Tren pengembangan pariwisata saat ini digadang sebagai sektor unggulan untuk menggenjot ekonomi bangsa. Sebagaimana Menteri PPN Bambang Brodjonegoro dalam acara Seminar dan Dialog Nasional Ekonomi Kreatif Milenial di Era Revolusi Industri 4.0. mengungkapkan, "Indonesia juga akan menjadi salah satu negara tujuan wisata yang penting di dunia pariwisata akan menjadi sumber devisa terbesar di Indonesia. Menggantikan sumber daya alam, tambang, dan perkebunan seperti kelapa sawit,”.
Ungkapan senada juga disampaikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Rudy Susmanto menilai Kabupaten Bogor memiliki modal yang cukup besar untuk mempercepat pemulihan sektor ekonomi pasca pandemi Covid-19. Menurutnya, modal tersebut ada pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor. Menurut Rudy, alam Kabupaten Bogor memiliki banyak sekali potensi yang bisa menggerakkan sektor ekonomi, bisa dari destinasi wisata, bisa juga dari pertanian dan peternakan dan bisa menggabungkan keduanya menjadi agrowisata.
Pergerakan arah pariwisata menjadi leading sektor ekonomi tidak lepas dari arus isu global dunia. Lembaga-lembaga dunia seperti UNWTO (The World Tourism Organization) gencar memprogagandakan pariwisata sebagai salah satu andalan Indonesia sebagai penghasil devisa. Pariwisata diklaim sebagai sektor yang mampu menopang kesejahteraan masyarakat. Narasi tersebut mampu memikat negara-negara berkembang untuk turut menjadikan pariwisata sebagai penopang utama ekonomi negara.
Lembaga dunia terus mendorong pemerintah Indonesia sebagai motor penggerak ekonomi pariwisata. Kemenpar, Bekraf, Kominfo dan BPS dibentuk untuk memperkuat pariwisata sebagai leading sektor ekonomi. Namun, apakah sektor pariwisata betul-betul mampu mengentaskan kemiskinan atau hanya sekedar klaim?
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019 sebesar 4,7 persen. Persentase ini sangat sedikit dibandingkan kontribusi sektor industri pengolahan atau manufaktur sebesar 19, 62%. Kontribusi sektor pertanian sebesar 13,45%, perdagangan 13,02% dan konstruksi sebesar 10,60%. (katadata.co.id/6/1/2020)
Artinya, kontribusi pariwisata terhadap PDB nasional sangat sedikit dibandingkan sektor manufaktur, pertanian, perdagangan dan konstruksi. Dengan kata lain, pariwisata belum terbukti memberikan dampak kesejahteraan rakyat. Pariwisata sebagai sektor penopang utama kesejahteraan masih sebatas klaim. Faktanya, justru sektor manufaktur, pertanian, perdagangan lah yang memiliki potensi mensejahterakan rakyat.
Sektor pariwisata tidak bisa dijadikan sebagai sektor fundamental dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Lebih dari itu, dampak yang muncul alih-alih mensejahterakan rakyat, malah timbul sebaliknya. Selama ini pariwisata digadang-gadang sebagai solusi mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Namun, faktanya tren pariwisata di daerah-daerah menjadikan masyarakat yang tinggal di area tempat wisata kehilangan haknya sebagai tuan tanah. Mereka harus menjual tanahnya lalu akhirnya menjadi pekerja. Mereka tidak bisa lagi bercocok tanam, beternak dan menjual hasilnya. Misalnya, warga kampung Ciletuhhilir, Desa Watesjaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor yang kehilangan haknya berupa tanah, rumah hingga pemakaman karena adanya pembangunan Kawasan Ekonomi Kreatif Pariwisata (KEK- Pariwisata) MNC Lido City.
Pembangunan KEK Pariwisata menjadi paradoks di tengah-tengah kampanye melawan perubahan iklim. Pembangunan besar-besaran komplek wisata menyebabkan kerusakan alam serius akibat getaran yang diakibatkan pembangunan. Di tempat lain, warga Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor mengeluhkan sumber mata air yang menjadi lumpur akibat penggunaan alat berat. Tidak jarang proyek pembangunan tempat wisata membuat hutan berkurang sehingga berpengaruh terhadap persediaan mata air. Dampaknya masyarakat semakin kesulitan bertahan hidup dan slogan pariwisata mengentaskan kemiskinan sama sekali tidak terwujud. Belum lagi masalah dan konflik yang timbul antara warga dengan investor yang tidak ada jalan keluarnya.
Tren pariwisata juga membuka kran investasi baru. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat 3 negara besar yang menjadi investor terbanyak di Indonesia, yakni Singapura, Tiongkok, dan Korea Selatan. Jika dulu kran investasi dibuka selebar-lebarnya untuk menguasai SDA, kini investor asing melebar menggarap sektor pariwisata. Bahkan investasi sampai ke desa-desa dengan adanya konsep desa wisata. Hal ini membuat cengkeraman kapitalis global masuk ke wilayah paling kecil negeri ini, yakni desa-desa.
Hal ini memungkinkan masyarakat menjadi ramah dengan ide-ide kebebasan yang dibawa masuk wisatawan asing. Masyarakat mau tidak mau harus menerima kebiasaan dari wisatawan asing, seperti model pakaian minim, kebiasaan minuman keras, dan seterusnya. Gaya hidup masyarakat desa akan terpengaruh dengan kebiasaan bebas dari Barat.
Logika kesejahteraan masyarakat dengan menjadikan sektor pariwisata sebagai penopang utama ekonomi negara adalah kamuflase belaka. Hal ini tidak lepas dari cara pandang sistem Kapitalisme yang membelenggu negeri ini. Keberadaan negara dalam sistem Kapitalisme hanya sebagai regulator, yakni mempertemukan antara investor dengan sesuatu/benda yang akan diinvestasikan. Kemudian, negara akan menghitung pertumbuhan ekonomi, apakah naik atau turun. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang muncul tidak memperhatikan dampak pada individu per individu, tetapi secara umum saja. Jadi, meskipun data pertumbuhan ekonomi tinggi, namun realitanya kemiskinan di masyarakat masih tinggi.
Apalagi investasi di Indonesia sangat minim serapan tenaga kerja dari masyarakat Indonesia. Pembangunan pariwisata tidak serta-merta membuat pengangguran atau tenaga kerja masyarakat sekitar wisata terserap. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan kenaikan realisasi investasi di Indonesia ternyata tak sejalan dengan serapan tenaga kerja di lapangan. Angka pertumbuhan ekonomi memang seolah naik, tetapi tidak berkualitas (upah tenaga kerja minim dan tidak terampil). Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat individu per individu belum tercapai.
Investor pariwisata yang masuk tidak mengurangi kemiskinan secara progresif. Seharusnya sikap negara berkembang seperti Indonesia mengandalkan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) daripada mengejar sektor pariwisata. Sumber Daya Alam Indonesia sangat melimpah, tetapi dikuasai oleh investor/korporat asing. Alih-alih mengambilnya kembali untuk kesejahteraan masyarakat, justru pemerintah malah mengejar sektor pariwisata yang kurang bernilai.
Negara-negara berkembang dialihkan perhatiannya dari menggunakan SDA pada pariwisata sebagai leading sektor ekonomi. Padahal, negara-negara maju tidak menyandarkan sektor ekonominya pada pariwisata, tetapi manufaktur yang lebih cepat berkembang. Jika Indonesia masih tetap teralihkan dengan kesejahteraan semu sektor pariwisata, alih-alih akan menjadi negara maju, malah sebaliknya.
Dalam pandangan Islam, pariwisata ditempatkan sesuai dengan porsi dan kadar kebutuhannya. Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan visi dan misi Daulah Islam. Pariwisata pun mencerminkan visi dan misi negara, yakni membawa rahmat bagi seluruh alam. Daulah Islam tidak akan menjadikan sektor pariwisata sebagai tumpuan fundamental dalam menumbuhkan perekonomian negara. Sebab, sektor pariwisata hanya sebagai sektor pelengkap sesuai kebutuhan. Tidak seperti sistem Kapitalisme yang menjadikan pariwisata sebagai sarana bisnis dan penopang utama sektor ekonomi. Sistem Islam justru memfasilitasi warga negaranya dengan pariwisata, terlebih yang terkait dengan menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, misalnya fasilitas gratis akses haji dan umrah. Pariwisata terbuka lebar untuk syiar dakwah Islam, thalabul Ilmi dan semakin meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT. Pariwisata harus disterilkan dengan hal-hal maksiat seperti miras, prostitusi, syirik/khurafat sebagaimana dalam sistem Kapitalisme saat ini.
Adapun konsep kesejahteraan masyarakat dalam Islam adalah ketika kebutuhan dasar (sandang, papan, pangan) dan kebutuhan pokok (pendidikan, kesehatan, keamanan) terpenuhi. Enam hal kebutuhan masyarakat akan dipenuhi oleh negara secara langsung dan tidak langsung per individu, bukan secara umum. Daulah Islam memiliki mekanisme untuk menopang ekonomi negara. Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwal fi Dawlah Al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) telah menjelaskan secara lengkap sumber pemasukan negara yang dikumpulkan dalam Baitul Mal. Salah satunya dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum, seperti hutan, minyak, gas dan barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai sumber utama pendanaan negara.
Jika Indonesia mentargetkan diri menjadi negara maju tahun 2041, maka langkah yang seharusnya diambil adalah mengembalikan hak kesejahteraan rakyat. Bukan dengan mengejar sektor pariwisata yang diaruskan negara-negara kapitalis, tetapi mengembalikan pengelolaan SDA untuk dikelola negara dan hasilnya didistribusikan ke masyarakat. Hal itu hanya akan tercapai jika penguasa berani melawan arus negara-negara kapitalis, dan menerapkan Islam Kaffah.
Oleh : Mitri Chan
0 Komentar