Tahun berganti semua kembali menata diri, melihat mana yang harus diperbaiki, mana yang belum dan sudah terealisasi, semua menjadi bahan evaluasi. Menyoroti bagaimana Islam dan ajarannya diperlakukan di negeri ini, rasanya tidak percaya jika negeri ini adalah negeri dengan penduduk mayoritas muslim. Karena hingga hari ini ujaran-ujaran yang cenderung memojokkan bahkan menistakan Islam dan ajarannya tak pernah padam. Jejak-jejak digital sepanjang tahun 2021, bahkan tahun-tahun sebelumnya, menyajikan fakta dengan gamblang. Disisi lain, publik membaca para pelaku ujaran yang mendiskreditkan Islam dan ajarannya tersebut seolah tak pernah tersentuh hukum.
Sebagaimana disampaikan Sekretaris Jenderal Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) Djuju Purwantoro, Abu Janda (AJ) sudah sering dilaporkan oleh masyarakat karena tidak jera juga berulah melakukan ujaran kebencian, penghinaan, dan atau penistaan terhadap agama Islam melalui media sosial. (tempo.co/31/01/2021).
Tak terhitung berapa kali AJ melontarkan ujaran yang menyesakkan dada umat muslim. Diantaranya, “Teroris punya agama dan agamanya adalah Islam”, “Yang arogan di Indonesia itu adalah Islam, sebagai agama pendatang dari Arab, kepada budaya asli kearifan lokal. Haram-haramkan sedekah laut, sampe kebaya diharamkan dengan alasan aurat”, dan yang terbaru, menantang dengan hadiah uang 50 juta bagi siapapun yang bisa menyebutkan dalil haramnya mengucapkan natal. Bahkan jauh sebelumnya di tahun 2018, AJ juga melakukan penghinaan terhadap bendera tauhid dengan menyebutnya sebagai bendera teroris.
Menyebutkan Islam dan simbolnya sebagai agama teroris dan agama arogan adalah sebuah penistaan yang seharusnya ditindak dengan tegas agar menjadi pelajaran. Sungguh, Islam adalah agama damai dan aturan hukum tentang halal haramnya berasal dari Allah Swt yang jelas akan membawa kebaikan dan keselamatan dunia akhirat.
Setali tiga uang dengan AJ adalah Ade Armando (AA), beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang memancing kegaduhan di tengah umat. Tahun 2018 AA menyebut bahwa “Azan tidak suci. Azan itu cuma panggilan shalat. Sering tidak merdu. Jadi biasa-biasa sajalah”, kemudian tahun ini kembali AA membuat gaduh dengan menyebut bahwa shalat 5 waktu tidak ada di dalam Al-Quran. Sangat disayangkan ini semua keluar dari lisan yang mengaku muslim. Azan yang melafadzkan nama Allah yang Maha Suci dan kitab suci Al-Quran yang begitu sempurna mengatur ibadah manusia, masih saja dipermainkan sekehendak hati.
Tak berhenti sampai disitu, pernyataan kontroversial keluar dari KSAD Dudung yang menyebutkan “Allah bukan orang Arab, maka berdoa tak harus menggunakan bahasa Arab”. Setelah sebelumnya Dudung berujar “Belajar agama jangan terlalu mendalam”, yang kemudian memunculkan reaksi dari masyarakat. Ternyata ujaran tentang Tuhan bukan orang Arab pernah keluar dari seorang AA, tepatnya pada Mei 2015. Di tahun yang sama, AA juga menyebutkan Tuhan umat Islam tidak mengharamkan L98T. Tak henti-hentinya Islam dan ajarannya terus diusik. Layakkah menyamakan Tuhan sang pencipta yang Maha Agung dengan makhuk ciptaanNya yang lemah dan hina? Mungkinkah ini akibat dari tidak mendalam dalam belajar agama, sehingga gagal paham?
Pernyataan yang disayangkan banyak pihak juga keluar dari seorang Buya Syakur, yang menyebutkan Islam bukan agama yang sempurna. Pernyataan ini disampaikannya pada acara bertajuk moderasi yang digelar di Jakarta 1 Juni 2021. Bukankah seorang ulama yang merupakan tokoh panutan seharusnya memberikan pemahaman yang membuat keimanan umat semakin kuat dan kokoh? Dalilnya begitu jelas, baik dalam Al-Quran maupun hadis, bahwa Islam adalah agama yang sempurna, Islam adalah agama yang Allah ridhoi, Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.
Namun semua kasus di atas tak ada satupun yang kemudian diproses hukum hingga tuntas. Ironisnya, disaat yang sama beberapa ulama ditangkap dengan tuduhan telah menebar ujaran kebencian, terlibat dengan kelompok radikal bahkan dituduh terkait aksi terorisme. Sebut saja Ustaz Zain an Najih (Komisi Fatwa MUI), Farid Ahmad Okbah (Ketua Bidang Dakwah PARMUSI), Anung Al Hamat. Ketiganya ditangkap tanpa ada bukti hukum yang kuat dan proses hukum yang transparan. Tahun-tahun sebelumnya ada Gus Nur yang ditangkap dengan tuduhan ujaran kebencian. Habib Rizieq Shihab yang dipenjara karena melanggar protokol kesehatan. Pelanggaran yang juga dilakukan oleh banyak pejabat yang lain. Juga sederet aktifis dakwah yang dikriminalisasi, diintervensi dan dihadang gerak dakwahnya.
Jika yang mereka sampaikan adalah kritik demi kebaikan bangsa, apakah itu termasuk ujaran kebencian? Jika yang mereka sampaikan adalah ajaran-ajaran Islam yang merupakan agama yang sah di negeri ini, apakah itu merupakan sebuah pelanggaran?
Jelas ada kontradiksi dalam sistem demokrasi. Kebebasan berpendapat yang digaung-gaungkan, faktanya tidak ditujukan kepada semua pihak, tapi hanya kepada kelompok-kelompok tertentu. Suara atau pendapat yang notabene datang dari pihak yang berada di luar lingkaran kekuasaan dan itu berseberangan dengan penguasa, dianggap sebagai bentuk permusuhan yang harus segera dibungkam bahkan dilawan.
Inilah dampak jika aturan hidup dibuat oleh manusia. Prinsip kebebasan yang menjadi salah satu asas dalam demokrasi adalah hasil rumusan manusia. Manusia yang mengambil demokrasi memang meyakini adanya Tuhan sebagai Maha Pencipta, tetapi di waktu yang sama menafikkan Tuhan sebagai Sang Maha Pengatur seluruh kehidupan, kecuali dalam hal perkara ibadah. Inilah yang disebut dengan sistem sekulerisme. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan.
Dari sinilah manusia dengan sombongnya merasa mampu membuat aturan hidupnya sendiri, termasuk menetapkan kebebasan dalam bertindak atau berekspresi. Tolok ukur kebebasanpun ditentukan oleh manusia, yang masing-masing punya kepentingan yang harus terwujud. Wajarlah jika yang muncul bukan keadilan, tapi perang kepentingan. Siapa yang paling kuat, maka kepentingannyalah yang mendapatkan jalan.
Islam mengakui Allah Swt sebagai Sang Maha Pencipta sekaligus Sang Maha Pengatur. Hak membuat hukum ada pada Allah Swt. Maka segala perbuatan manusia pada dasarnya terikat dengan hukum syarak. Tidak ada kebebasan dalam artian berbuat sekendak hati atau sesuai kepentingan kelompok tertentu. Seluruh aspek kehidupan aturannya harus berdasarkan sumber hukum yang datangnya dari Allah Swt.
Sementara itu jika ada kasus penginaan terhadap Islam dan ajarannya maka sangat jelas balasannya. Sanksi yang tegas sesuai hukum syarak akan efektif memberikan daya cegah sekaligus efek jera bagi siapapun. Penguasa di dalam Islam adalah pengurus atau pelayan yang mengurusi dan melayani kepentingan rakyatnya dalam segala hal. Menjamin hak-hak pokok rakyatnya terpenuhi, termasuk menjaga aqidah, menjawa nyawa, menjaga harta, mewujudkan keadilan dan sebagainya. Semua dilakukan semata karena ketaatan kepada Allah, bukan malah mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya menggunakan kekuasaannya.
Manakah yang lebih baik, aturan manusia yang penuh kontradiksi atau hukum Allah Swt yang rinci, jelas dan pasti?
Oleh Anita Rachman
0 Komentar