Pilih Berlimpah Subsidi atau Gaji Tinggi?


 

Pemprov DKI Jakarta menetapkan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2022 sebesar Rp4.453.935,536. Kenaikan tersebut ditetapkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta formula pada Pasal 26 dan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Nominal kenaikan UMP hanya dikisaran Rp37.000 (mediaindonesia.com, 21/11/2021).

 

Meski demikian, seperti diberitakan kompas.com, 22/11/2021, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan bahwa karena besaran UMP ditetapkan berdasarkan ketentuan pemerintah pusat. Maka, UMP sulit dinaikkan lebih besar lagi. Tapi, dia berjanji akan membantu buruh untuk memiliki hidup yang layak di Jakarta dengan beragam subsidi program hidup murah.

 

Namun karena desakan buruh, akhirnya UMP 2022 DKI Jakarta direvisi oleh Gubernur DKI dengan menaikkannya menjadi 5,1 persen. Maka, ada kenaikan sebesar Rp225 ribu dari sebelumnya (lawjustice.co, 18/12/2021).

 

Dari fakta di atas, ada beberapa hal yang kiranya perlu dikritisi. Pertama, apakah pemprov DKI Jakarta akan benar-benar mampu mengakomodasi kebutuhan buruh? Karena faktanya, dilansir laman kumparan.com, 18/12/2021, seperti yang dikatakan Gubernur Anies sebelumnya, aturan menaikan UMP adalah ketentuan pemerintah pusat. Selain itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melalui Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Apindo DKI Jakarta, Nurjaman, mengatakan bahwa pihaknya menolak keras karena tidak hanya memberatkan pengusaha, tapi revisi itu juga menyalahi aturan. Artinya, belum ada sinergi antara kebijakan pemerintah pusat dengan pemprov DKI terkait upah.

 

Selain itu, harusnya ada prinsip keadilan dalam pembuatan aturan, baik bagi pengusaha maupun rakyat. Karena, sudah menjadi rahasia umum proses perizinan maupun ongkos logistik nasional cukup berbelit dan berbiaya tinggi. Biaya perizinan dan ongkos produksi yang tinggi pastinya akan berpengaruh pada besaran upah buruh dan harga jual produk. Laman bisnis.com, 18/3/2020 memberitakan bahwa Presiden Jokowi menyoroti masalah utama ekosistem logistik nasional yang belum efisien, baik dari sisi biaya maupun waktu. Menurutnya, banyak birokrasi yang ruwet dan kuatnya ego sektoral kementerian dan lembaga.

 

Kedua, kenyataannya pemberian subsidi tidak serta merta membuat hidup buruh dan keluarganya sejahtera. Karena sesungguhnya, janji manis bantuan program DP 0 rupiah dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) sudah diumbar sejak tahun 2018. Alih-alih menjadi jalan keluar, wacana tersebut justru merugikan rakyat karena membuka lebar pintu korupsi.

 

Gubernur pernah berujar bahwa solusi untuk mencegah seseorang berbuat korup adalah dengan meningkatkan pendapatan untuk para pegawai, sehingga kebutuhan mereka tercukupi. Menurutnya, Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan hal tersebut dengan meningkatkan pendapatan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Sayangnya, hal itu belum dirasakan kaum buruh. Dari fakta ini terlihat masih adanya perbedaan kelas antara buruh dan pegawai pemerintah.

 

Kemudian, dari halaman idntimes.com, 8/8/2021, Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah DKI Jakarta Tahun 2020, yang disahkan Kepala BPK Perwakilan DKI Jakarta, Pemut Aryo Wibowo pada 28 Mei 2021. Terdapat kelebihan pembayaran dana KJP Plus terhadap 1.146 siswa tingkat akhir pada SK KJPP tahap II senilai Rp 2.321.280.000. Hal tersebut disebabkan kurangnya pemutakhiran data dan sistem yang kurang memadai.

 

Bagaimana dengan pelaksanaan subsidi di bidang transportasi dan perumahan? Dari laman merdeka.com, 27/5/2021, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan bahwa korupsi lahan rumah DP 0 Rupiah merugikan negara Rp152,5 Miliar. Sedangkan,

BPK menemukan adanya kelebihan bayar subsidi terhadap PT Transportasi Jakarta tahun anggaran 2018 dan 2019. Kelebihan bayar pada subsidi Transjakarta tersebut berpotensi merugikan negara sebesar Rp415.922,80.

 

Ketiga, fakta di lapangan berbicara bahwa pemberian subsidi banyak yang tidak tepat sasaran. Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, Iman Satria mendorong Dinas Sosial untuk terus menyempurnakan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Upaya tersebut perlu segera dimutakhirkan, karena pelaksanaan distribusi bantuan sosial (Bansos) belum tepat sasaran di tahun 2020 (dprd-dkijakartaprov.go.id, 20/8/2021). Lagipula, buruh yang bekerja di wilayah DKI banyak yang berdomisili di bodetabek. Pastinya, mereka tidak dapat menikmati subsidi yang dijanjikan Pemprov.

 

Keempat, apakah buruh dapat bertahan hidup di ibu kota dengan mengandalkan subsidi yang diberikan Pemprov? Hidup di Jakarta tidak mudah. Biaya hidup di ibu kota sangat besar. Bahkan, cenderung terus mengalami kenaikan. Keputusan itu sontak membuat buruh geram. Pasalnya, kenaikan sekitar 0,8% - 5,1% hampir bisa dipastikan nirmanfaat.

 

Harga kebutuhan pokok di kota besar seperti Jakarta sangat mahal. Dilansir dari laman idxchannel.com, 24/8/2021, berdasarkan survei yang dilakukan setiap lima tahun sekali, Jakarta berada di posisi teratas sebagai kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia. Hal ini wajar, karena Jakarta adalah ibu kota negara, juga pusat bisnis dan hiburan. Indeks harga konsumen di Jakarta adalah Rp7.500.726.

 

Di antara kebutuhan hidup yang harus dipenuhi adalah kebutuhan pokok, yakni makanan dan minuman, tempat tinggal, biaya transportasi dan kesehatan. BPJS kesehatan pekerja pun tidak luput dari masalah korupsi. Belum lagi, buruh juga harus menanggung biaya pendidikan untuk anak-anaknya. Namun dengan penghasilan yang pas-pasan, bagaimana buruh memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya?

 

Miris, dalam sistem Kapitalisme, memang subsidi adalah salah satu instrumen pengendalian tidak langsung. Yang dimaksud pengendalian tidak langsung adalah kebijakan yang bekerja melalui mekanisme pasar, misalnya penetapan tarif serta segala macam pajak dan subsidi (Grossman, 1995).

 

Namun nyatanya, polemik upah, pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran dan biaya hidup yang sulit dipenuhi buruh adalah bagian dari lika-liku kehidupan di kota megapolitan. Subsidi yang digadang-gadang merupakan bentuk perhatian negara untuk rakyat, justru membuka pintu korupsi baru bagi pejabat khianat produk sistem demokrasi. Rezim nihil keberpihakan. Sistem demokrasi dengan jargon dari rakyat untuk rakyat, nyatanya justru memiskinkan rakyat. Demokrasi menciptakan kelompok pekerja yang dimiskinkan secara kultural dan struktural di tengah watak masyarakat kapitalisme yang hedonis.

 

Sayangnya, masyarakat tersebut sebagian adalah umat Muslim. Sungguh ironi memang, harusnya mereka menjadikan Islam sebagai sistem hidup. Faktanya, pemahan sekularisme yang sudah merasuk dan mendarah daging justru menjauhkan kaum Muslim dari Al Quran dan Assunnah. Padahal, "Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR. Imam al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

 

Politik ekonomi Islam baik di pusat maupun daerah didasarkan paradigma negara wajib menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer setiap warga, juga kebutuhan pelengkapnya secara merata. Konteks hubungan antara negara dengan rakyat dalam pandangan Islam adalah pelayanan dan pengaturan, bukan bisnis.

 

Akad ijarah antara pekerja dan pengusaha sudah diatur dalam syariat Islam. Besaran upah kerja, jenis pekerjaan juga waktu kerja merupakan akad yang ditetapkan berdasarkan keridhaan kedua belah pihak. Aturan tersebut untuk menghindari rasa terpaksa, apalagi ada pihak yang dirugikan. Apabila terjadi konflik antara buruh dan pengusaha terkait upah, maka pakar (khubara’) lah yang menentukan upah sepadan. Pakar tersebut dipilih oleh kedua belah pihak. Jika masih ada sengketa, negaralah yang memilihkan pakar dan memaksa kedua belah pihak menerima keputusan tersebut.

 

Yang harus diingat adalah bahwa pihak yang paling bertanggungjawab atas kesejahteraan seluruh rakyat adalah negara, bukan pengusaha apalagi rakyat. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi kaum laki-laki dan memastikan semua kebutuhan pokok rakyatnya bisa terpenuhi. Kebutuhan pokok mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak seperti yang dicontohkan Rasul Saw., sahabat dan Khalifah sesudahnya. Percuma gaji tinggi kalau harga kebutuhan pokok selangit, fasilitas pendidikan dan kesehatan sulit dijangkau dan harga rumah tidak masuk akal. Jadi dengan riayah negara, tanpa subsidi pun in syaa Allah kebutuhan rakyat mudah didapat karena negara sudah memfasilitasinya, Wallahualam bishawab.

Oleh Anggun Permatasari

Posting Komentar

0 Komentar