"I am not yet love you because of Allah, time and process will tell the truth”. Ungkapan seorang sahabat yang cukup sederhana namun begitu dalam maknanya. Selama ini kita mungkin sering mendengar atau bahkan kita sendiri turut mengucapkan “anauhibbukifillah, aku mencintaimu karena Allah”. Benarkah? Apa buktinya? Seorang ulama besar Hasan Al Basri rahimahullah berkata: “Banyak manusia yang mengaku cinta maka Allahpun menguji mereka”.
Biasanya ketika cinta sudah menuntut pembuktian, di situlah nyali kita diuji, ada yang maju pantang mundur, ada yang ciut kemudian mundur teratur, atau ada juga yang diam tertegun tidak tahu harus berbuat apa. Ketika cinta sudah menancap kuat dalam dada, maka apapun yang diinginkan oleh orang yang kita cintai akan kita lakukan atau kita penuhi.
Ketika suami suka makanan sunda, maka istri akan berusaha menyediakannya meskipun mungkin seleranya tak sama. Atau sebaliknya, suami akan melakukan apapun demi membahagiakan hati sang istri. Namun seiring waktu berjalan, rasa cinta itu kadang pudar, hubunganpun renggang bahkan hancur berantakan. Seolah sulit menemukan cinta sejati atau memang tidak ada yang namanya cinta sejati?
Suami yang mencintai istri karena kecantikannya, maka cintanya akan pudar ketika istri tak cantik lagi. Istri yang memuja suami karena kekayaannya, maka tak akan sama ketika sang suami jatuh miskin. Kita baik sama orang, teman, sahabat, tetangga karena mereka baik, maka akan berubah saat mereka tak lagi baik. Selama cinta kita sifatnya masih terbatas di dunia, mustahil akan menemukan cinta sejati. Karena sifat dunia adalah fana, ada batasnya, tak ada yang abadi.
Jika menginginkan cinta abadi maka harus menyertakan Dzat yang maha abadi, yakni Allah Swt. Saat kita mampu mengadirkan raca cinta kepada istri, suami, anak, teman, sahabat, tetangga dekat maupun jauh karena Allah, itulah cinta abadi, yang akan kita bawa sampai mati. Sebagaimana dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda, kita kelak di akhirat akan bersama dengan yang kita cintai.
Seseorang mustahil bisa memberikan cinta yang tulus sampai dia benar-benar sudah mencintai Allah Swt. Bayangkan saja, dengan Allah yang tidak terlihat saja bisa jatuh cinta, apalagi kepada manusia yang jelas wujudnya. Adakah cinta yang tahan terhadap 'ketidakhadiran'? Bagi yang pernah atau tengah mengalami LDR “Long Distance Relationship” pasti paham bagaimana rasanya. LDR pun ketidakhadirannya tidak selamanya.
Maka teladan terbaik dalam hal ketulusan cinta tidak lain adalah beliau Rasulullah Saw. Rasulullah mencintai kita umatnya, sudah sejak 1400 tahun lalu tanpa perlu bertemu dulu dengan kita. Mengapa bisa demikian? Karena hati Rasulullah telah mahabbah (mendekat) lebih dahulu kepada Allah. Orang yang belum mengenal dan mencintai Allah mustahil bisa tulus mencintai, pasti ada ekspektasi berupa keinginan mendapatkan balasan dari orang yang dicintai.
Sementara rasa cinta kepada Allah atau rasa cinta kepada manusia karena Allah, tidak akan berharap apapun selain balasan dari Allah saja. Kita mencintai suami, istri dan anak kita karena memang Allah memerintahkan kita mencintai mereka, apapun kondisi mereka. Kita berbuat baik kepada orang lain, bukan karena mereka baik kepada kita, tapi karena Allah memerintahkan kita berbuat baik. Terlepas apakah mereka membalasnya dengan kebaikan yang sama atau justru sebaliknya, karena yang kita harapkan adalah pahala terbaik dari Allah Swt.
Rasa cinta kepada Allah akan mendorong siapapun untuk mengejar apa-apa yang Allah cintai dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi apa-apa yang Allah benci. Rasa cinta kepada manusia karena Allah, akan memastikan orang-orang yang dicintainya juga mencintai Allah, taat dan patuh kepada Allah. Rasulullah bersabda; “... Siapapun tidak akan merasakan manisnya iman, hingga ia mencintai seseorang tidak karena yang lain kecuali karena Allah semata”.
Seorang istri yang mencintai suaminya karena Allah, tidak akan membiarkan suami bekerja di tempat yang haram hanya demi gaji atau jabatan yang tinggi. Karena istri paham, suami akan mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang didapatnya di hadapan Allah kelak. Lebih baik hidup sederhana tapi berkah daripada bergelimang harta tapi mengundang murkaNya.
Seorang suami yang mencintai istrinya karena Allah, tidak akan mengijinkan istri keluar tanpa menutup aurat dengan sempurna. Selain istri terancam tidak bisa mencium baunya surga, dosa istri juga menjadi tanggungan suami kelak di akhirat. Orangtua yang mencintai anaknya karena Allah, tidak akan membebaskan anaknya bergaul apalagi pacaran. Karena tahu pacaran adalah perbuatan mendekati zina yang diharamkan oleh Allah. Semua ini adalah bukti cinta sejati, cinta yang ikhlas karena Allah, tak rela orang yang dicintai merasakan panasnya api neraka.
Cinta yang tulus ikhlas karena Allah akan abadi. Bahkan cinta ini tak terbatas hanya kepada keluarga atau saudara dekat saja, karena ikatan aqidah di dalam Islam luas tanpa batas. Selama orang tersebut muslim, dibelahan bumi manapun dia berada, maka dia adalah saudara. Rasulullah bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”. Sudahkah kita sudah mencintai saudara di luar keluarga kita, termasuk teman, sahabat, tetangga jauh maupun dekat, pemimpin kita murni karena Allah? Sudahkah kita mengingatkan ketika mereka melanggar hukum Allah? Kepedulian kita terhadap urusan akhirat mereka adalah bukti bahwa kita benar-benar mencintainya karena Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah, dengan mencintai dan membenci (segala sesuatu) hanya karena-Nya”.
Penulis: Anita Rachman
0 Komentar