Penegakan hukum di Indonesia kembali mendapat sorotan. Pasalnya Jaksa Agung ST Burhanuddin mengusulkan agar pelaku tindak pidana korupsi di bawah Rp 50 juta tidak perlu dipenjara. Menurutnya, mereka yang korupsi di bawah Rp 50 juta cukup mengembalikan uang tersebut. Mekanisme tersebut dipilih sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Pernyataan ini sontak mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Sebab, penegakan hukum di Indonesia yang selama ini memang dianggap hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kini dengan usulan ini anggapan tersebut terkesan kian nyata.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengkhawatirkan jika usulan ini diterima akan memicu kenaikan kasus korupsi di Indonesia. “ICW meyakini pernyataan Jaksa Agung itu akan semakin menambah semangat para pelaku untuk melancarkan praktik korupsi karena tidak akan diproses hukum,” katanya seperti yang dilansir merdeka.com (28/1/2022).
Kasus korupsi di Indonesia memang telah menggurita. Terjadi hampir di semua lini kehidupan dan berbagai jenjang yang ada. Adanya lembaga KPK pada faktanya tak mampu menekan naiknya angka korupsi ini. Bahkan ada yang menyatakan bahwa KPK hanya berani menangkap koruptor kelas teri, sedangkan koruptor kelas kakap mereka tetap bisa menghirup udara bebas.
Realita ini menunjukkan bahwa kasus korupsi ini adalah persoalan sistemik dan bukanlah sekadar persoalan personal semata. Benar, bahwa memang ada individu-individu tertentu yang berwatak koruptif. Namun jika masyarakat dan lingkungan sekitarnya bersih dan penegakan hukum berjalan dengan baik, maka korupsi yang dilakukan individu ini dengan mudah dapat dibasmi.
Jika ada individu yang bersih, namun hidup di lingkungan masyarakat dan lingkungan kerjanya buruk, maka bisa jadi dia terpaksa untuk ikut buruk dan melakukan korupsi. Betapa banyak individu yang awalnya bersih, tak suka korupsi, ketika berada di tengah komunitas yang buruk maka perlahan tapi pasti ia akan mengikuti lingkungan tersebut.
Lingkungan masyarakat dan lingkungan kerja yang buruk ini tentu tidak serta merta terbentuk. Ada sistem dan mekanisme yang berlaku di dalamnya. Maka sistem inilah yang menunjang korupsi. Sistem inilah yang membentuk keduanya. Membentuk karakter individu dan budaya lingkungan kerja dan masyarakat. Jadi, faktor sistem ini sangat berpengaruh besar terhadap lahirnya praktik-praktik korupsi.
Penerapan demokrasi yang berbiaya tinggi di negeri ini pada akhirnya menjadi pangkal mengguritanya korupsi. Mahar politik yang sangat tinggi membuat para pejabat melakukan abuse of power. Apalagi jika para penguasa juga merangkap pengusaha, maka nafsu untuk meraup keuntungan akan terus menelisik dalam setiap kewenangannya dalam membuat kebijakan.
Wal hasil penerapan sistem demokrasi ini memang membawa banyak sekali kemudharatan. Sebab para penguasa bekerja bukan semata untuk rakyat, tapi demi menjalankan kepentingan para pemilik modal. Itulah penyebab utama maraknya korupsi dan mandulnya penegakan hukum bagi koruptor kelas kakap. Yang jelas dampak paling buruk adalah besarnya kerugian negara dan hilangnya perhatian terhadap kepentingan rakyat. Jika sudah begini, kemana rakyat harus mencari pelindungnya?
Karenanya tegaknya sistem yang bersih, benar dan hanya mengutamakan kepentingan rakyat sangatlah dibutuhkan bagi kondisi saat ini. Dan tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini kecuali sistem Islam. Sebab sistem ini dibuat oleh Allah, sang Pencipta manusia. Semua aturan yang tertuang dalam Islam memang telah dirancang sedemikian rupa agar mampu menjadi rahmat bagi semesta alam.
Sejarah menunjukkan tegasnya penerapan hukum syariat dalam negara Islam membuat minimnya kasus-kasus kriminal. Pun demikian dengan kasus korupsi. Model negara dengan sistem seperti inilah sebenarnya yang diinginkan dan dirindukan oleh semua orang. Karenanya upaya untuk menegakkan sistem Islam yang akan memberantas korupsi ini harus didukung sepenuh hati. Wallahualam.
Oleh: Kamilia Mustadjab
0 Komentar