Hampir 20 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 Megawatt (MW) terancam padam. Listrik untuk 10 juta pelanggan mulai dari masyarakat umum hingga industri, di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) dan non-Jamali terancam padam. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pasokan batu bara ke PLN.
Ironisnya negara Indonesia adalah penyedia batu bara utama bagi dunia bersama Australia dan Rusia. Bahkan berdasarkan data International Energy Agency (IEA), Indonesia menduduki eksportir batu bara nomor satu dunia sejak 2011. Sempat disusul Australia pada 2015-2016, Indonesia kembali jadi eksportir nomor satu pada 2017 sampai sekarang. Pada 2020, Indonesia tercatat mengekspor 405 juta ton batu bara. Lebih besar dari Australia (390 juta ton), Rusia (212 juta ton), Amerika Serikat (63 juta ton), hingga Afrika Selatan (63 juta ton). (www.kumparan.com)
DMO yang Tak Dianggap
Pertambangan dan perindustrian merupakan kedua sektor yang saling berhubungan. Pertambangan merupakan proses hulu yaitu pengambilan sumber daya alam berupa mineral dan batu bara (Minerba) di dalam bumi yang kemudian dilanjutkan industri sebagai proses hilirnya berupa pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Sumber daya alam yang telah diambil harus diprioritaskan terlebih dahulu untuk kebutuhan industri pengolahan dalam negeri. Kewajiban memasok kebutuhan barang dalam negeri itulah yang disebut dengan Domestic Market Obligation (DMO).
Untuk menjamin DMO terpenuhi, maka pemerintah menetapkan peraturan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 34 Tahun 2009 Tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral Dan Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negeri. Selain itu, Keputusan Menteri ESDM Nomor 139 juga telah mengatur lebih spesifik kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri, yaitu minimal 25% dari rencana produksi yang disetujui dan harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik dan kepentingan umum sebesar US$70 per metrik ton.
Badan usaha pertambangan mineral dan batu bara (BUPMB) yang terdiri dari pemegang Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) wajib memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri. BUPMB harus menjual mineral atau batu bara yang telah diproduksi kepada Pemakai Mineral Dalam Negeri (PMDN) atau Pemakai Batubara Dalam Negeri (PBDN).
Dalam hasil rapat antara pemerintah dengan para pelaku usaha batu bara pada 2 Januari 2022, terungkap bahwa 490 dari 613 atau hampir 80 persen perusahaan tambang batu bara yang ada di Indonesia tidak berkomitmen menjalankan kewajiban mengalokasikan 25 persen produksi untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Realisasi DMO mereka hanya berkisar antara 0 hingga 75 persen dari target DMO yang ditetapkan pemerintah. Dari 490 perusahaan tersebut, 418 di antaranya bahkan sama sekali tidak menjalankan kewajiban DMO, atau dengan kata lain realisasi DMO-nya nol persen. 418 perusahaan tersebut diwajibkan memasok batu bara DMO sebanyak 41,363 juta ton, realisasinya tidak ada.
Bahkan untuk pasokan batu bara ke PLN, Ridwan Jamaludin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, “dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari Pemerintah, hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1%. Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU yang ada”.
Perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B tidak mematuhinya. Dari target 25% untuk DMO, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan realisasinya hingga akhir Desember 2021 mencapai 63,57 juta ton. Realisasi kewajiban penjualan batu bara di dalam negeri ini berarti sebesar 10% dari total produksi sepanjang tahun sebesar 611,23 juta ton. Mereka lebih senang mengekspor ke luar negeri. Karena harga di luar lebih tinggi daripada harga yang dipatok oleh pemerintah. Sepanjang pekan ini, harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) meroket hingga 10,32% ke level US$ 180,1/ton secara point-to-point. (www.cbnindonesia.com,19/12/2021). Memang sangat jomplang bila dibandingkan dengan harga yang dipatok pemerintah.
Perusahaan pemegang konsesi tambang batu bara juga tidak takut untuk melanggar. Karena sanksi yang diterapkan pemerintah pun cukup longgar. Pemerintah hanya memberlakukan dua sanksi. Pertama, larangan ekspor batu bara sampai kewajiban DMO atau kontrak penjualan dalam negeri dipenuhi. Hal itu dikecualikan bagi perusahaan yang tidak memiliki kontrak penjualan dengan penggunaan batu bara dalam negeri. Kedua, pemberlakuan denda.
Dalam hal ini pemerintah seakan tidak berdaya. Karena perusahaan-perusahaan tersebut telah mengantongi konsesi untuk mengeruk dan memasarkan batu bara. Hal itu menjadi legal karena ada jaminan payung hukum.
Biang Kerok PLN Krisis Batu Bara
Liberalisasi sektor energi bisa dikatakan sebagai biang kerok dari krisis batu bara dalam negeri, termasuk dalam kasus PLN. Liberalisasi yang meniscayakan privatisasi atas nama konsesi memang telah lama terjadi. Bahkan konsep kontrak dan konsesi telah ada sejak jaman kolonial yang termuat dalam Indische Mijn Wet 1899. Dalam IMW tersebut pada pasal 5 dan 5A menyebutkan bahwa terdapat dua hubungan dalam melakukan kegiatan usaha tambang dan batu bara, yaitu konsesi dan kontrak.
Proses liberalisasi batu bara semakin sempurna ketika pemerintah Orde Baru mengesahkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sementara UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Di sini berlaku konsesi yang artinya perusahaan yang mendapatkannya bebas untuk melakukan perencanaan produksi dan pemasaran. Pemerintah melalui Kementrian ESDM hanya diminta persetujuannya saja.
Dan hasil pengerukan batu bara yang demikian besar itu pun tidak dipergunakan untuk kemaslahatan umat di dalam negeri. Sebagian besarnya untuk memenuhi permintaan luar negeri. Sebab harga batu bara di luar lebih tinggi daripada yang dipatok pemerintah. Secara alamiah pengusaha swasta lebih mementingkan untuk mendapatkan keuntungan lebih. Lalu kebutuhan batu domestik yang sebenarnya hanya butuh 25 persen saja tidak mampu dicukupi. Hingga PLN pun terancam 20 pembangkit listriknya tak bisa beroperasi.
Selain itu, akibat lain sudah kita rasakan. Sejak negara ini merdeka, sebagian besar kekayaan alam yang melimpah-ruah itu hanya dinikmati oleh segelintir orang, yang sebagian besarnya bahkan pihak asing. PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari sektor pertambangan cenderung meningkat setiap tahunnya. Untuk tahun ini saja PNBP sektor minerba hingga 8 Oktober 2021 sudah mencapai Rp49,84 triliun, atau sudah 127,45% dari yang ditargetkan tahun ini yang “hanya” Rp39,10 triliun. Jika dibandingkan dengan PNBP sektor minerba tahun 2012 yang meraih penerimaan Rp24,01 triliun, angka yang dicapai tahun ini sudah lebih dari dua kali lipatnya.
Namun, PNBP ini hanya diperoleh dari “mengemis” iuran tetap maupun royalti kepada pihak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) maupun Kontrak Karya. Tentu keuntungan yang paling besar diperoleh perusahaan yang mengelola berbagai sumber daya alam tersebut. Apabila dikelola oleh negara tentu akan memberikan keuntungan bagi rakyat yang jauh lebih besar. (www.al-waie.id)
Menggagas Solusi Tuntas
Dalam kasus ini perlu adanya jaminan pasokan batu bara kepada PLN secara cukup dan berkelanjutan. Solusi Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara periode 1 hingga 31 Januari 2022 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B merupakan solusi sementara. Tidak ada jaminan akan berkelanjutan. Karena para pengusaha batu bara tadi sudah memegang konsesi dan berhak untuk menentukan batu bara miliknya mau dijual dimana. Dan pasar ekspor lebih menggiurkan bagi mereka.
Persoalan ini membutuhkan solusi lebih mendasar. Solusi itu harus bisa menghilangkan biang kerok hal ini bisa terjadi yaitu liberalisasi. Karena liberalisasi merupakan ruh sistem ekonomi kapitalis maka kita perlu sistem pengganti. Sistem pengganti itu adalah sistem Islam.
Dalam konsepsi syariah Islam, batu bara termasuk ke dalam katagori benda kepemilikan umum. Karena sifatnya yang strategis bagi kehidupan dan fakta tambangnya yang memiliki deposit besar seperti air mengalir. Jenis kepemilikan seperti ini haram untuk diserahkan kepemilikan dan pengelolaannya kepada swasta domestik maupun asing. Sesuai dengan hadis Rasulullah saw. yang berbunyi :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam pengelolaan batu bara dan energi lainnya syariah Islam menyerahkan pelaksanaannya kepada Khalifah (Kepala Negara Islam/Khilafah). Khalifah akan melakukan kebijakan yang paling mendasar bahwa batu bara adalah kepemilikan umum hingga pengelolaan tidak akan dikonsesikan kepada pihak swasta tapi akan dikelola langsung oleh negara. Khalifah akan membatalkan perjanjian penguasaan tambang kepada swasta kecuali tambang kecil.
Pembersihan dalam birokrasi pemerintahan pun akan dilakukan. Agar tambang tidak dijadikan lahan bancakan korupsi bagi aparat pemerintahan. Aturan-aturan yang melindungi pejabat yang memberi ijin konsesi kepada perusahaan swasta akan dihilangkan. Pejabat yang terbukti memanfaatkan jabatan untuk bisnis pribadi akan dipecat dan diberi sanksi yang menjerakan.
Kebijakan akan pengelolaan energi akan diintegrasikan dengan sektor lain seperti industri dan penyediaan bahan mentah. Agar tidak berjalan masing-masing tanpa koordinasi. Untuk perdagangan luar negeri, Khilafah akan bertumpu pada dasar dilakukannya hubungan luar negeri yaitu politik luar negeri. Politik luar negeri Islam adalah dakwah dan jihad. Itulah yang akan menjadi ruh bagi perdagangan luar negeri. Jika perdagangan batu bara ini bisa memperkuat negara lain dan sebaliknya memperlemah Khilafah maka itu tak akan dilakukan. Apalagi kalau menyengsarakan rakyat di dalam negeri seperti terancam padamnya listrik yang digunakan untuk berbagai kebutuhan. Dengan strategi ini, Khilafah akan mengelola energi dengan mandiri tanpa dikangkangi oleh kepentingan oligarki.
Penulis: Rini Sarah
0 Komentar