Peleburan beberapa lembaga penelitian ke dalam BRIN memang perlu untuk disikapi secara tepat. Harus ada sudut pandang yang tepat dalam menyikapinya. Tanpa sudut pandang yang tepat, penyikapan yang muncul bisa jadi tidak memiliki landasan yang kuat dan rasional.
Dan Islam telah memberikan sudut pandang ini. Didasarkan pada sebuah pembedaan yang sangat mendasar antara saintek dan tsaqafah. Atas dasar pembedaan inilah, seorang muslim memiliki sikap yang tepat terhadap keduanya. Jika penguasa juga memiliki sudut pandang ini tentu peleburan beberapa lembaga riset itu tak perlu dilakukan.
Pembedaan Saintek dan Tsaqafah
Dalam kitab Sakhsyiyah Islamiyah jilid II karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani, dinyatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara saintek dengan tsaqafah. Dari sisi definisi, saintek adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari metode ilmiah yaitu melalui observasi, eksperimen ilmiah, dan inferensi terhadap benda-benda material (dalam laboratorium). Misalnya ilmu fisika, ilmu kimia dan berbagai ilmu eksperimental lainnya.
Ditilik dari cara memperolehnya, maka saintek bersifat universal untuk seluruh umat. Tidak dikhususkan kepada satu umat saja, sedangkan umat lain tidak berhak. Dan karena sifatnya universal, maka siapa pun dan dimana pun, pengetahuan ini bisa digunakan dan diterapkan. Misalkan alat pacu jantung yang digunakan di AS bisa juga digunakan di Arab Saudi, sebab alat itu dikembangkan dari pengetahuan saintek yang sifatnya universal.
Karenanya kaum muslimin diperbolehkan mempelajarinya dan menerapkannya untuk mempermudah kehidupannya di dunia. Penggunaan teknologi di rumah tangga, seperti kulkas, mesin cuci, rice cooker adalah hasil teknologi yang dikembangkan dari pengetahuan ini. Realitanya semua teknologi rumah tangga ini sangat membantu dan memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya.
Saintek berbeda dengan tsaqafah. Jika saintek diperoleh dari penelitian dan metode ilmiah, tsaqofah didapatkan dengan metode rasional berupa penyampaian informasi, penyampaian transmisional, dan penyimpulan dari pemikiran. Misalnya sejarah, bahasa, fiqih, filsafat dan seluruh pengetahuan non eksperimental lainnya. Jadi pengetahuan jenis tsaqafah jelas berbeda dengan pengetahuan jenis saintek.
Tsaqafah bersifat khas dan khusus pada suatu umat tertentu, memiliki ciri khas dan berbeda dengan yang lain. Misalnya sastra, sejarah para pahlawan, dan falsafat tentang kehidupan. Karena sifatnya yang khas dan mengandung worldview inilah tsaqafah tidak bebas nilai seperti saintek. Sehingga kaum muslimin juga perlu jeli untuk memahami worldview yang terkandung dalam tsaqafah ini.
Syekh Taqiyuddin An Nabhani juga menjelaskan bahwa ada juga pengetahuan yang non eksperimental dan berkaitan dengan saintek, sekalipun pengetahuan-pengetahuan tersebut termasuk dalam tsaqafah. Misalnya matematika dan teknik industri. Pengetahuan-pengetahuan ini kendati tergolong tsaqafah akan tetapi dapat dianggap sebagai saintek dari segi keberadaannya yang bersifat umum (universal) untuk seluruh manusia, bukan khusus untuk satu umat saja.
Demikian juga ada pengetahuan yang menyerupai industri tetapi tergolong dalam tsaqafah, yaitu yang berhubungan dengan al-hiraf (kerajinan/ketrampilan), seperti perdagangan dan pelayaran. Ini juga dianggap saintek dan sifatnya umum. Adapun kesenian, seperti fotografi, pahat dan musik termasuk ke dalam tsaqafah, karena mengikuti persepsi (cara pandang) tertentu.
Menata Mindset Tentang Riset
Atas dasar ini maka Islam memberikan panduan terkait pengembangan riset dan penelitian yang berkembang dalam kehidupan manusia. Riset yang terkait dengan saintek dan sifatnya universal serta bisa mempermudah kehidupan manusia harus diberi ruang untuk berkembang dengan baik.
Islam telah membuktikan dengan nyata. Ketika riset terkait saintek ini dikembangkan dan diberi perhatian penuh, maka kaum muslimin menjadi bangsa yang maju dan terdepan. Bahkan banyak ilmuwan muslim yang hingga kini namanya tetap diakui secara internasional.
Siapakah yang tidak mengenal Ibnu Sina? Bapak kedokteran dari kalangan muslim ini di dunia Barat dikenal dengan nama Avicenna. Ilmuwan muslim yang berasal dari Persia (Iran) ini hidup antara 980-1037, juga dikenal sebagai bapak kedokteran modern awal.
Salah satu ide awal yang pernah Ibnu Sina ajarkan adalah motode karantina untuk mencegah penyebaran penyakit. Ia mengajarkan, guna mencegah penyebaran penyakit antar sesama manusia diperlukan karantina atau isolasi orang yang berpenyakit itu selama 40 hari. Oleh karena itu, asal usul metode yang saat ini digunakan di banyak dunia untuk memerangi pandemi virus corona yang mengharuskan masyarakat dunia untuk melakukan karantina mandiri dengan tinggal di rumah saja, salah satu sumbernya berasal dari pemikiran Ibnu Sina.
Ibnu Sina juga dikenal sebagai pelopor ilmu kedokteran eksperimental, Salah satunya penemuan penting yang dilakukannya adalah tentang tuberculosis (TBC). Karya Ibnu Sina yang masih jadi rujukan hingga saat ini adalah Kitab al-Shifa (Buku Penyembuhan) dan The Canon of Medicine. Dua buku ini menjadi warisan penting bagi dunia kedokteran di Timur maupun Barat.
Bahkan buku The Canon of Medicine yang dalam bahasa Arabnya Al-Qanun fi Tibb dianggap sebagai buku kedokteran eksperimental paling penting dalam sejarah. Begitu pentingnya, buku itu menjadi kitab suci dunia pengobatan Islam dan Eropa hingga abad ke-17. Buku tersebut dipakai oleh para dosen kedokteran di Barat untuk memperkenalkan prinsip-prinsip dasar sains. Di antara isinya tentang teori dan praktik kedokteran seperti ilmu anatomi, ginekologi, dan pediatri.
Demikianlah Islam telah membuktikan bahwa adanya ruang dan kebebasan dalam mengembangkan riset terkait saintek akan mampu mengantarkan umat manusia menjadi umat yang maju dan terdepan dalam penggunaan teknologi.
Berbeda dengan saintek, riset terkait tsaqafah harus ada pembatasan sesuai dengan ajaran Islam. Jika riset tersebut untuk mengembangkan tsaqafah Islam, maka tentu harus diberi ruang selama landasannya adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Kalaupun ada perbedaan di kalangan para ulama, selama landasan dan dalil yang memperkuatnya berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka perbedaan itu diperbolehkan. Allah Swt berfirman:
وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةً وَٰحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat..” (QS. Hud: 118)
Dari ayat ini jelaslah bahwa Allah Swt melarang untuk berpecah, bukan melarang untuk berbeda pendapat, bahkan perbedaan itu sesuatu yang lumrah dan tabiat kehidupan. Artinya perbedaan dalam hal tsaqafah Islam selama masih didasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah adalah suatu hal yang wajar adanya.
Namun jika riset itu terkait dengan pemikiran di luar Islam maka harus ditujukan untuk mematahkan argumentasinya dan menunjukkan kebatilannya. Tidak boleh dipelajari untuk dikembangkan karena itu akan meracuni pemikiran kaum muslimin.
Sejarah kemajuan riset terkait pemikiran asing yang terjadi di masa kekhilafahan Al Makmun cukup untuk dijadikan contoh. Ketika Al Makmun akhirnya terpengaruh dengan pemikiran teologi liberal yang berkembang saat itu, maka kondisi politik sedikit banyak terpengaruh pula. Keteguhannya meyakini pemikiran bahwa Al Qur’an adalah makhluk membawa pada memburuknya hubungan antara penguasa dengan umat dan juga para ulama yang mencoba untuk menasehatinya.
Atas dasar ini maka seorang kepala negara harus memastikan riset-riset semacam ini agar tidak mempengaruhi pemikiran dan menyebar di kalangan kaum muslimin. Sebab pemikiran seperti ini berpotensi merusak pemikiran Islam yang lurus di tengah-tengah umat.
Riset Dalam Kuasa Demokrasi
Peleburan beberapa lembaga riset di negeri ini seharusnya tidak dilakukan sebab lembaga-lembaga itu adalah lembaga yang berbasis saintek. Namun realita yang terjadi justru sebaliknya, lembaga riset semacam ini dilebur dengan dalih tunduk pada birokrasi yang ada, sedangkan lembaga riset yang terkait tsaqafah asing dibiarkan tumbuh subur.
Dalam kasus ini birokrasi hanyalah sarana yang dipakai untuk memuluskan tujuan tertentu dari penguasa. Sebab birokrasi cenderung diasosiasikan dengan sesuatu yang bersifat hirarkis, bahkan bentuk pemerintahan yang otoritarian. Jadi birokrasi tercipta justru untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat.
Demikianlah sistem kapitalis demokrasi ini seringkali menggunakan jalur birokrasi untuk mencapai targetnya. Meski untuk itu rakyat yang harus jadi korban. Sebab sistem ini memang dibuat untuk mengejar laba dan keuntungan semata. Tak lebih. Jika sudah begini, wajar jika masyarakat tak lagi menginginkan sistem kapitalis demokrasi ini lagi. Wallahua’lam.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar