Adakah Intervensi Politik dalam Penyatuan Eijkman dan BRIN?

 


Awal tahun 2022 Lembaga Biologi Molekuler Eijkman resmi melebur dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun persoalannya tidak semudah itu. Peleburan dua lembaga yang kemudian bernama Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman itu berbuntut pada berbagai masalah dibelakangnya.

Salah satunya pengembangan vaksin merah putih yang terhambat di tengah potensi naiknya kasus Omicron di Indonesia. Hal ini karena terdapat 113 tenaga honorer dan 71 peneliti harus dihentikan akibat peleburan ini. 

Buntut Peleburan Eijkman dan BRIN

Terdapat beberapa hal yang menjadi buntut peleburan Eijkman ke BRIN. Pertama, menghapus infrastruktur kelembagaan LBM Eijkman yang telah membangun dan menerapkan salah satu kultur akademik terbaik di Indonesia. 

Birokrasi dan peraturan yang saat ini menaungi PRBM Eijkman dinilai berpotensi membatasi ruang gerak untuk mencapai misi dan visi menjadi lembaga penelitian biologi molekuler terkemuka dunia yang mempunyai kontribusi langsung pada kebijakan di dalam dan luar negeri.

Kedua, Eijkman membutukan waktu untuk menyesuaikan dengan kelembagaan baru. Dari seluruh tugas yang terkait Covid-19, hanya vaksin merah putih yang berjalan, namun saat ini mengalami perlambatan walau tetap berjalan. 

Ketiga, adanya perubahan sistem ini membuat pihak swasta kurang tertarik untuk bekerja sama dalam mendukung vaksin merah putih terutama terkendala dengan birokrasi termasuk pembagian royalti.

Keempat, penghentian pekerjaan diagnosis PCR Covid-19 dan pengurutan keseluruhan genom atau whole genome sequencing (WGS). Karena alat untuk diagnosis tersebut digabungkan dan dipindahkan ke Cibinong. Padahal, kapasitas diagnosis di Eijkman jauh lebih besar.

Terkait dengan hal ini Ahli Biologi Molekuler Ahmad Rusdan Utomo menuturkan bahwa peleburan tersebut membuat pekerjaan strategis Eijkman terganggu. Padahal telah nyata bahwa Eijkman meringankan pekerjaan pemerintah sejak awal pandemi. 

"Apa yang dilakukan Eijkman itu adalah kinerja nyata dari tim peneliti yang sebetulnya, Covid-19 itu bukan core utama penelitian mereka. Tapi karena Covid mereka tidak ragu menggunakan akses penelitian mereka untuk meneliti Covid," ujar Ahmad (BBC.com 4/1/2022).

Ahmad juga menuturkan bahwa peralihan yang terlalu singkat ini membuat sebagian tenaga honorer tidak sempat menyiapkan persyaratan yang diberikan. Tak adanya waktu transisi membuat para pekerja honorer tersebut terpaksa diberhentikan. 

Politisasi Lembaga Riset?

Bila dilihat dari tubuh BRIN sendiri, di Oktober 2021, Jokowi telah melantik Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Selain itu adapula Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai wakil ketua, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa sebagai wakil ketua, Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto sebagai sekretaris. Kemudian enam orang anggota, yaitu Emil Salim, I Gede Wenten, Bambang Kesowo, Adi Utarini, Marsudi Wahyu Kisoro, dan Tri Mumpuni.

Diketahui bahwa Megawati selain sebagai pimpinan partai politik, ia juga menjabat sebagai ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Di dalam BRIN, ia bertugas untuk mengarahkan ketua BRIN dalam merusmuskan kebijakan dan pelaksanaan riset yang berpedoman dengan nilai Pancasila. Termasuk memastikan segala inovasi nasional pun berlandaskan dengan nilai Pancasila. 

Namun banyak kalangan mengkhawatikan langkah Jokowi dalam pengambilan kebijakan tersebut. Seperti anggota Komisi VII DPR Fraksi PKS, Mulyanto menyatakan bahwa yang terjadi di dunia ristek nasional sekarang adalah upaya politisasi dan dehabibienisasi oleh kelompok tertentu yang ambisius (Kumparan.com 5/1/2022). 

"Hal ini tentu memprihatinkan. Sampai-sampai jurnal sains terkenal Nature, dalam editorial tanggal 8/9/2021 menulis bahwa ada kekhawatiran intervensi politik dalam BRIN, sebagai lembaga baru terpusat ini (super agency)," sambungnya. 

Entah akan ada langkah apa dari pemerintah hingga pemimpin lembaga riset harus dari pimpinan partai politik yang tidak mempunyai rekam jejak di bidang ilmu pengetahuan. Tentunya spekulasi di masyarakat menjadi liar dimana pemilu sudah di depan mata.

Menempatkan Sain Pada Tempatnya

Pada dasarnya riset di luar bidang sosial akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang akan mensejahterakan dan memudahkan manusia dalam hidup. Dalam hal ini negara harus mengoptimalkan pangadaannya berikut fasilitas yang digunakan olehnya. 

Namun bila riset yang dilakukan adalah dalam bidang sosial, maka pasti akan ada kecondongan terhadap nilai ataukah ideologi tertentu. Oleh karena itu tidak pada tempatnya bila lembaga riset justru dipaksakan akan mengeluarkan hasil riset yang sesuai dengan nilai tertentu. Justru hal ini yang dinamakan pemaksaan terhadap hasil riset.

Ratusan tahun lalu pada saat Islam memegang percaturan politik dunia, penelitian berkembang demikian pesatnya. Saat Khalifah Harun Al Rasyid memerintah, dibangunlah Baitul Hikmah, tempat dimana berkumpulnya para saintis untuk melakukan berbagai riset mereka. Sebut saja Khawarizmi, Al Battani dan masih banyak lagi yang ilmu mereka masih dipakai hingga saat ini.

Walau saat ini Islam dikatakan sebagai ajaran radikal, namun perkembangan sain dan teknologi masa lalu tak tertandingi. Ideologi yang mendasari Negara Khilafah saat itupun sudah tertanam dalam individu tiap ilmuwan, sehingga mereka pun paham mana yang halal dan haram dalam tiap langkahnya.    

Oleh karenanya langkah presiden dalam mengembankan amanah pada pimpinan parpol dan ketua BPIP ini sangat terlihat pemaksaan politik praktis dalam lembaga penelitian tersebut. Apakah untuk mempersiapkan 2024? Wallahualam.

Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar