Hukum Tegas Korupsi Tuntas



Usulan Jaksa Agung ST Burhanuddin agar pelaku korupsi di bawah 50 juta tidak dipenjara dan cukup dengan mengembalikan uang negara pada akhirnya menuai pro dan kontra. Apalagi dengan alasan agar upaya pelaksanaan proses hukum bisa dilakukan secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.

Dari usulan ini ada dua hal penting yang layak untuk mendapat sorotan. Yang pertama terkait mandulnya hukum bagi para koruptor. Yang kedua terkait dengan motifnya, yakni agar proses hukum dilakukan dengan cepat dan berbiaya ringan.

Kepastian Hukum

Usulan ini secara tidak langsung membuktikan bahwa sistem demokrasi meniscayakan adanya kemudahan mengubah hukum demi kepentingan segelintir orang. Sebab di alam demokrasi hukum adalah produk politik. Hukum dibuat untuk kepentingan politik tertentu. Bukan berasaskan pada rasa keadilan. Padahal seharusnya penegakan hukum bertumpu pada 3 asas, yakni asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Yang pasti, ketika usulan ini diterima, kelak pelaku korupsi akan semakin banyak. Sebab hukuman yang diberikan sangat ringan dan mudah dijalani. Maka korupsi kelas teri ini jelas akan menggunung. Akibatnya uang rakyat yang harusnya digunakan untuk kepentingan umum hanya dinikmati oleh segelintir orang. Cukup kiranya kasus korupsi dana desa dan korupsi dana bansos, menjadi bukti akan hal ini. Endingnya, pembangunan tidak berjalan karena tidak ada dana dan akhirnya rakyat menjadi sengsara.

Terkait kepastian hukum ini, sistem demokrasi memang berbeda dengan sistem Islam. Sebab dalam sistem Islam ada larangan yang sangat tegas terhadap para pemakan harta haram.  Allah berfirman

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa: 29)

Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)

Dalil ini adalah larangan memakan harta dengan jalan batil secara umum. Termasuk di dalamnya riswah atau suap, saraqah atau pencurian, al-ghasysy atau penipuan dan juga harta-harta lain yang di dapat dari jalan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Harta ghulul, uang pelicin, dan korupsi termasuk di dalamnya.

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembuyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul yang akan dia bawa pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul.” (HR. Abu Dawud)

Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, menjelaskan tentang hadits ini, bahwa terdapat dalil keharaman bagi pekerja mengambil tambahan di luar upah yang sudah ditetapkan oleh pihak yang menugaskannya. Hal ini tidak berbeda jauh dengan kondisi sekarang, para pejabat telah melakukan korupsi dengan mengambil uang masyarakat yang jelas bukan haknya, maka justru mendapat dosa yang amat besar.

Dorongan keimanan dan ketakutan akan dosa serta siksa di hari kiamat inilah yang membuat seseorang seharusnya tidak berani untuk melakukan tindak pidana korupsi. Tak hanya itu sistem Islam akan memberlakukan sanksi di dunia secara tegas bagi para pejabat yang melakukan korupsi.

Rasul telah mencontohkan hal ini. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari diceritakan Nabi saw mengangkat seorang dari Bani Asad sebagai pengumpul zakat bernama Ibnu al-Utabiyyah (dalam riwayat lain Ibnu al-Lutbiyyah). Maka, ketika ia kembali ke Madinah, ia berkata, "Ini untuk kalian (zakat) dan ini hadiah untukku."

Maka, Rasulullah berdiri ke atas mimbar dan memuji Allah, kemudian bersabda, "Kenapa seorang yang aku kirim untuk mengumpulkan zakat datang dan berkata, ini untuk kalian dan ini hadiah untukku?'' Rasulullah saw melanjutkan, ''Apakah seandainya ia duduk di rumah ibu bapaknya akan diberikan hadiah itu ataukah tidak? Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah dia ambil sedikit pun (dari hadiah itu) kecuali pada hari kiamat ia akan memikulnya di atas lehernya, berupa unta ataupun sapi ataupun kambing yang bersuara." Kemudian, Nabi saw mengangkat tangannya seraya bersabda sebanyak tiga kali, "Bukankah aku sudah menyampaikannya kepada kalian?" (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini dalam kitab Fathul Bari, bahwa Nabi SAW menerangkan pekerjaan yang dia lakukan (sebagai pemungut zakat) itulah yang menjadi penyebab orang lain memberi hadiah kepadanya.

Tak hanya memberi sanksi bagi para pelaku korupsi dan pemakan harta ghulul, namun para pemimpin dalam Islam juga memberikan teladan yang baik demi menghindarkan diri dari peluang korupsi dan memakan harta rakyat.

Adalah Umar bin Abdul Azis, seorang khalifah yang dikanl sangat hati-hati (wara’) dalam menggunakan fasilitas negara. Dikisahkan bahwa suatu malam beliau masih harus  menyelesaikan tugasnya. Tiba-tiba, putranya mengetuk pintu ruangan dan meminta izin masuk.

“Ada apa putraku datang ke sini?” tanya Umar, “Apa untuk urusan keluarga kita atau negara?”
“Urusan keluarga, Ayah,” jawab sang anak.

Mendengar jawaban sang anak, Umar segera meniup lampu penerang di atas mejanya, sehingga seisi ruangan gelap gulita. “Mengapa Ayah melakukan ini?” tanya putranya itu keheranan.
“Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Minyak untuk menghidupkan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita,” jelasnya.

Keteladanan Umar bin Abdul Azis ini seharusnya juga dicontoh oleh para pejabat negara. Agar mereka selalu berhati-hati dalam menggunakan setiap fasilitas dan kemudahan yang terbuka lebar didepannya. Bukan malah sebaliknya.

Karena itu membangun pribadi shalih dan beriman saja tidak cukup dalam upaya pemberantasan korupsi, tapi juga harus dibarengi dengan penerapan sistem yang shahih dan jaminan kepastian hukum.

Motif Dalam Pembuatan Hukum

Alasan peniadaan hukuman penjara bagi koruptor kelas teri ini memang terdengar cukup aneh. Secara tidak langsung alasan ini memberi kesan bahwa pemberantasan korupsi selama ini memakan waktu yang cukup lama dan berbiaya besar. Karena pelakunya juga banyak, para pejabat mulai dari level atas sampai level yang paling bawah.

Lontaran alasan ini bisa jadi terkait pula dengan kondisi ekonomi bangsa ini. Hutang yang sangat banyak, sedangkan pertumbuhan ekonomi pasca pandemi belum sepenuhnya sesuai harapan. Karenanya berbagai program kini terus dibuat demi mengejar cuan agar perekonomian tidak kolaps. UU IKN yang terkesan dikebut, adalah salah satu contohnya. Harapannya UU ini bisa menjadi payung hukum bagi para investor menanamkan modalnya. Meski untuk itu kepentingan rakyat dan kerusakan lingkungan harus dikorbankan.

Kini dengan meniadakan hukuman penjara bagi para koruptor, diharapkan tak banyak dana keluar untuk pemberantasan korupsi. Apalagi jika para koruptor itu memang benar-benar mengembalikan uang hasil korupsinya kepada negara. Sederhananya, dengan aturan itu, akan ada dana yang masuk ke kas negara. Tentu logika ini sesat pikir. Hanya menyelesaikan satu masalah dengan masalah baru.

Demikianlah sistem demokrasi memang tak mampu lagi membuat solusi tanpa masalah. Tambal sulam dalam berbagai kebijakan serta hukum menjadi ciri khas sistem ini yang membuat ketidakstabilan kondisi politik, perekonomian dan hilangnya jaminan kepastian hukum.

Karenanya, sistem demokrasi ini memang sudah tak layak untuk diterapkan. Maka satu-satunya harapan hanya ada pada sistem Islam yang secara konsep memang tak ada yang meragukannya. Konsep sistemnya sempurna, hukumannya tegas dan nyata, tatanan masyarakatnya dibangun dengan landasan keimanan. Sekarang, tinggal keinginan dan tekad kuat untuk menerapkannya. Wallahualam.


Oleh: Kamilia Mustadjab


Posting Komentar

0 Komentar