Demokrasi Biang Munculnya Penista Agama

Sampai kapan umat Islam harus terus bersabar? Berulang kali Islam dinistakan, bahkan semakin lama frekuensinya semakin sering. Belum selesai kasus M.Kece, Joseph Suryadi penista Rasulullah saw. kemudian membawa ramai tagar #TangkapJosephSuryadi.

 

Sebelumnya juga ada kasus penistaan Islam yang dilakukan oleh youtuber Joseph Paul Zhang. Sekarang, muncul lagi cuitan Ferdinand Hutahaean. Mantan politisi Partai Demokrat ini telah berani menistakan Allah Swt.

 

Beberapa pihak akhirnya melaporkan Ferdinand ke polisi. Di antaranya BMI (Barisan Muslim Indonesia), Sulawesi Selatan dan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Termasuk kritik keras juga dilayangkan beberapa pihak. Salah satunya datang dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas yang menilai cuitan itu telah menyakiti umat Islam. Tidak hanya itu, Ketua Umum PA 212, Slamet Maarif juga menyerukan melaporkan Ferdinand Hutahaean ke pihak kepolisian. Ia menilai Ferdinand telah melakukan penodaan terhadap agama (CNN Indonesia.com, 6/1/2021).

 

Senada dengan itu, Pengamat hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Erfandi mengatakan bahwa kasus penanganan hukum terhadap Ferdinand harus tetap berlanjut. Sebab, delik yang dilakukan oleh Ferdinand termasuk dalam delik umum (RMOL.id, 8/1/2022).

 

Akhirnya, laporan terkait dugaan melanggar Pasal 45a ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat 2 KUHP kepada Ferdinand tetap berjalan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menjelaskan surat panggilan pemeriksaan terhadap Ferdinand tersebut berisi seruan agar yang bersangkutan menghadap penyidik untuk dimintai keterangan sebagai saksi pada Senin (10/1) (kabar24.Bisnis.com, 8/1/2022).

 

Terlepas adanya pemanggilan dari pihak berwenang, tidak bisa dipungkiri alam kebebasan sudah mulai kebablasan tanpa batas. Bahkan, sampai menghina Allah pun seperti tidak ada rasa takut sedikit pun bagi pelakunya karena terus saja hal itu terjadi. Termasuk dalam hal ini pemberian sanksi juga tidak cukup membuat jera pelakunya.

 

Demokrasi menjunjung tinggi nilai kebebasan. Di antaranya adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang memang membuat posisi umat Islam sangat dilematis. Satu sisi Allah sebagai Dzat Pencipta (Al-Khaliq) Yang Maha Kuasa dan Maha Agung harus disembah dan disucikan, malah menjadi ajang ejekan dan hinaan atas nama kebebasan. Tidak tegasnya hukuman yang diberikan, misalnya hanya 5 atau 6 tahun penjara tidak membuat jera pelakunya.

 

Dikutip dalam laman hukumonline.com, 25/8/2021, bahwa dalam Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".

 

Jadi, mungkin diperlukan satu produk hukum yang tegas untuk menjaga 'izzah Islam, yakni dengan hukuman mati bagi pelaku penista agama. Alasannya karena dalam aturan Islam, penghinaan terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah dosa besar dan berat hukumannya di hadapan Allah.

 

Dikutip dalam Buku Sistem Sanksi dalam Islam, tulisan Abdurrahman Al Maliki, pada Bab Perbuatan yang Berhubungan dengan Agama. Pertama, setiap orang yang melakukan aktifitas penyebaran ideologi atau pemikiran kufur (di luar Islam), maka akan dikenakan sanksi penjara 2 sampai 10 tahun, jika pelakunya bukan Muslim. Jika pelakunya seorang Muslim, maka kepadanya berlaku hukum murtad, yakni dibunuh.

 

Kedua, setiap tulisan atau seruan yang mengandung celaan terhadap salah satu akidah kaum muslim, maka pelakunya akan dikenakan sanksi penjara 5 sampai 15 tahun, jika pelakunya bukan muslim atau celaannya tidak sampai mengkafirkan pengucapnya. Namun, jika pelakunya seorang muslim dan jika celaan tersebut dapat mengkafirkan pengucapnya, maka ia akan dikenakan sanksi murtad (hukuman mati).

 

Ketiga, Setiap orang yang menyerukan kepada akidah dzanniyyah atau kepada pemikiran-pemikiran yang esensinya bisa memengaruhi perasaan kaum muslim, maka ia akan dikenakan sanksi jilid dan penjara 5 tahun. Demikian ketegasan hukum dalam Islam ketika Islam dijadikan satu dasar institusi Pemerintahan.

 

Maka, sudah sepatutnya umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini mengembalikan 'izzah Islam. Tidak terus berharap pada keadilan semu demokrasi yang tidak pernah terbukti, karena umat Islam selalu dalam posisi lemah. Demokrasi hanya berjalan sesuai kehendak pihak yang berkuasa, bukan untuk umat Islam dan ajaran Islam. Selain itu, wabah Islamophobia telah menjangkiti negeri ini sedemikian rupa.

 

Diakui atau tidak, demokrasi yang dihasilkan dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) bukanlah habitat yang tepat bagi umat Islam untuk hidup. Hal ini karena sekularisme menegasikan agama mengatur kehidupan. Sekularisme dari kata "sekuler" yang diperkenalkan pertama kali oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846.

 

Menurutnya, sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah, terlepas dari agama wahyu atau supernaturalisme. Definisi lain dari sekularisme dikemukakan oleh A. Hornby (ahli bahasa berkebangsaan Amerika). Menurutnya, sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh lembaga keagamaan harus dikurangi sejauh mungkin dan bahwa moral dan pendidikan harus dipisahkan dari agama.

 

Akar historis dari konsep sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen di dunia Barat. Di Barat pada abad modern telah terjadi proses pemisahan antara hal-hal yang menyangkut masalah agama dan non agama (bidang sekuler). Masalah ini diawali dengan ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan di satu pihak dan dogma Kristen di pihak lain.

 

Di dunia Islam, istilah "sekuler" pertama kali dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan politikus nasionalis Turki. Dalam rangka pemisahan antara kekuasaan spiritual Khalifah dan kekuasaan duniawi Sultan di Turki Usmani (Kerajaan Ottoman) pada masa itu. Ia mengemukakan perlunya pemisahan antara diyanet (masalah ibadah serta keyakinan) dan muamalah (hubungan sosial manusia). Pengertian sekularisme dalam pandangan ulama dan ilmuwan Islam sangat beragam.

 

Sayyid Qutb (filsuf Muslim dari Mesir, 1906-1966) mendefinisikannya sebagai pembangunan struktur kehidupan tanpa dasar agama. Karena itu, sekularisme bertentangan dengan Islam, bahkan merupakan musuh Islam yang paling berbahaya. Pandangan Qutb didukung oleh Altaf Gauhar (filsuf Muslim kontemporer dari Mesir) yang menyatakan bahwa sekularisme dan Islam tidak mempunyai tempat berpijak yang sama. Esensi Islam ber-antitesis terhadap sekularisme (republika.co.id,12/9/2008).

 

Jadi, jelas asas hidup sekularisme tidak mungkin bisa dipadukan dengan Islam karena jelas bertentangan. Bahkan, akan menghambat penerapan aturan umat Islam yang sempurna dalam kehidupan. Sehingga, kalau dipaksakan akan terjadi seperti saat ini. Syariat Islam yang dijalankan dipilih-pilih yang relevan sesuai hawa nafsu manusia, sementara yang tidak akan ditinggalkan.

 

Padahal, Allah Swt. berfirman: ....."Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat" (TQS Al Baqarah:85).

 

Maka, demi menyongsong kebangkitan dan kemuliaan umat Islam kembali sebagai umat terbaik, hendaknya umat ini hanya berpijak kepada habitat yang seharusnya yakni penerapan syariat Islam secara Kaffah dalam institusi Khilafah Islamiyyah, Wallahu a'lam bi asshawwab.

 

 Oleh Hanin Syahidah


Posting Komentar

0 Komentar