Perkembangan situasi kawasan regional yang dinamis dengan protes Cina pertama dilaporkan Kantor berita Reuters terkait isu Laut Cina selatan. Dalam surat protes itu disebutkan Cina meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas di Natuna. Hal itu dikarenakan Beijing mengklaim bahwa eksplorasi dilakukan di wilayah Cina (reuters.com, 1/12/2021).
Anggota Komisi 1 DPR RI dari Partai Nasdem, Muhammad Farhan yang mengurusi pertahanan dan luar negeri, juga ikut mempertanyakan sikap pemerintah. Sebab, dalam pendalaman itu terungkap bahwa Cina pernah melayangkan dua surat protes diplomatik yaitu latihan bersama Garuda Shield dan protes keberadaan drilling di kepulauan Natuna (bbcnews.com, 2/12/2021).
Menanggapi protes Cina dan kritik DPR, Kementerian Luar Negeri pun menyatakan telah membalas nota diplomatik itu. Pemerintah mengirim surat balasan yang mengatakan bahwa protes itu tidak bisa kami terima, karena drilling dilakukan di wilayah landasan kontingen sesuai UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Namun, pemerintah masih butuh dukungan politik, mengingat hubungan dagang yang erat antara Indonesia dan Cina telah terjalin lama.
Inilah yang menjadi batu sandungan untuk kasus Natuna. Ini pula yang membuat Cina menjadi arogan, sehingga Pemerintah seperti terbata-bata dan kikuk untuk bersikap. Menurut analisis Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Agustus 2021, kapal survei milik Cina bernama Hai Yang Di Zhi Shi Hao tersebut diduga kuat melakukan aktivitas penelitian ilmiah di wilayah ZEE di Natuna. Pembiaran yang dilakukan pemerintah Indonesia, bisa dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim Cina.
Apa yang dilakukan Cina tidak lepas dari strategi geopolitik. Untuk mendapatkan keinginannya, Cina membuat dua strategi. Pertama, pembuatan terusan KRA yang menembus wilayah Thailand. Sehingga, dari Samudera Hindia dapat langsung ke Laut Cina Selatan (LCS). Rencana ini dibuat sebagai antisipasi ditutupnya Selat Malaka.
Sebagaimana kita tahu Selat Malaka adalah selat paling sibuk di dunia setelah Selat Hormuz. Selat ini menjadi tempat lalu lalang kapal-kapal bahan bakar Cina dari Timur Tengah. Malaka memang berada pada daerah Malaysia dan Indonesia, namun lalu lintas disana dikendalikan oleh AS.
Kedua adalah LCS, sebuah proyek besar tentang minyak bumi dan gas alam. Jika cadangan minyak dan gas dioptimalkan, maka Cina dapat memenuhi sekitar 40% kebutuhan minyak pada tahun 2030 nanti. Kebetulan seluruh cadangan minyak dan gas alam berada di luar ZEE Cina.
Kedua strategi ini sangat penting, karena dinilai mampu mengamankan posisi Cina sebagai raksasa perekonomian dunia. Bahkan, Cina membuat landasan pesawat yang dipersenjatai dengan rudal JL-1 dan JL-2 yang dapat mengancam seluruh wilayah Asia Tenggara.
LCS dijadikan sebagai wilayah cadangan bahan bakar, agar Cina bisa mengamankan kekayaan alam dan mewaspadai serangan musuh. Oleh sebab itu, mau tidak mau Cina harus berhadapan langsung dengan AS dan secara geostrategis bisa menjadikan Natuna sebagai pangkalan perang di LCS.
Selain menjadi zona konflik, Natuna juga menyimpan cadangan gas alam terbesar di Indonesia, yakni mencapai 49,87 persen dari total produksi gas alam seluruh dunia. Bahkan, cadangan gas alam Natuna ini adalah yang terbesar di dunia (Data Kementrian ESDM, tahun 2016).
Ini yang disinyalir sebagai sebab konflik berkepanjangan antara Indonesia dan Cina. Tampaknya, Cina begitu percaya diri dan ingin menunjukkan hegemoninya di kawasan Indo Pasifik. Jelas ini merupakan “serangan” multi efek, mulai stabilitas keamanan sebuah kawasan, sampai pada konflik ideologi.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko mengatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan dua skema besar. Skema pertama, pendekatan diplomasi atau pendekatan politik. “Diplomasi itu dimulai dengan yang lembut”, ujar Moeldoko saat ditemui di Kantor Kemenko PMK Jakarta, Senin, 6/1/2020.
Skema kedua, pemerintah akan melakukan pendekatan militer atau keamanan, yakni pertahanan keamanan. Di mana TNI sudah mengambil langkah-langkah antisipasif dengan mengerahkan berbagai kekuatan untuk mengisi area laut Natuna yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia.
Sebagai bukti kesiapan menghadapi Cina, Kementerian Pertahanan pun memborong alat utama sistem senjata (alutsista) TNI dengan nilai mencapai Rp1.760 triliun yang dibeli dari General Director Rosoboronexport, pada 16 November 2020 lalu. Rosoboronexport adalah perusahaan negara asal Rusia yang mengurusi ekspor dan impor senjata (idntimes.com, 2/12/2021).
Meski anggaran untuk alutsista bernilai jumbo yang bisa menciutkan nyali musuh. Namun, Cina tidak terlihat kendor serangannya dan makin menunjukkan jika Natuna merupakan wilayah teritori Cina yang sah.
Pertanyaannya, mengapa alutsista yang bernilai ribuan triliun, tidak mampu menghentikan Cina mengklaim wilayah perairan Indonesia? Karena persoalan pertahanan keamanan tentu tidak hanya tergantung pada alutsista. Namun yang lebih penting adalah kedaulatan sebuah negara dengan membuktikan kemandiriannya dalam mengambil keputusan politis.
Maka, dua skema yang dicanangkan pemerintah tidak akan membuat konflik kepulauan Natuna selesai. Mengapa? Karena Indonesia memiliki keterikatan dan ketergantungan yang sangat besar terhadap Cina.
Berdasarkan data Badan Koordinator dan Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari Cina di Indonesia selama triwulan ketiga 2019 saja mencapai 1,023 miliar dollar AS dengan jumlah proyek Cina di Indonesia pun mencapai 1.619 proyek. Inilah yang menjadi batu sandungan untuk kasus Natuna. Ini pula yang membuat Cina menjadi arogan, sehingga pemerintah seperti terbata-bata dan kikuk untuk bersikap tegas dan frontal.
Cina yang makin agresif menawarkan segala proyek ekonomi membuat Indonesia tidak berdaya. Karena itu, kedaulatan sekaligus kemandirian pertahanan dan keamanan Indonesia sulit terwujud, kecuali, Indonesia berada dalam naungan Khilafah sebagai negara adidaya yang menjadi kepemimpinan umum bagi dunia Islam.
Sebagaimana kita ketahui, Khalifah adalah pemangku kepemimpinan militer. Khalifah yang memimpin aktivitas mengemban dakwah ke seluruh dunia melalui jihad. Jihad adalah satu-satunya metode untuk melindungi kekuasaan atau negara dari segala ancaman, intervensi maupun agresi militer dengan pagelaran latihan militer.
Demikian pula dengan penguatan fisik para tentara, pelatihan penggunaan senjata, ilmu militer yang mumpuni, hingga menjadi militer yang kuat dan siap kapan pun melakukan jihad fi sabilillah. Semua itu agar dalam hubungan dengan negara negara kafir harbi fi’lan, miiiter Khilafah siap untuk kondisi perang.
Demikian juga akan membawa implikasi sulitnya kaum muslimin untuk menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Selanjutnya, metode polugri (Politik luar negeri) Islam adalah jihad. Polugri Khilafah tegak berdasarkan pemikiran (fikrah) yang tetap dan tidak berubah, yakni menyebarkan Islam ke seluruh dunia; dilaksanakan dengan metode (tharîqah) yang tetap dan tidak berubah, yakni jihad (Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, h. 147-152, 2002).
Seruan dan pelaksanaan jihad fi sabilillah dalam Islam adalah dalam rangka mengagungkan kalimat Allah, menyebarluaskan Islam. Jihad ditujukan untuk menyingkirkan kesesatan, kekufuran, dan kezaliman di tengah-tengah manusia. Jihad juga ditujukan untuk menyingkirkan berbagai penghalang fisik dan ideologi yang menghalangi manusia untuk mendapat kebenaran.
Dengan demikian, Khilafah menjadikan pembangunan industri berat untuk kelengkapan persenjataan secara canggih dan mandiri sebagai prioritas utama, bahkan tidak boleh terdistraksi (gangguan) oleh industri lain. Industri berat sangat vital bagi Khilafah, demi menghilangkan ketergantungan terhadap negara imperialis dan pengadaan alutsista untuk keperluan jihad.
Karenanya, dana dari Baitul Maal difokuskan untuk keperluan ini. Bahkan, seandainya dana Baitul Maal kurang, negara bisa menarik pajak (dharibah) dari kaum muslimin yang kaya untuk membiayai pembangunan industri berat” (Syaikh Taqiyuddin, Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, h. 232-237, Syaikh Abd al-Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, bab adh-Dhara’ib, h. 135-144).
Melalui jihad sebagai aktivitas utama, supremasi Khilafah mampu menghalau semua gangguan yang mengancam Khilafah. Seperti yang ditunjukkan Rasulullah Saw., pada saat memerangi pengkhianatan Yahudi. Rasulullah Saw. berangkat ke Khaibar pada Muharam 7 H bersama 1.400 pasukan untuk menaklukkan benteng Khaibar. Dengan show off pasukan maka musuh menjadi gentar dan ciut, (Muhammad bin Umar Waqidi (Kitab al-Maghāzi, 1966, h. 689).
Fenomena tersebut pasti akan terulang saat Khilafah kembali menguasai dunia. Kedaulatan dan kedigdayaan Khilafah sanggup menggentarkan musuh, sehingga setiap potensi gangguan keamanan di tiga matra –darat, laut, udara–mampu dibungkam. Semua bukan ilusi, karena kekuatan dan kekuasaan Khilafah mampu bertahan hingga 13 abad lamanya.
Dalam rangka menggetarkan musuh Islam, Khilafah akan menempatkan pasukan Islam berikut persenjataannya di daerah-daerah perbatasan dengan darul kufur (negara musuh). Politik penjagaan perbatasan inilah yang menyebabkan Islam unggul atas agama dan ideologi lain di dunia.
Allah Swt. dan Rasulullah Saw. menjamin dengan pahala yang besar bagi orang-orang baik militer, maupun sipil yang ikut serta dalam penjagaan daerah perbatasan antara negara Khilafah dengan darul kufur. Semuanya untuk mempertahankan kedaulatan, kemandirian, kewibawaan dan agresi negara asing.
Salman bin Al-Islam radhiallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Ribath sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh. Jika ia meninggal, maka amalnya akan terus mengalir sebagaimana yang pernah ia amalkan, rizkinya juga terus mengalir dan terbebas dari fitnah” (Shahih Muslim, No. 1913).
Dari hadis di atas, dapat kita pahami, Allah Swt begitu besar memberikan keutamaan dan pahala bagi orang-orang yang melakukan penjagaan atas wilayah perbatasan. Maka wajar jika Khalifah sebagai pemimpin tertinggi negara menaruh perhatian besar dan akan memberdayakan seluruh potensi yang ada demi menjaga kedaulatan negaranya, Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar