Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhirnya menyepakati jadwal pemilihan umum (pemilu) pada 14 Februari 2024. Kesepakatan itu diambil dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI dan Bawaslu RI di Gedung DPR Senayan, Jakarta (antaranews.com, 24/1/2022).
Lamanya proses penentuan jadwal Pemilu 2024, memicu ketidakpastian politik. Hingga akhir tahun lalu, pemerintah, DPR dan KPU gagal menyepakati jadwal Pemilu 2024. Demikian dikatakan pengamat politik dari Paramadina Public Policy Institute, Septa Dinata (rm.id, 4/1/2022).
Setelah pernyataan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia yang mengungkapkan bahwa rata-rata pelaku usaha berharap penyelenggaraan Pemilu 2024 ditunda. Sejumlah partai politik (parpol) angkat bicara merespons pernyataan itu dengan kritik sinis. Bahkan, beberapa dari parpol menyatakan pernyataan tersebut menyesatkan dan memperlihatkan ketidakpahaman Bahlil pada konstitusi.
Padahal, menurut Pasal 7 UUD 1945 yang secara jelas menyebut Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih sekali lagi pada jabatan yang sama. Bahlil disebut menggiring opini, seolah pelaku usaha berharap pelaksanaan Pilpres 2024 bisa diundur dengan pertimbangan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Senada dengan pernyataan Bahlil, Global Overview of Covid-19: Impact on Elections (Alspund, 2020), merilis data, setidaknya ada 75 negara dan wilayah di seluruh dunia telah memutuskan untuk menunda pemilihan nasional dan subnasional karena Covid-19.
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Erik Kurniawan mendorong agar penentuan tanggal Pemilu segera diputuskan. Dalam kasus ini, ia tidak tahu siapa yang diuntungkan karena pemerintah menekankan keinginan mereka bahwa Pemilu berjalan efisien dari segi waktu, biaya dan transisi pemerintahan, sementara KPU lebih mengedepankan beban kerja.
"Padahal secara konstitusional kita sudah tahu bahwa Pemilu wajib digelar setiap lima tahun," kata Erik kepada reporter Tirto, Jumat (8/10/2021). Erik mengakui, pandangan KPU tentang penentuan tanggal 21 Februari masuk akal dari sisi teknis. KPU akan lebih mampu mengelola pelaksanaan Pemilu yang cukup panjang antara Pemilu nasional yang berlangsung 21 Februari dengan pilkada yang dijadwalkan 27 November 2024.
Akan tetapi, konsekuensi negatifnya adalah adanya masa transisi, mulai dari pengumuman hasil Pemilu hingga pelantikan presiden. Sementara itu, kata Erik, konsep pemerintah pun bisa dijalankan karena presiden terpilih bisa ditetapkan pada Oktober 2024 di minggu pertama Oktober meski ada gugatan PHPU di MK.
Namun, ia mengingatkan ada konsekuensi beban kerja penyelenggara Pemilu cukup berat. Ia pun mengakui bahwa pilihan mana pun tidak akan melanggar hukum selama mandat pelaksanaan pilkada tetap harus November 2024. Presiden terpilih pun harus bisa dilantik pada 20 Oktober 2024.
Akan tetapi, resiko penundaan Pemilu justru membuat ruang Pemilu Indonesia semakin terlihat tidak independen. Semakin cepat penentuan tanggal Pemilu akan membuat semua stakeholder bisa bergerak, seperti KPU fokus penyusunan pelaksanaan Pemilu, pemerintah fokus pada anggaran dan partai siap untuk turun, sedangkan publik siap menggunakan hak pilih.
Dosen komunikasi politik Universitas Padjadjaran, Kunto A. Wibowo menilai, ada kerugian besar jika negara terus menunda penentuan tanggal Pemilu. Ia beralasan, kerugian menyasar pada para kandidat Pemilu 2024, baik kandidat pileg, pilpres maupun pilkada hingga warga. Ia khawatir, publik akan semakin antipati bila penundaan terus dilakukan.
Akan tetapi, sebagian aktor politik yang menikmati keuntungan dari penundaan ini. Spekulasi ini semakin nyata bila dikaitkan dengan rencana amandemen. Eksekutif dan parpol bisa saja melakukan lobi politik untuk perubahan pasal seperti masalah perpanjangan periode jabatan atau penundaan pemilihan umum. Dengan demikian, hanya rakyat yang rugi akibat penundaan tersebut.
Oleh karena itu, menyepakati 14 Februari 2024 sebagai tanggal Pemilu maka akan menghemat anggaran, kepastian bagi parpol, pemilih dan kontestan. Kepastian tanggal Pemilu juga diklaim akan membuat posisi Indonesia di dunia internasional semakin baik.
Meskipun awalnya, pemerintah masih ngotot mengusulkan Pemilu 2024 digelar 15 Mei. Bukan 21 Februari atau 14 Februari. Keputusan jadwal Pemilu 2024 di Kompleks Parlemen, Kamis (16/9).Tito meminta keputusan ditunda. Dia beralasan jadwal Pemilu di Februari 2024 berpotensi memicu polarisasi politik.
Tito membandingkan usulan anggaran KPU dengan anggaran Pemilu 2014 yang berada di kisaran Rp16,186 triliun. Ia menyebut anggaran Pemilu 2019 juga hanya di angka Rp27,49 triliun.
Menurut Tito, hasil pembacaan di media, KPU mengajukan anggaran Rp86 triliun. Hal ini memerlukan exercise dan betul-betul melihat detail satu per satu anggaran tersebut, karena ini lompatannya terlalu tinggi (cnnindonesia, 13/10/2021).
Tampak bahwa berlarut-larutnya penentuan jadwal Pemilu 2024 menjadi hangat diperbincangkan, mengingat bahwa setiap penyelenggaraan Pemilu maka eskalasi kepentingan makin tinggi. Sehingga, diperlukan perhitungan jitu untuk menyepakati jadwal Pemilu menjadi tanggal 14 Februari 2024. Beberapa alasan yang cukup menggelitik untuk diperhatikan.
Pertama, alasan ekonomi. Disinyalir bahwa dampak berkepanjangan pandemi covid-19 membuat kondisi perekonomian negara Indonesia mengalami defisit anggaran. Demikian pula keadaan keuangan para cukong yang menjadi sponsor utama politisi untuk ikut berkontestasi di panggung politik.
Kedua, alasan politik. Penundaan Pemilu 2024 bisa menguntungkan incumbent (pemegang jabatan) untuk memperpanjang masa jabatannya dengan dalih menghemat anggaran negara.
Ini adalah momentum untuk amandemen Undang-Undang. Ketidakpastian jadwal Pemilu, memungkinkan pembahasan mengenai amandemen perpanjangan masa jabatan presiden dibahas DPR. Ini adalah simbiosis mutualisme bagi pejabat, elit politik dan parpol koalisi untuk merawat kekuasaan mereka.
Ketiga, alasan meningkatkan elektabilitas calon. Dengan penundaan Pemilu, parpol memiliki kesempatan lebih panjang untuk menaikkan popularitas calon yang diusungnya. Mengingat kandidat presiden 2024 masih berputar di kisaran tiga nama (Anies, Ganjar dan Prabowo).
Kondisi ini, kurang menguntungkan bagi calon presiden yang memiliki elektabilitas rendah meski memiliki sokongan modal yang besar. Olehnya, menjadwal ulang Pemilu merupakan langkah taktis-politis untuk mempromosikan kandidat yang masih terasa asing di benak rakyat Indonesia.
Keempat, menunda atau pun mempercepat Pemilu tetap saja membuat wibawa negara mengalami kemerosotan tajam. Terbukti bahwa meski Indonesia disebut sebagai negara berdaulat, namun realitanya masih sering diintervensi pihak asing.
Ketegasan penyelenggara Pemilu juga disinyalir bisa memperkuat wibawa negara. Bukankah persoalan Pemilu merupakan urusan internal negara. Bagaimana mungkin sebuah negara dengan populasi besar dapat disegani di kancah internasional jika masalah teknis dalam negeri saja sulit diselesaikan. Tapi, persoalannya apakah murni masalah teknis Pemilu atau sesuatu yang sistemik?
Kondisi ini, makin memperburuk citra demokrasi yang hanya dijadikan palagan untuk rebutan kekuasaan. Nampak jika persoalan teknis Pemilu saja menjadi perdebatan dan tarik-menarik kepentingan di antara elit politik.
Ini fakta yang tidak terbantahkan bahwa setiap momentum dalam kehidupan berdemokrasi akan dimanfaatkan oleh kelompok penguasa dan elit politik agar bisa menancapkan pengaruhnya secara mendalam untuk memuaskan nafsu berkuasanya.
Sungguh sebuah ironi, demokrasi yang secara jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya digunakan untuk membangun kekuatan politik yang menguntungkan segelintir orang dan pada akhirnya rakyat jadi korban.
Jika demikian situasinya, Pemilu dimajukan atau dimundurkan bukankah sesuatu yang membawa manfaat bagi rakyat.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk percaya demokrasi dan sekarang merupakan timing yang tepat untuk mencampakkan sistem yang cacat ini dengan mengganti sistem alternatif dan terbaik, yakni sistem Islam yang telah teruji secara historis karena fokus mengurusi rakyat, bukan untuk melanggengkan kekuasaan, melayani cukong apalagi elit politik, Wallahu’alam bishawab.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar