Syekh Yusuf Al Makassari Al Banjari, Sang Pahlawan Nasional di Dua Negara



Nusantara ratusan tahun lalu lahirlah dari rahimnya seorang ulama pejuang yang tidak hanya menjadi pahlawan nasional di negeri sendiri, namun juga diakui dunia akan sepak terjangnya. Ialah Syekh Yusuf Al Makassari Al Banjari yang merupakan seorang ulama besar asal Gowa, Makassar yang bergerak berjuang memimpin pengusiran penjajahan Belanda.

Mungkin banyak orang yang tidak mengenal dekat dengan beliau saat ini. Namun bila sudah mengenalnya, maka sebagai masyarakat nusantara patut berbangga. Bahwa pernah ada tokoh ulama yang memimpin perjuangan mengusir kaum kafir penjajah agar Islam terus tertancap di dada umat.

Syekh Yusuf mempunyai nama panjang Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani. Ketika lahir (Gowa, 3 Juli 1626) ia bernama Abadin Tadia Tjoessoep atau Muhammad Yusuf. Nama tersebut diberikan oleh Sultan Alauddin, penguasa Gowa pertama yang berkuasa sejak 1593 dan merupakan kerabat dari ibu Syekh Yusuf.

Beliau dibesarkan dalam lingkungan yang kuat ke Islamannya dan mengkhatamkan Alquran diusianya yang masih dini. Sejak remaja, Yusuf muda rajin mempelajari tsaqofah Islam. Saat usianya yang ke 15, beliau berguru pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid di Cikoang.

Syekh Yusuf juga berguru pada Syekh Nuruddin Ar raniri di Aceh pada usia 19 tahun. Sebelum menuju Aceh, Syekh Yusuf sempat mengunjungi Banten dan bersahabat dengan Pangeran Surya (Sutan Ageng Tirtayasa).

Pada tahun 1644, Syech Yusuf menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah untuk beberapa lama. Di Mekkah dan Madinah, Ia belajar kepada ulama terkemuka. Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Sehingga kurang lebih sekitar 20 tahun Ia mempelajari Islam di Timur Tengah.

Pada tahun 1665 ia kembali lagi ke Gowa. Selain untuk menyebar luaskan ilmunya ia juga memimpin dan menguatkan pasukan rakyat Gowa dari perlawanan melawan Belanda saat itu. Karena VOC sedang menyerang dan menyerbu Makassar. 

Sebelum VOC datang ke Makassar, Kesultanan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanudin dapat menyatukan raja-raja Makassar dan Bugis di bawah panji Islam. Kesatuan ini menumbuhkan kekuatan yang dapat menyaingi Belanda di pulau Jawa bahkan di laut Maluku dalam monopoli rempah-rempah.

Melihat kekuatan yang dapat menyainginya di wilayah timur, VOC menyerang kesultanan Gowa dan dapat mengalahkan Sultan Hasanuddin. Sang sultan dipaksa mendatangani perjanjian Bongaya, 1667 yang sangat melemahkan kekuatan Makassar.

Sejak kekalahan Makassar ini, banyak sekali putra Makassar dan Bugis yang hijrah dari tanah kelahirannya. Melanjutkan perjuangan untuk mengusir kafir penjajah menuju medan jihad baru di tanah Jawa, termasuk Syekh Yusuf Al Makassari. Kemudian Syekh Yusuf menuju Banten untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa, sahabat yang saat muda telah dikenalnya untuk melawan VOC.

Bukan hanya membantu pasukan untuk melawan VOC, di Banten Syekh Yusuf juga mendidik, mengajarkan dan mendakwahkan Islam di kalangan masyarakat termasuk di lingkungan kesultanan Banten. Muridnya bukan hanya berasal dari Banten, namun juga terdapat 400 orang yang berasal dari tanah kelahirannya, Makassar.

Dalam perlawanannya menghadapi Kafir Belanda, beliau bergerilya dengan 5000 pasukannya di pelosok Jawa Barat. Namun beliau akhirnya ditangkap dan ditahan di Batavia dan Cirebon. Demi melihat pengaruhnya yang cukup kuat dalam mempropagandakan masyarakat untuk melawan Belanda, akhirnya ia diasingkan di Srilangka pada September 1684.

Islam sudah mendarah daging dalam tubuhnya dan tentunya tak akan pernah bisa diam saat melihat kemungkaran di depan mata. Oleh karenanya di Srilangka pun beliau tetap mendakwahkan Islam hingga muridnya berjumlah ratusan.

Melalui jamaah haji yang singgah ke Srilangka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi kepada para pengikutnya dari Nusantara. Syekh Yusuf memperkokoh keimanan juga memotivasi mereka untuk melawan Belanda. Mendengar hal itu, Belanda makin geram. Sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Semangat dakwahnya selalu menyala di dalam dada. Afrika Selatan, berkat dakwahnya banyak yang memeluk Islam. Hingga akhirnya Syekh Yusuf wafat di Cape Town pada 23 Mei 1699. Keturunan muslim di sana masih ada hingga sekarang. Bekas area pengasingannya di Cape Town saat ini menjadi kota kecil bernama Macassar. Di kota seluas 28.85 km2 ini pun terdapat nama-nama jalan bernuansa Melayu, seperti Macassar Road, Kramat Road atau Sheikh Yusuf Road.

Bukan hanya Presiden Soeharto saja yang menetapkan Syekh Yusuf sebagai pahlawan nasional. Bahkan Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai salah seorang putra Afrika terbaik. Syech Yusuf juga dianugerahi penghargaan Ordo Sahabat Oliver Thambo yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki.

Bagaikan sebuah pohon yang akarnya telah kuat tertancap dan cabangnya menjulang ke langit, daunnya menjadi peneduh siapapun di bawahnya. Begitulah perumpamaan sosok Syekh Yusuf, keimanannya yang menghujam kokoh dan selalu berusaha mengajak sekelilingnya untuk memahami hal yang sama dengan dirinya.

Sampai saat ini pun banyak individu seperti Syekh Yusuf yang berusaha membersamai umat agar selalu dalam rel syariat. Nasib mereka pun sama dengan Syekh Yusuf, walau pun tidak dibuang ke luar negeri, namun mereka diasingkan dari umatnya. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pelaku yang menyingkirkannya sama dengan bencinya Belanda pada kejayaan Islam? Wallahualam.


Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar