Bukan Ibu Kota Baru, Rakyat Hanya Butuh Sistem Baru



Ketok palu sudah dilaksanakan, dalam waktu singkat dilansir dari laman kompas.com, 21/01/2022 DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) baru menjadi menjadi undang-undang dalam kurun 43 hari saja. Untuk proyek sebesar ini, pembahasan RUU menjadi UU dilakukan tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai. Preseden ini mengingatkan tentang bermasalahnya pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja yang juga didalangi DPR dan pemerintah. Undang-undang yang berujung divonis inkonstitusional bersyarat ini juga dibuat dengan sistem kebut semalam seperti halnya UU IKN.


Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) bahkan menyebut proses pembahasan RUU IKN oleh DPR itu menjadi rekor tercepat dalam sejarah pembuatan RUU hingga disahkan menjadi UU. Sementara itu, Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pipin Sopian menganggap pembahasan RUU IKN di DPR dilakukan secara ugal-ugalan. Dari sisi lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai proses penentuan lokasi, pun tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. (cnnindonesia.com, 19/01/2022).     


Disinyalir, di balik pengerjaan yang serba kilat ini ada satu benang murah yang menautkan beleid ini: keduanya sarat kepentingan pengusaha kelas kakap. Koalisi Masyarakat Sipil menuding bahwa proyek ibu kota negara (IKN) baru merupakan megaproyek oligarki yang mengancam keselamatan rakyat. Adapun Koalisi Sipil ini terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 LBH kantor, Yaysan Srikandi Lestari, Sajogyo institute, dan #BersihkanIndonesia.


Pemindahan ibu kota ini tak lebih dari proyek oligarki karena meurut koalisi, tampak upaya mendekatkan IKN dengan pusat bisnis beberapa korporasi di sana, yang wilayahnya konsesinya masuk dalam kawasan IKN. Koalisi menilai, ada upaya “menghapus dosa” korporasi-korporasi tersebut. “Menurut catatan JATAM Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN dimana tanggungjawab untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang seharusnya dilakukan oleh korporasi, diambil alih dan menjadi tanggungjawab negara,” tulis mereka. 


Pihak yang terdampak dari proyek ini sangat banyak, mulai dari warga dan masyarakat adat Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara, para ASN pemerintah pusat yang selama ini tinggal di Jakarta, hingga warga Sulawesi Tengah yang harus menghadapi kerusakan lingkungan imbas proyek tambang di wilayahnya demi suplai infrastruktur dan tenaga listrik IKN. 


Dikatakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, bahwa serba kilat penentuan Kalimantan Timur sebagai kawasan IKN yang baru dinilai hanya akan “mengekspor” masalah Jakarta ke wilayah tersebut. Untuk diingat, saat mengumumkan akan melakukan pemindahan ibu kota, Presiden RI Joko Widodo mengaku akan menunggu kajian untuk menentukan wilayah IKN. Namun kenyataannya kajian yang dimaksudkan tersebut dan diklaim menjadi dasar penetapan wilayah Kalimantan Timur sebagai ibu kota tidak diketahui keberadaannya. Dengan kata lain bahwa penetapan Kalimantan Timur sebagai ibu kota bukan berdasarkan atas sebuah kajian yang mendalam.  


Selain itu, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar AMAN Muhammad Arman menilai, UU IKN bakal menjadi alat legitimasi perampasan wilayah dan pemusnahan entitas masyarakat adat disana karena tak memuat klausul penghormatan dan perlindungan masyarakat adat yang terdampak proyek IKN. (kompas.com, 21/01/2022). 


Kesan terburu-buru akhirnya membuat masyarakat merasakan adanya ‘udang di balik batu’. Kesan pemerintah tidak mendalami dan tidak mengindahkan himbauan dari para ahli juga mengisyaratkan hal yang sama. Di saat rakyat butuh banyak bantuan dan subsidi, justru pemerintah sibuk dengan ‘rumah baru’. Anggaran yang dikeluarkan untuk membangun ibu kota baru pun jumlahnya tidak main-main, yang pastinya tidak sedikit. 


Alangkah baik dan bijaknya jika anggaran tersebut dipergunakan untuk meringankan beban rakyat saat ini di saat pandemi berkepanjangan, dimana roda perekonomian sempat mandek dan begitu lambat berjalan dikarenakan banyaknya terjadi PHK . Atau untuk membangun wilayah-wilayah yang tertinggal dari segi sarana prasarana serta memperbaiki infrastruktur yang telah usang atau rusak.


Kepindahan ibu kota ke wilayah baru sebenarnya bukanlah masalah dan tidak akan menjadi masalah. Jika berjalan dengan perencanaan yang matang dan tidak ‘ugal-ugalan’. Serta tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Menurut Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, seorang Profesor Riset bidang Sistem Informasi Spasial (SIS), bahwa pemindahan ibu kota tetap memerlukan suatu perencanaan yang luar biasa. Pemindahan itu harus optimal dari sisi kota yang baru dibangun, kota yang ditinggalkan, selama transisi semua urusan pelayanan rakyat tidak boleh terganggu. Lalu setelah pemindahan selesai, efisiensi pemerintah harus meningkat. 


Dirangkum oleh suara.com, 30/07/2019. Di era presiden Soekarno pun pernah mengalami perpindahan ibu kota ke wilayah lainnya, tercatat ada tiga kota yang sempat menjadi ibu kota Indonesia, yaitu Yogyakarta, Bukittinggi Sumatera Barat, dan Bireuen Aceh. Meskipun akhirnya ibu kota kembali ke Jakarta. Itu artinya perpindahan ibu kota ke wilayah lainnya bukanlah sebuah hal yang baru di negeri ini. Dan wacana kepindahan ibu kota  ke wilayah lainnya sudah lama ada sejak pemerintahan presiden lainnya sebelum Joko Widodo.


Sejarah peradaban Islam pun mencatat sedikitnya empat kali perpindahan ibu kota negara. Namun alasan utama saat itu adalah politik. Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah. Damaskus saat itu sudah ibu kota musim panas kekaisaran Byzantium. Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abasiyyah dari Damaskus ke Baghdad. Baghdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctepison, ibukota Persia. Perpindahan ketiga adalah pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol, dan pusat Khilafah lalu dipindah ke Kairo. Sedang yang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul, ketika Khalifah terakhir Abbasiyyah mengundurkan diri setelah melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkan ke seluruh dunia. (Mediaumat, 01/05/2019). 


Oleh karena itu, perpindahan ibu kota bukanlah dengan meninggalkan masalah lama dan membuat masalah baru di ibu kota baru. Apalagi jika sampai terlihat adanya kesan hanya untuk menghapus ‘dosa-dosa’ para korporasi yang telah lama ‘bermain’ disana. Negeri ini sejatinya ‘tidak butuh’ tempat baru untuk menangani atau menyelesaikan permasalahan yang sudah begitu kompleks. Tetapi lebih butuh kepada pembenahan yang hakiki, pembenahan yang dimulai dari akarnya. Pembenahan yang lebih merujuk kepada perubahan sistem yang mendasar. Saatnya mencampakkan sistem buatan manusia dan kembali kepada sistem Ilahi. Wallahualam. 


Oleh Elif Shanum




 


 



 



   



 


Posting Komentar

0 Komentar