Viral di media sosial minimarket diserbu antrian warga memborong minyak goreng. Hal ini terjadi setelah pemerintah menginstruksikan penurunan harga minyak goreng karena beberapa hari sebelumnya melonjak tajam. Bahkan beredar foto, kaca minimarket pecah dengan ceceran darah di lantai. Pembelianpun dibatasi maksimal 2 pcs per orang. Untuk menghindari orang melakukan dua kali pembelian, setiap pembeli diberi tanda tinta ditangan layaknya pemilu. Namun, ternyata hal ini tidak cukup efektif mencegah masyarakat membeli melebihi batas yang ditentukan. Bahkan, muncul sebuah postingan ada yang berhasil membeli 48 pcs minyak goreng dengan mengajak seluruh keluarga besarnya.
Fenomena panic buying seperti ini bukan kali pertama terjadi. Yang cukup menghebohkan muncul ketika awal mula pandemi covid-19 menimpa negeri ini. Mulai dari masker, hand sanitizer hingga susu beruang dan rempah-rempah yang kabarnya dapat menyembuhkan virus ini harganya tiba-tiba meroket karena tingginya permintaan dan terbatasnya persediaan. Bahkan ada yang kemudian memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan menimbun barang-barang tersebut demi kepentingan dan keuntungan pribadi meskipun harus dengan merugikan kepentingan banyak orang.
Ada dua hal penting yang dapat diambil dari fenomena panic buying ini, yang pertama karakter individu yang melakukan panic buying, kedua sejauh mana peran negara dalam hal menjaga kestabilan harga agar tidak memberatkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Apa yang dipikirkan si pembeli yang berhasil mengumpulkan 48 pcs minyak goreng ketika seharusnya hanya boleh membawa pulang 2 pcs? Apa yang dipikirkan oleh penimpum masker saat masyarakat disekitarnya sangat membutuhkan barang tersebut sebagai pelindung dari virus yang mengancam jiwa?
Sikap seseorang bergantung pada pehamanannya. Dari pemahaman akan memunculkan kecenderungan yang kemudian terlahir dalam perilaku/perbuatan. Membeli atau menimbun barang sebanyak-banyaknya saat yang lain sedang membutuhkan adalah sifat individualis.
Sifat yang hanya mementingkan diri sendiri, yang penting kebutuhan pribadinya tercukupi, atau syukur-syukur bisa mengambil lebih banyak keuntungan dengan menjualnya kembali. Tidak berpikir bahwa orang lain sangat membutuhkan barang tesebut, apalagi berpikir bahwa tindakannya tersebut akan menyulitkan atau bahkan mencelakakan orang lain, jika barangnya adalah sesuatu yang vital.
Karakter individualis lahir dari sistem kapitalistime. Sebuah paham atau konsep hidup yang mengedepankan materi dan untung rugi. Watak kapitalis memunculkan kecenderungan menganggap materi adalah segalanya, maka perilakunya tidak jauh dari mengejar apapun yang mendatangkan harta dan atau menghasilkan keuntungan untuk diri sendiri.
Kapitalisme skala individu saja sudah sangat merugikan masyarakat di sekitarnya. Apalagi pada skala yang lebih besar yaitu negara, dimana orang-orang yang memang punya kapital atau modal besar akan terus terdorong untuk memperbesar lagi modalnya, memperbanyak lagi kekayaannya, dengan cara mendekati yang berkuasa atau merangkap penguasa sekaligus pengusaha. Hal ini dapat diindera dari kebijakan-kebijakan yang dibuat, apakah berpihak kepada kepentingan rakyat atau justru mengesahkan undang-undang yang jelas-jelas ditolak oleh rakyat.
Negara dengan sistem kapitalisme, kebijakannya takkan jauh dari upaya menjaga keuntungan dan atau kepentingan para kapital, bukan rakyat. Ketika menurunkan harga minyak namun hanya minyak yang dijual di minimarket, yang notabene pemiliknya bukan rakyat kecil, lantas bagaimana dengan minyak yang dijual pedagang kecil? Dari sini terlihat solusinya bersifat parsial tidak menyeluruh dan tidak menyentuh akar permasalahan mengapa harga barang tersebut naik. Seandainya pun ada rakyat yang terbantu maka itu hanya sebagian dan sifatnya sementara.
Maka jelas, kapitalisme melahirkan karakter individualis yang secara sadar atau tidak membuat seseorang menjadi lebih mementingkan diri sendiri, bahkan tak jarang mengorbankan orang lain. Sistem kapitalisme juga melemahkan peran negara dalam menjaga kestabilan harga dan roda ekonomi karena tersandera perjanjian dengan para kaum kapital. Dampaknya, rakyat kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok untuk hidupnya sehari-hari.
Di dalam Islam, karakter individu terbangun sebagai pribadi yang beriman dan bertaqwa, dimana salah satu kecenderungannya adalah tingginya rasa kepedulian terhadap sesama. Allah berfirman dalam Al Quran Surat Al Hasyr: 9 “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Juga dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: “Bukanlah seorang mukmin, seseorang yang merasa kenyang, sementara tetangganya kelaparan”.
Islam melahirkan pribadi-pribadi dengan jiwa peduli yang tinggi, sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan, sekaligus demi mengejar amal kebaikan dengan berbagi kepada sesama.
Sementara itu, Islam juga mengatur bagaimana negara berperan maksimal dalam menjaga terpenuhinya kebutuhan rayatnya, termasuk melalui jalan menjaga kestabilan ekonomi. Di dalam Islam negara tidak mempunyai wewenang mematok harga barang. Aktifitas pasar berjalan apa adanya tanpa intervensi dari pihak manapun. Jika ada kelangkaan barang, maka peran negara adalah mengatur distribusi dari wilayah yang berkecukupan ke wilayah yang kekurangan tanpa syarat dan ketentuan yang menyulitkan. Selain itu, negara juga akan menerapkan sanksi tegas sesuai hukum syarak bagi siapapun yang menimbun atau melakukan penipuan hingga mengakibatkan barang menjadi langka atau harga menjadi melonjak.
Adakah yang lebih baik, lebih sempurna daripada Islam dalam mengatur urusan manusia dan kehidupan? Mulai dari pembentukan karakter individu, masyarakat hingga sistem yang menaungi negara begitu jelas dan rinci di atur di dalam Islam. Semuanya demi tercapainya kemaslahatan dan keselamata seluruh umat manusia, tidak hanya segelintir orang sebagaimana terjadi pada sistem kapitalisme hari ini.
Saatnya tinggalkan sistem kapitalisme yang terbukti rusak dan merusak kemudian menggantinya dengan sistem terbaik yang membawa keberkahan tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat, yaitu Islam.
Oleh Anita Rachman
0 Komentar