Reuni 212 dibubarkan, Menghalangi Persatuan?

 


"Kemarin demo buruh boleh, Pak. Itu kan juga kerumunan. Kita cuma reuni aja, silaturahmi," kata Halimah, salah satu massa Reuni Aksi 212.

Ironi memang, di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, namun tampak sikap demokratis bukan menjadi hak bagi semua kalangan. Ini terjadi pada sejumlah massa yang hendak mengikuti aksi Reuni 212 di kawasan Patung Kuda Monas, Kamis 2 Desember 2021. Peserta aksi terpaksa berdebat dengan aparat kepolisian yang menghalangi mereka.

Massa reuni aksi 212 tertahan di beberapa jalan yang menjadi akses menuju kawasan bundaran Patung Kuda Monas, seperti di Jalan H. Agus Salim atau dikenal dengan Jalan Sabang dan Jalan Kebon Sirih.

Puluhan massa Reuni 212 yang tertahan tersebut diminta bubar oleh polisi. Direktur Binmas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Badya Wijaya didampingi Kabag Ops Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Polisi Guntur Muhammad Thariq ikut terjun membubarkan massa aksi Reuni 212.

Massa Reuni 212 yang tertahan di Jalan Kebon Sirih karena terhalang barikade yang telah dipasang aparat. Petugas gabungan menutup dan mensterilkan akses menuju Bundaran Patung Kuda dan Monas.

Lipstik Demokrasi

Bukan rahasia lagi, karpet merah kebebasan berpendapat dan berekspresi di negeri ini hanya digelar untuk segelintir orang dan kelompok saja. Di sisi lain, segelintir orang dan kelompok lainnya tak bisa berjalan di atasnya. Ini terjadi di negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, namun sikap demokratis tak tercermin dari peristiwa ini.

Ditambah lagi, adagium kebebasan berpendapat dan berekspresi ini dapat disetir sesuai kepentingan. Kebebasan berekspresi misalnya, yang mana dalam sistem kapitalisme sekularisme akan diagung-agungkan. Bahkan digunakan untuk melegalkan perilaku liberalis. Tapi kebebasan ini mandul apabila umat Islam yang ingin menggunakan haknya.

Maka, dapat dikatakan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam demokrasi ini hanyalah lipstik belaka. Selain fungsinya hanya untuk mempermanis tampilan demokrasinya, juga dapat dipakai dan dihapus sesuka hati pemakainya.

Ilusi Keadilan

Cerita tentang perbedaan sikap dan hukum (anequal treatment) dari rezim untuk suatu kelompok masyarakat satu dan lainnya ini telah sering kita dengar di rimba belantara tanah air. Ketika kekuasan telah terkonsolidasi oleh kepentingan tertentu. Maka kepentingan rezim yang mengatasnamakan "kepentingan negara" akan bertindak otoriter.

Mencari keadilan di sistem demokrasi memang bagaikan ilusi. Keadilan sebagai orientasi substansial negara hukum pada akhirnya berubah menjadi ketidakadilan justru oleh negara itu sendiri. Bagian dimana hukum dan kebijakan dapat diasumsikan dan ditegakkan sesuka hati.

Padahal jika merujuk pada salah satu HAM yang dijamin oleh UUD 1945 adalah kebebasan berkumpul dan berserikat yang diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Namun pasal tersebut mendadak tiarap untuk para peserta reuni 212 ini.

Motif Utama di Balik Pembubaran Reuni

Reuni 212 ini merupakan kelanjutan dari Aksi bela Islam tanggal 2 Desember 2016 silam yang populer disebut Aksi 212. Aksi bela Islam dahulu yang berhasil digelar telah nyata menunjukkan eksistensi umat Islam yang sebenarnya.
Penyebabnya adalah eks Gubernur Jakarta, Basuki Thahaja Purnama, yang dianggap telah menistakan agama Islam lewat pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang mengutip QS. Al-Maidah: 51. Maka gerakan ini memunculkan bukti bahwa umat Islam bukanlah umat yang dapat diremehkan kesolidan dan persatuannya.

Umat Islam tidak rela satu ayat dalam Alquran dihina, sehingga mereka bersatu untuk memperjuangkannya sembari mereka menolak pemimpin kafir dalam Pilkada Jakarta tahun 2017 lalu. Maka dari itu, 212 menjadi simbol persatuan umat Islam yang gelombangnya sempat menggemparkan tanah air.

Bersatunya syu'ur atau perasaan umat Islam ini tidak dipandang baik oleh demokrasi. Dan terbukti bahwa realitas demokrasi ini justru menghalangi persatuan umat Islam. Islam dalam harapan demokrasi ialah Islam yang dijalankan hanya untuk seputar ranah individu belaka. Namun apabila Islam telah bertransformasi sebagai gerakan politik, maka dapat dipetakan, apabila Islam politik tersebut justru dapat dijadikan alat legitimasi kepentingan rezim, maka akan dilestarikan. Sebaliknya, apabila Islam politik ini berada dalam oposisi rezim, dari sisi sikap dan pandangannya. Maka rezim otoriter ini akan memukulkan palu godam kepadanya.

Perlu diingat bahwa, rezim tak akan pernah berhenti berupaya apapun untuk meredam opini besarnya gelombang persatuan umat Islam. Perlawanan rezim yang sudah melekat dengan anti-Islamnya, nyata adanya hingga melemahkan taring gerakan 212 ini. Setelah sebelum-sebelumnya gerakan ini dapat menciptakan gelombang yang cukup besar di tengah-tengah umat.

Persatuan umat Islam selamanya tak akan pernah bisa dicapai melalui demokrasi yang berfungsi sebagai sarana penjajahan dan pemecah-belah umat Islam. Persatuan umat Islam yang hakiki, hanya akan bisa diraih melalui kekuatan politik Islam. Maka kita sebagai umat Islam yang memiliki fitrah persatuan, sudah semestinya mencari jalan yang hakiki untuk memperjuangkan persatuan umat melalui jalan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam menyatukan kaum muslim. Yakni dengan mewujudkan Islam sebagai ideologi dan menjalani fungsi politiknya untuk mengurus umat dalam bingkai negara. []

Wallahu a'lam biashshawab.

Oleh Novita Sari Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar