Permendikbud Ristek, Why Not?




Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi masih terus menuai pro dan kontra hingga kini.

Diberitakan oleh Kompas.com, Kamis (11/11/2021), Permendikbud Ristek ini dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur consent atau persetujuan. Hal tersebut juga yang dinyatakan oleh pegiat hak asasi manusia (HAM), Nisrina Nadhifah, belum ada peraturan yang memiliki aspek pencegahan dan penanganan yang berpihak pada korban.

Meski demikian, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 itu juga menuai kritik. Beberapa kalangan ada yang menilai Permendikbud Ristek ini melegalkan seks bebas. Salah satu kritik tersebut datang dari Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai aturan tersebut berpotensi melegalkan zina. Menurut Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa “tanpa persetujuan korban”. (Kompas.com, 12/11/2021).

Kontra akan Permendikbud Ristek inipun juga datang dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Mereka meminta pemerintah untuk merevisi Permendikbud terkait frasa “tanpa persetujuan korban” karena berpotensi ditafsirkan melegalkan seks bebas jika kedua belah pihak saling menyetujui. BEM SI menggunakan pandangan Cholil Nafis sebagai landasan penolakan terhadap Permendikbud ini. Dimana Ketua MUI Cholil Nafis menyerukan Permendikbud untuk dicabut karena menggunakan persetujuan korban sebagai tolak ukur, bukan berdasar asas Pancasila, atau agama dan kepercayaan. (cnnindonesia.com, 23/11/2021). 

Kontroversi penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban” di dalam pasal Permendikbud harus direvisi bahkan dihilangkan. Menjadi aneh dan janggal jika sudah masuk ke dalam kategori kekerasan seksual, tetapi masih ada tambahan frasa “tanpa persetujuan korban”. Disebabkan jika menggunakan frasa itu artinya bukan lagi kekerasan seksual yang harus dihukum dan dikenakan sanksi pidana seperti tujuan utama diterbitkannya Permendikbud ini. Tindakan yang dilakukan atas dasar persetujuan korban dianggap bukanlah sebuah “kekerasan” atau sebuah kejahatan yang harus dihukum.

Padahal, sangat jelas jika pelaku melakukannya atas dasar “persetujuan korban”, tetapi mereka (pelaku dan korban) bukanlah pasangan yang terikat dalam sebuah pernikahan yang sah tetap saja hal tersebut dilarang untuk dilakukan. Menjadi haram hukumnya karena hal tersebut masuk ke dalam kategori perzinahan, meskipun atas dasar suka sama suka.

Menelisik tujuan diterbitkannya Peraturan Menteri yang ingin menghentikan dan melindungi korban dari kekerasan seksual di dunia pendidikan tentu patut diapresiasi, jika Indonesia bukanlah negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Artinya, sebagai negara yang notabene mayoritas muslim pastinya akan menjunjung tinggi norma dan agama yang dianut, sehingga tidak perlu dihadirkannya Permendikbud untuk  mencegah hal-hal yang tidak diinginkan tersebut. Cukup dengan kembali kepada aturan yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, niscaya akan bisa menjamin dan memberikan kemanan untuk umat manusia, baik dia seorang muslim ataupun non muslim. 

Sepatutnya perlindungan yang diberikan untuk anak bangsa di negeri ini tidak hanya berjalan satu sisi, tetapi harus menyeluruh, hingga menjadi seimbang dan tidak timpang sebelah. Demikian yang dinyatakan oleh Cendekiawan Muslim Ust. H.M. Ismail Yusanto untuk isu Permendikbud ini. Beliau menyatakan bahwa Permendikbud ini bias dan timpang sebelah, jika yang dimaksud untuk memberikan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual  harusnya tidak memakai frasa “tanpa persetujuan korban” karena maknanya akan menjadi bias.

Adapun, Jika kekerasan seksual (yang pastinya terjadi tanpa persetujuan korban) terkategori sebagai kejahatan. Lalu kenapa aktivitas hubungan laki-laki dan perempuan yang dilakukan atas dasar suka sama suka namun belum sah sebagai pasangan suami isteri itu tidak masuk dalam kategori kejahatan? Apakah karena ada persetujuan tadi, sehingga otomatis tidak lagi termasuk kejahatan? tanya Ust. Ismail retoris.

Kondisi karut marut dan rusaknya pergaulan di dalam Lembaga pendidikan sudah menjadi rahasia umum. Perilaku hedonis dan pergaulan bebas sudah menjadi suatu hal yang lumrah terjadi. Semua hal jika terjadi atas consent atau persetujuan dari kedua belah pihak tidak akan menjadi permasalahan yang harus dibahas dan tidak dianggap sebagai kejahatan, meskipun hal tersebut jelas-jelas telah menabrak dan melanggar norma-norma dan agama yang ada, Lanjut Ust. Ismail.
Beliau menambahkan, di dalam Islam yang disebut sebagai kejahatan bukan hanya ketika ada perbuatan dari si pelaku yang melakukan kekerasan seksual, tetapi juga termasuk perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku dan “korban” yang dengan persetujuannya mengizinkan untuk melakukan perbuatan asusila tersebut, dan ini yang disebut dengan zina.

Zina di dalam Islam adalah sebuah kejahatan, jika dalam konteks kekerasan seksual yang dihukum hanyalah si pelaku, sedangkan korban tidak. Akan tetapi dalam perzinahan, kedua-duanya akan mendapatkan sanksi berupa hukuman rajam sampai mati, jika si pelaku perzinahan tadi adalah muhson (sudah menikah). Dan dicambuk seratus kali dan diasingkan jika si pelaku perzinahan adalah ghairu muhson (belum menikah). Hukuman atau sanksi yang berat yang diberikan tentu bukan tanpa sebab. Islam sangat menjaga kehormatan manusia, baik laki-laki atau perempuan. Selain itu, nasab yang jelas juga menjadi perhatian yang besar di dalam Islam.  

Begitu sulitnya mencegah dan penanganan akan kekerasan seksual yang telah lama terjadi di negeri ini tentunya tidak terlepas dari asas yang dianut di dalam kehidupan. Yaitu, Asas sekularisme yang sudah demikian mengakar dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Kehidupan yang terpisah dari tuntunan atau aturan agama menjadikan maraknya kehidupan serba permisif, serba bebas, dan semaunya. Manusia merasa bebas menentukan apapun aturan berdasarkan kepentingan dan hawa nafsunya semata. Sehingga bukan maslahat dan keberkahan yang didapat, justru sebaliknya hanya kerusakan demi kerusakan yang diperoleh. Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh Anjar Rositawati

Posting Komentar

0 Komentar