Pola Asuh Anak, Libatkan Semua Pihak!


Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Bogor, Halimatu Sadiyah menginginkan kader meningkatkan potensi diri dalam mengembangkan Pola Asuh Anak dan Remaja (PAAR). Menurutnya, pola asuh dan remaja untuk menyiapkan generasi penerus yang berkualitas. Karena pertumbuhan anak ditentukan dari cara mengasuh dan memberikan makanan bergizi serta stimulus anak pada usia dini, (Radar Bogor, 03/11/21).

Pola Asuh Anak dan Remaja (PAAR) atau pola asuh anak remaja di era digital (PAAREDI) merupakan program prioritas dari Kelompok Kerja (Pokja) I, Bidang Pembinaan Karakter Keluarga, Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Pusat Periode 2020-2024. Program tersebut disusun untuk membentengi moral dan integritas serta toleransi.

Program prioritas tersebut bertujuan untuk meningkatkan peran keluarga terutama orang tua dalam membentuk karakter anggota keluarga dengan pola asuh yang tepat. Yakni mendorong terwujudnya karakter keluarga yang berakhlak dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku anggota keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleransi, bergotong royong, dan cinta tanah air, (kemendagri.go.id, 9/3/2021).

PAAR pun dirumuskan untuk mengatasi meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual terhadap anak, serta penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) di kalangan remaja. Untuk mendukung hal tersebut, sejumlah strategi akan diterapkan untuk membangun pola asuh yang tepat bagi anak dan remaja.

Strategi-strategi tersebut berupa membangun Keluarga Indonesia Sejahtera dan Harmonis (KISAH); Keluarga Indonesia Anti Trafficking (KIAT); Keluarga Indonesia Sehat Tanpa Narkoba (KRISNA); Keluarga Indonesia Lindungi Anak Dari Kekerasan Seksual (KILAS); Membangun Kesadaran Bela Negara; Keluarga Indonesia Sadar Administrasi Kependudukan (KISAK).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh negara untuk mengembalikan pola asuh yang benar. Namun di sisi lain negara membiarkan berbagai ide dan paham yang justru merusak pola asuh itu. Jika kita cermati kondisi remaja saat ini, akan kita dapati kondisi krisis moral dan kriminalitas yang  cukup menonjol. Sebut saja tawuran pelajar, miras, narkoba hingga seks bebas menjadi fenomena biasa di kalangan para remaja. Tak jarang kita dengar kekerasan yang menewaskan teman hingga orang tua. Dan pelakunya adalah remaja, baik karena konflik, ajang eksistensi, hingga alasan kemauannya tak kunjung dituruti.

Lantas mengapa hal ini bisa terjadi? Seharusnya remaja yang menjadi penerus bangsa dan  pemilik masa depan. Namun justru mereka sendiri melakukan "bunuh diri" terhadap potensi mudanya. Setidaknya hal ini terjadi akibat dari beberapa faktor.

Pertama, runtuhnya ketahanan keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama juga tempat yang aman untuk pulang dan berkembang. Keluargalah yang seharusnya menjadi problem solver dari setiap masalah yang dihadapi.  Namun kenyataan saat ini banyak keluarga yang tak mampu menjalankan peran itu. Ibu yang seharusnya menjadi tempat anak berkeluh kesah, tak ada di rumah. Sibuk mencari uang. Demi membantu suami mencari nafkah, atau sekedar eksistensi diri. Karena katanya perempuan harus berdaya, harus mandiri. Ayah yang seharusnya menjadi pemutus segala persoalan, tak mampu berfikir jernih. Karena tuntutan dan persaingan di luar sana jauh lebih menyita waktu dan pikiran. Maka bagi anak-anak rumah bukan lagi sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk pulang. Ketahanan keluarga kini sudah diujung tanduk.

Kedua, hilangnya kontrol sosial di tengah masyarakat. Pesatnya teknologi membuat masyarakat semakin individualistis. Tidak peduli lagi terhadap sekitar lingkungan tempat ia tinggal. Jangankan saling mengingatkan saat terjadi kemaksiatan, bertegur sapa pun jarang dilakukan. Tak heran jika sesama tetangga tidak saling kenal. Maka, tak ada lagi pengasuhan yang dilakukan oleh masyarakat.

Ketiga, kebebasan yang kebablasan secara sistematis. Banyaknya ide hingga budaya barat yang bercokol di tengah-tengah masyarakat yang semakin mengakar kuat. Sebut saja sekularisme, hedonisme, individualisme, liberalisme dan paham lainnya yang dipahami sekaligus dilakukan masyarakat. Masuk dan berkembangnya paham-paham tersebut akibat tidak adanya  kontrol negara. Padahal paham kebebasan inilah yang menjadi sumber utama kebobrokan moral bangsa, termasuk para remajanya. Namun negara justru menumbuhsuburkan faham kebebasan demi menjunjung tinggi HAM.

Tak heran jika remaja saat ini kehilangan 'para pengasuh' mereka.  Pola asuh dan pengasuhannya pun diserahkan pada teknologi seperti ponsel pintar dan search engine yang memudahkan mereka mencari apapun dan mampu mengasuhnya dalam 24 jam penuh. Penyerahan pendidikan hanya ditanggung oleh sekolah. Akibat orang tua menyerahkan sepenuhnya tanggungjawab tanpa melibatkan dirinya.

Maka, sudah seharusnyalah mengembalikan para pengasuh mengambil peranannya kembali. Seperti mengembalikan para ibu ke rumah sebagai ummun wa rabbatu bait (ibu dan pengurus rumah tangga). Guna memaksimalkan pendidikan dan pengasuhan pertama untuk anak-anaknya. Agar senantiasa hadir dalam perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, bersama ayah, sang pemimpin keluarga. Agar mereka memiliki teladan dan kasih sayang seutuhnya. Bukan semata-mata diserahkan pada sekolah, karena sekolah adalah mitra bukan penanggungjawab utama pendidikan keluarga.

Selanjutnya mengembalikan peranan masyarakat sebagai kontrol sosial yang melakukan aktivitas al-amr bi-l-maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-munkar (menyuruh kepada kebajikan dan mencegah dari keburukan). Tak lupa peran sentral yang dilakukan negara untuk memproteksi dan memfasilitasi para generasi muda. Memproteksi dari bahaya ide-ide rusak sekaligus menancapkan aqidah Islam sebagai landasan kehidupan. Menjadikan ketaatan kepada Allah dan menghadirkan idrak sillah billah (hubungannya dengan Allah).

Negara juga wajib memfasilitasi para generasi muda untuk berkembang, yakni dengan penerapan Islam secara kaaffah dalam bingkai Khilafah. Aturan-aturan tersebut dilaksanakan bukan karena sanksi pidana dari negara, melainkan karena kesadarannya sendiri akan wajibnya diatur oleh hukum Illahi. Pemikiran, perasaan, dan penerapan aturan inilah yang membentuk akhlak pada individu hingga masyarakat secara sistematis.

Sebab akhlak merupakan produk atau hasil dari pelaksanaan perintah Allah SWT yang dapat dibentuk dengan mengajak masyarakat kepada aqidah dan melaksanakan Islam secara sempurna. Baik-buruknya akhlak dikembalikan kepada Allah semata, yakni dengan aturan hukum syara. Maka, akhlak yang dihasilkan pun akan bersifat unik, khas, dan berbeda-beda tiap aturan yang diberlakukan di wilayahnya.

Dalam pendidikan Islam pun terdapat tujuan utama yakni terbentuknya syakhshiyah (kepribadian) Islamiyah pada setiap individu. Dimana syakhshiyah merupakan 'aqliyah (pola pikir) Islamiyah dan nafsiyah (pola sikap) Islamiyah yang selaras dan saling berikatan. Tentu saja hal ini dilandasi dari aqidah Islam yang membentuk ketaatan dan senantiasa terikat dengan hukum syara'.

Maka, akhlak tidak bisa instan ditanamkan dengan strategi semu yang hanya berbasis keluarga tanpa melibatkan masyarakat dan negara. Juga, tak mungkin perubahan pola asuh dan pendidikan yang bersandar pada sistem yang memisahkan aturan negara dan kehidupan. Terbukti hal tersebut justru mencetak generasi muda yang semakin rusak dan minim adab sebagai potret remaja saat ini.

Hal ini semakin menguatkan bahwa kita membutuhkan institusi Khilafah yang mengembalikan peranan para pengasuh yakni keluarga terutama orang tua sebagai sekolah pertama. Juga menjadikan syakhshiyah Islamiyah sebagai tujuan pendidikannya dan akhlak sebagai hasil dari penerapan aturan karena kesadaran akan hubungannya dengan Allah SWT. Wallahu'alambisawab.


Oleh Anita Irmawati
(Pengamat Kebijakan Publik)

Posting Komentar

0 Komentar