Bekasiku Tak Aman Lagi



Aksi kriminalitas di Bekasi seolah jadi sajian harian yang disuguhkan kepada masyarakat. Bagaimana tidak, aksi ini tak ada habisnya, baik yang terjadi di pusat kota maupun wilayah sekitarnya. Mari kita tengok pada tanggal 19 Desember lalu. Masyarakat Bekasi dikejutkan dengan video seorang pemuda yang dikeroyok oleh segerombolan orang tak dikenal hingga mengalami luka di sekujur tubuhnya.

Dalam video viral itu memperlihatkan, pelaku penyerangan berjumlah 8 motor tiba-tiba membacok korban di wilayah Kampung Tanah Apit, RW 09, Kelurahan Medan Satria, Bekasi, dan menghujani setidaknya 10 bacokan di tubuh korban. Esoknya, terjadi tawuran antar pelajar di bypass Karawang. Menurut warga, ini bukanlah kali pertama terjadi. Para pelajar yang membawa sajam itu mengejar dan saling serang atu sama lain.

Selain kabar pengeroyokan dan tawuran di atas, banyak lagi kasus lain seperti pembegalan (Jababeka Cikarang), pengeroyokan ustadz (Cikarang), pembobolan ATM (Pondok Melati), pencurian, perampokan, dan masih banyak lagi. Aksi-aksi kriminalitas tersebut turut mewarnai daftar kelam tingginya kriminalitas di Bekasi.

Tingginya angka kriminalitas di Bekasi tentunya menambah keresahan masyarakat, terlebih saat ini masyarakat masih dalam pandemi covid19. Tingginya angka kriminalitas juga dapat kita tarik benang merah setidaknya ada beberapa hal yang bisa dikonfirmasi, yaitu:

Pertama, premanisme yang masih membayangi masyarakat Bekasi. Aksi premanisme ini terjadi dari lingkup kecil hingga besar. Dari mulai premanisme yang mengatasnamakan ormas baik di pasar, toko, maupun pinggir jalan, perebutan lahan parkir, lapak dagang, penguasaan jalan-jalan tertantu dan masih banyak lagi. Premanisme dijadikan ajang unjuk kekuatan antar geng atau kelompok preman. Bahkan demi mencapai tujuannya mereka tak sekedar mencederai, namun juga membunuh. Aksi premanisme ini tak hanya meresahkan, namun juga sudah menghawatirkan. Sampai-sampai muncul istilah, mau aman, bayar dulu. Disamping persoalan premanisme juga masuk kedalam persoalan yang juga mendunia.

Kedua, kemiskinan. Maraknya aksi kriminalisme di Bekasi tak lepas dari kondisi ekonomi. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan saat pandemi, memaksa mereka mencari jalan pintas dengan menjadi pencuri. Jika memang demikian, maka pelaku tidak selayaknya diberikan hukuman karena ia mencuri karena lapar, untuk memenuhi hajatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan Jauzjani dari Khalifah Umar berkata,

“Tidak ada potong tangan pada masa paceklik (krisis/bencana).” Ia berkata, “Saya tanyakan hal itu pada Ahmad, ‘Kau berpendapat demikian?’ Ahmad menjawab, ‘Demi usiaku, saya tidak memotong tangannya bila kebutuhan mendorong dia, sementara orang-orang berada dalam masa sulit dan lapar’.”

Ini merupakan pemahaman Umar yang mendalam untuk tujuan-tujuan syariah. Khalifah Umar memandang inti masalah ini dan tidak cukup melihat sisi luarnya saja. Khalifah memandang faktor penyebab pencurian. Umar menemukan faktor pendorongnya adalah rasa lapar yang dinilai sebagai  kondisi darurat yang membolehkan hal-hal terlarang. Ini seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Umar dalam kisah anak-anak kecil pencari  kayu bakar, “KaIian mempergunakan mereka dan membuat mereka lapar  hingga salah satu di antara mereka bisa memakan sesuatu yang haram, baginya halal.”

Namun demikian, ini berbeda kasus jika terjadi penjarahan-penjarahan yang dilakukan dengan brutal dan mengerikan. Yang diambil bukan hanya barang yang untuk di makan. Barang-barang lain pun diambil seperti; televisi, ban motor/mobil, kulkas, dll. Ini jelas tidak termasuk dalam kondisi di atas. Sebab barang-barang di atas bukan barang-barang yang bisa langsung dimakan yang menyebabkan rasa lapar jadi hilang sehingga nyawa bisa tersambung lagi. Jika terjadi pencurian seperti ini maka hukum had terkait dengan pencurian harus ditegakkan. Jika memenuhi nishâb maka pencurinya harus dipotong tangannya. Tidak ada pengecualian, karena sudah melebihi batas pengkhususan hukum syariah.

“Demi Allah kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri pasti akan aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, lemahnya peran negara dalam menciptakan keamanan ditengah masyarakat. Negara yang seharusnya menjadi junnah (pelindung) gagal melindungi rakyat. Yang ada, rakyat justru menjadi korban. Tagar #PercumaLaporPolisi adalah bukti dari sekian banyak kasus yang tidak selesai, digantung, bahkan tak diurus. Aksi-aksi kriminalitas di atas tentu membuat ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Masyarakat ingin aman dan terlindungi dimanapun dan kapanpun, namun masyarakat tak mendapatkan yang demikian.

Ya, tentu yang demikian tak akan didapat dalam sistem yang ada saat ini. Aksi kriminalitas hanya bisa diselesaikan dengan apa yang diwariskan oleh Rasulullah Saw dan para Khulafaur Rasyidin. Dialah Khilafah Islamiyah. Dalam penerapannya, tercatat bahwa Khilafah mampu menjamin keamanan dalam negeri dengan sangat baik. Sehingga rakyat mampu hidup tenang dan damai tanpa merasa terancam di negerinya sendiri.

Dalam negara Khilafah, polisi (syurtoh) berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Tugasnya adalah menjaga keamanan dalam negeri dari hal-hal yang mengganggu. Aktivitas yang mengganggu keamanan dalam negeri adalah hirabah (perompakan), seperti pembegalan di jalan, menyerang orang-orang untuk mengambil harta mereka dan mengancam nyawa mereka. Pencurian, qadzaf (menuduh berzina), perampokan, propaganda menentang daulah baik secara langsung maupun lewat tulisan juga termasuk dalam kategori perbuatan yang mengganggu keamanan dalam negeri.

Artinya, Departemen Dalam Negeri berwenang menjaga stabilitas keamanan di dalam negeri dari hal-hal yang dapat merusak atau mengganggu kenyamanan masyarakat. Polisi sebagai aparat yang berada di dalamnya bertugas menjaga sistem, mengelola keamanan dalam negeri, dan berperan sebagai kekuatan implementatif yang dibutuhkan oleh penguasa untuk menerapkan syariat Islam.

Jelas tampak bahwa syariah Islam ada cara tersendiri dan khas dalam menanggulangi krisis bencana. Religius, strategis, totalitas, menyeluruh dan penuh keteladanan. Ini semua dijalankan dalam bingkai keimanan dan ketakwaan dalam Islam. Istilah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah tidak akan adal lagi jika Islam diterapkan.

Sudah saatnya umat islam kembali pada sistem Islam yang mampu menghilangkan berbagai tindak kriminalitas. Sistem yang akan memberantas habis aksi kriminalitas hingga ke akar-akarnya. Sistem yang mampu menerapkan sanksi hukum yang tegas dan juga memberikan efek jera bagi pelakunya. Maka, sudah sepatutnya kita turut serta menerapkan sistem yang membawa kesejahteraan itu. Yang akan memberikan kesejahteraan tak hanya bagi masyarakat Bekasi tapi juga bagi seluruh alam.


Penulis: Humaida Aulia

Posting Komentar

0 Komentar