaya serius pemerintah yang makin masif dan gencar dideraskan pada masa pandemi ini adalah isu moderasi beragama dan kesetaraan gender atau pengarusutamaan gender (PUG). Keseriusan ini setidaknya ditunjukkan dengan termaktubnya moderasi beragama sebagai salah satu bagian dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020-2024 . Di dalam RPJMN isu moderasi beragama masuk menjadi salah satu dari tujuh (7) komponen agenda pembangunan yakni Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan yang termasuk dalam pembangunan SDM dengan strategi pembangunan karakter, sedangkan PUG (Pengarusutamaan Gender) masuk ke dalam salah satu isu strategis pada dokumen RPJMN. Dengan termaktubnya isu moderasi beragama dan PUG ini di tingkat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional maka tidak mengherankan, jika kemudian strategi moderasi beragama dan PUG juga diturunkan ke tataran pemerintah tingkat provinsi yang kemudian diturunkan berjenjang pula hingga ke tataran pemerintah setingkat kota, tak terkecuali pemerintah kota Tangerang Selatan untuk dapat diterjemahkan dalam langkah-langkah praktis dengan harapan strategi pembangunan karakter terwujud merata.
Sepak terjang pemerintah kota Tangerang Selatan membumikan isu moderasi beragama dan PUG memang terkesan tidak main-main, hal ini dapat dilihat pada dokumen RPJMD tahun 2016-2021 pemerintah kota Tangerang Selatan yang memasukkan isu moderasi beragama dengan mengawinkannya pada program isu strategis PUG dalam kemasan program kualitas sumber daya manusia. Salah satu realisasi keberhasilan perkawinan dua isu utama ini adalah ketika pada tanggal 23 September 2021 lalu pemerintah kota Tangerang Selatan berhasil meraih penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) tahun 2020 dengan Kategori Utama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Walikota Tangsel, H. Benyamin Davnie, mengatakan jika penghargaan APE ini merupakan penghargaan yang ke empat kalinya diraih oleh pemerintah kota Tangerang Selatan.
Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya ini sendiri merupakan sebuah penghargaan yang diberikan kepada kementerian atau lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai sebuah apresiasi bagi yang telah berhasil melakukan upaya pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak, dengan memenuhi tujuh prasyarat pelaksanaan PUG yaitu komitmen, kebijakan, kelembagaan, SDM dan anggaran, alat/tool, data gender dan partisipasi masyarakat serta pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, pemerintah kota Tangerang Selatan berhasil memenuhi ketujuh prasyarat tersebut.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah bagaimana perkawinan antara isu moderasi beragama dengan isu pengarusutamaan gender (PUG) ini bisa terjadi? Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama bahwa moderasi beragama bukan hal absurd yang tak bisa diukur. Keberhasilan moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat terlihat dari tingginya empat indikator utama berikut ini serta beberapa indikator lain yang selaras dan saling bertautan.
Pertama, Komitmen Kebangsaan yakni penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi : UUD 1945 dan regulasi dibawahnya.
Kedua, Toleransi yakni menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk keyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Menghargai kesetaraan dan bersedia bekerjasama.
Ketiga, Anti Kekerasan yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkan.
Keempat, Penerimaan Terhadap Tradisi yakni ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.
Dari indikator yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama tersebut, kita dapat melihat tautan yang selaras dan shahih (menurut pemerintah) antara isu moderasi beragama dengan isu pengarusutamaan gender (PUG), dimana salah satu sub indikator keberhasilan moderasi beragama adalah dengan menghargai kesetaraan.
Namun, pada kenyataannya hal ini tidak berkorelasi positif dengan fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan data kekerasan terhadap perempuan dan anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemenppa) di Provinsi Banten, khususnya di wilayah Kota Tangerang Selatan, didapati bahwa sepanjang tahun 2021 kota Tangerang Selatan masih menduduki peringkat kedua tertinggi yakni sebanyak 105 kasus dari 524 kasus yang terjadi di Provinsi Banten.
Dari fakta-fakta diatas, dapat ditarik kesimpulan jika ternyata strategi pembangunan karakter melalui perkawinan antara isu moderasi beragama dengan isu PUG tidak lantas menyelesaikan masalah dan menjadi solusi bagi terwujudnya revolusi mental di masyarakat. Sebab, persoalan kasus kekerasan pada perempuan masih terjadi. Keberhasilan memiliki pandangan yang moderat dalam beragama dengan menghargai kesetaraan tidak lantas serta merta mampu memuliakan perempuan dengan revolusi mentalnya, tetapi fakta yang terjadi justru sebaliknya, makin menjauhkan perempuan dari kedudukan yang mulia bahkan membuat kaum perempuan menjadi tertindas dan hina.
Sebuah penghargaan dengan segala bentuk apresiasinya juga akan tidak menjadi berarti apa-apa apalagi membantu menyelesaikan persoalan jika pada kenyataannya tidak selaras dan bertautan satu sama lain dengan kondisi yang sebenarnya terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga perkawinan isu moderasi beragama dengan isu pengarusutamaan gender (PUG) pada akhirnya bukan menjadi solusi dalam mewujudkan revolusi mental, pembangunan masyarakat yang berkarakter seperti yang digadang-gadang dalam RPJMD Tangerang Selatan atau bahkan RPJMN skala nasional.
Jika ternyata perkawinan isu moderasi beragama dengan PUG tidak seperti yang digadang-gadang oleh pemerintah, mengapa pemerintah masih begitu menggebu-gebu, masif dan gencar menderaskan dua isu utama ini? apa motif sebenarnya dibalik perkawinan isu moderasi beragama dengan isu pengarusutamaan gender (PUG)? Revolusi mental, pembangunan karakter masyarakat seperti apa yang diharapkan mewujud dalam masyarakat? Untuk kepentingan siapa sebenarnya revolusi mental ini?
Patut diketahui apa landasan atau standar penyusunan RPJMN, sebagai dokumen induk pembangunan skala nasional. Pada laman Bappenas dikatakan bahwa penyusunan RPJMN bersandar pada dokumen SDGs (Sustainable Development Goals) yang merupakan kesepakatan bersama para pemimpin negara-negara di dunia terkait dengan agenda pembangunan global pasca tahun 2015 yang disepakati dalam Sidang Umum PBB pada September 2015, yaitu Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs).
TPB/SDGs bertujuan untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
SDGs bersifat komprehensif, disusun dengan melibatkan lebih banyak negara dengan tujuan yang universal untuk negara maju dan berkembang, memperluas sumber pendanaan, selain bantuan negara maju juga sumber dari swasta, menekankan pada hak asasi manusia agar diskriminasi tidak terjadi dalam penanggulangan kemiskinan dalam segala dimensinya, inklusif, secara spesifik menyasar kepada kelompok rentan (no one left behind), pelibatan seluruh pemangku kepentingan: pemerintah dan parlemen, filantropi dan pelaku usaha, pakar dan akademisi, serta organisasi kemasyarakatan dan media.
TPB/SDGs merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat mencakup 17 tujuan yaitu (1) Tanpa Kemiskinan; (2) Tanpa Kelaparan; (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; (7) Energi Bersih dan Terjangkau; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Berkurangnya Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; (13) Penanganan Perubahan Iklim; (14) Ekosistem Lautan; (15) Ekosistem Daratan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; (17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
Terkesan apik kesepakatan yang dituangkan SDGs ini, agar tercipta kehidupan dunia yang lebih baik melalui kesejahteraan masyarakat, namun jika kita melihatnya dengan lebih jeli, sesungguhnya keseluruhan kesepakatan itu, tidak lain tidak bukan dilakukan dalam rangka untuk melanggengkan kekuasaaan di bawah sistem kapitalis liberalis termasuk didalamnya isu tentang moderasi beragama dan PUG, mereka menyengaja menciptakan solusi-solusi semu yang terlihat baik, mengawinkan beberapa isu, antar solusi agar umat berpaling dari solusi hakiki yang datangnya hanya dari Islam, mereka berusaha sekeras mungkin menjegal munculnya kebangkitan Islam. Human Development Revolusi mental, pembangunan karakter manusia hanya merupakan kedok berbentuk kemasan cantik untuk menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [HR. Muslim No. 2669].
Wallahu a’lam bish showwab.
Oleh Sari Hermalina Fitri, SE
0 Komentar