Polemik GKI Yasmin



Masyarakat Bogor tentu masih ingat dengan kasus pembangunan sebuah gereja yang mengundang polemik berkepanjangan hingga 15 tahun. Kasus ini mencuat kembali dengan adanya kabar bahwa pembangunan gereja tersebut mulai dilaksanakan.

Walikota Bogor Bima Arya mengatakan polemik GKI (Gereja Kristen Indonesia) Yasmin telah usai dengan ditandai mulai dibangunnya gereja tersebut. Bahkan Bima Arya meminta maaf kepada keluarga besar GKI, dan akan tetap mengedukasi makna toleransi sehingga tidak terjadi provokasi. (www.radarbogor.id  05/12/2021)

Polemik selama 15 tahun bukanlah waktu yang sebentar, proses yang sangat panjang, namun konflik ini lebih menyudutkan umat Islam atas nama intoleransi. Polemik dimulai ketika umat Kristiani ingin membangun rumah ibadah mereka di tengah mayoritas kaum muslimin. Kebohongan-kebohongan yang dilakukan pihak gereja yang akhirnya memicu kemarahan warga, seperti adanya tanda tangan warga yang menyetujui pembangunan tersebut yang pada kenyataannya warga tak mengetahuinya. Polemik ini menyeret hingga ke ranah internasional, seolah-olah masyarakat muslim intoleran.

Hadirnya negara dalam hal ini Pemkot Bogor tak cukup untuk membela kaum muslimin. Pemkot Bogor mengganti lahan untuk pembangunan gereja tersebut, dan saat ini pembangunan gereja sudah dimulai. Sementara narasi intoleransi terus didengungkan untuk memojokkan umat Islam, tanpa menelusuri apa yang sebenarnya terjadi. Serasa umat Islam tak memiliki jiwa tepa selira kepada saudara sebangsa yang berbeda agama. Tak heran jika umat berkata "mayoritas rasa minoritas", meski berada di pihak yang benar sekalipun.

Sudah benarkah makna toleransi saat ini? Mengapa umat Islam selalu menjadi tertuduh ketika terjadi konflik antar umat beragama? Bagaimana peran negara yang seharusnya?

Makna toleransi dalam Islam adalah kita menghormati, menghargai tidak mengganggu agama lain dan tidak  ikut campur ketika mereka melaksanakan ibadah sesuai kepercayaan mereka. Jika dipandang  dari makna toleransi ini, maka sungguh narasi yang salah ketika menganggap umat Islam intoleran karena akar masalahnya adanya kebohongan publik dibalik pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin.

Para ulama telah membahas masalah pembangunan rumah ibadah nonmuslim di negeri muslim. Pandangan ini telah dihimpun oleh Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshari dalam kitabnya Hukm Bina' al-kana' is wa al-Ma'abid as-Syirkiyyah fi Bilad al-Muslimin, sebagaimana sabda Nabi Saw.: "Janganlah kalian mendirikan satu pun gereja di dalam Islam, dan memperbaharui apa yang telah rusak (tiada)" (HR. Abu Muhammad dari Umar bin al-Khattab). Hadis ini dengan tegas melarang mendirikan gereja baru dan memugar yang rusak maupun yang telah tiada.

Pembangunan rumah ibadah nonmuslim dibolehkan ada, namun dengan syarat tidak dilakukan di wilayah warga muslim, tidak untuk melakukan kristenisasi, memprovokasi dan memata-matai umat Islam apalagi melakukan kebohongan publik dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan izinnya.

Disinilah dibutuhkan peran negara yang menjamin kebenaran dan keadilan. Namun negara yang menerapkan kapitalisme dengan sistem demokrasi sekulernya, telah terbawa arus yang senantiasa memposisikan kaum muslim sebagai pihak tertuduh atas nama intoleransi. Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini membuat keteraturan hidup bermasyarakat tak memiliki standar yang pasti, mudah berselisih dan cenderung berpihak pada kaum tertentu.

Toleransi yang hakiki sejatinya hanya bisa diwujudkan dalam sistem Islam. Islam telah mengajarkan sikap toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama. Toleransi dalam Islam adalah membiarkan umat nonmuslim beribadah sesuai keyakinannya. Tidak mencampuradukkan al haq dan batil secara serampangan.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat al Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Ibnu Jarir ath Thobari mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di sini berlaku pada setiap agama."

Berbicara keteladanan dalam bertoleransi, maka Rasulullah Saw. adalah jawabannya. Daulah Islam di Madinah adalah satu potret indah bagaimana kerukunan antarumat beragama diterapkan. Hidup berdampingan antara muslim, yahudi, nasrani, dan musyrik.

Dalam hukum Islam, warga daulah Islam yang nonmuslim disebut sebagai dzimmi. Negara wajib melindungi dan menjaga keyakinan, kehormatan, kebutuhan, dan harta benda mereka. Tak boleh ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi.

Kedudukan dzimmi diterangkan dalam sabda Nabi Saw.: “Barang siapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang hak, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.”  (HR Ahmad). Rasulullah saw juga bersabda, “Barang siapa menyakiti dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat.”  (al-Jâmi’ al-Shaghîr, hadis hasan).

Kerukunan antarumat beragama dalam Islam bukan berarti mencampuradukkan ajaran Islam dengan selainnya. “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”  (TQS Al Kafirun; 6). Itulah makna toleransi dalam Islam. Sesuai batasan syariat serta sesuai kadar yang ditetapkan syariat dalam memperlakukan nonmuslim.

Konflik antarumat beragama tak akan berulang terjadi jika kehidupan sosial masyarakat diatur dengan sistem Islam. Karena batas-batas Islam jelas berdasarkan hukum syara’, bukan berdasarkan hukum manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi.

Sistem yang akan menjaga dan melindungi kaum muslimin hanya akan didapat ketika umat ini menegakkan sistem Islam, sebagai satu-satunya solusi untuk menyelesaikan semua polemik antarumat beragama. Islam dengan sistem khilafahnya telah mampu mewujudkan arti toleransi yang hakiki, tercatat dalam tinta emas peradaban yang mulia. Wallahu a'lam.


Oleh Titin Kartini

Posting Komentar

0 Komentar