Mengurai Kemacetan, Merajut Keberkahan



Kota Bogor kembali mencetak rekor. Bogor dinobatkan sebagai Kota termacet kelima di Indonesia. Gelar ini didapatkan dari  hasil penelitian Global Traffic Scorecard 2021. Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto, menuturkan hasil survei tersebut justru menunjukkan peningkatan penataan transportasi di Kota Bogor. Pasalnya, pada 2016, Kota Bogor pernah dinobatkan sebagai kota termacet di dunia versi Waze. (www.republika.co.id) Pak Wali pun tetap berusaha melakukan penataan agar kemacetan bisa teratasi.


Padat Penduduk = Macet?


Kemacetan di Indonesia terutama di kota-kota di Pulau Jawa memang merupakan permasalahan klasik yang belum menemukan solusi efektif. Masyarakat yang tinggal di perkotaan sudah terbiasa mengalami kemacetan. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan, setiap tahun warga Jabodetabek mengalami kerugian hingga puluhan triliun rupiah akibat hal itu.


Jika dihubungkan dengan kepadatan penduduk, memang terjadi ketimpangan antara penduduk di Pulau Jawa dengan luar Jawa. Hal itu terlihat dari paparan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri), Prof. Zudan Arif Fakrulloh, Sabtu (07/08 /2021). (www.dukcspil.kemendagri.co.id) 


“Berdasarkan data Administrasi Kependudukan (Adminduk) per Juni 2021, jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 272.229.372 jiwa.” papar Zudan. Dari total 272 juta tersebut, sebesar 56,01 persen berada di Pulau Jawa. Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbanyak di Indonesia sebanyak 47.586.943 jiwa. Sedangkan yang tersedikit adalah Kalimantan Utara (Kaltara) sebanyak 692.239 jiwa.


Adapun kabupaten berpenduduk terbanyak se-Indonesia adalah Kabupaten Bogor sebanyak 5.198.693 jiwa. Sementara yang tersedikit adalah Kabupaten Supiori sebanyak 24.719 jiwa. Kota Bogor sendiri  berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020 dihuni oleh 1,04 juta jiwa. (www.databoks.katadata.co.id) Dengan luas wilayah sebesar 118,8 kilometer (km) persegi Kota Bogor memiliki kepadatan penduduk 8.802/km persegi.


Akibat terkonsentrasinya penduduk di Pulau Jawa, kendaraan pun terkonsentrasi di pulau ini. Dilansir VIVA Otomotif dari laman Korps Lalu Lintas Polri, Senin 4 Januari 2021, jumlah total kendaraan di Tanah Air saat ini mencapai 138 juta unit.


Dari angka itu, Pulau Jawa mendominasi dengan angka 83 juta unit atau 60 persen dari total kendaraan yang ada. Hampir 11 juta unit adalah dalam bentuk mobil pribadi, 64 juta unit sepeda motor dan sisanya kendaraan komersial serta kendaraan khusus.


Kenapa sampai terjadi konsentrasi penduduk di Pulau Jawa yang berimbas pada kemacetan? Jawabannya karena adanya ketimpangan ekonomi akibat Indonesia mengikuti rekomendasi penjajah menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Lalu, menyerahkan semua arah pembangunan pada inisiatif para kapitalis. Karena sumber-sumber finansial negara sudah tersandera oligarki. Sedangkan wilayah di luar Jawa hanya jadi bulan-bulanan eksploitasi sumber daya alamnya.


Kue ekonomi Indonesia selama ini masih terpusat di Jawa. Hal ini terlihat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang 58,75% berada di Jawa pada 2020. Adapun sisanya tersebar di berbagai wilayah lainnya, seperti Sumatera (21,36%), Kalimantan (7,94%), Sulawesi (6,66%), Bali dan Nusa Tenggara (2,94%), serta maluku dan Papua (2,35%).


Ketimpangan ekonomi antarwilayah juga bisa dilihat dari kondisi simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) bank yang mencapai Rp 6.355,7 triliun per Januari 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 4.935 triliun atau 78% berada di Jawa. Sisanya tersebar di Sumatera sebesar Rp 705,9 triliun (11,1%), Kalimantan Rp 265,3 triliun (4,1%), Sulawesi Rp 192,7 triliun (3%), Bali dan Nusa Tenggara Rp 170,1 triliun, serta Maluku dan Papua Barat Rp 85,7 triliun (1,3%). (www.katadata.co.id) 


Kondisi tersebut terjadi lantaran arus perdagangan di dalam negeri sebagian besar ada di Jawa. Hal itu mengingat kawasan industri lebih banyak berada di pulau tersebut ketimbang wilayah lainnya. Selain itu, pembangunan infrastruktur belum merata dan masih berpusat di Jawa. Padahal, pembangunan infrastruktur punya peran besar dalam menggerakkan perekonomian.


Akhirnya, manusia terkonsentrasi di daerah yang memiliki kegiatan ekonomi yang lebih baik guna mencari nafkah. Dan migrasi ke daerah yang memiliki fasilitas masyarakat seperti pendidikan yang lebih lengkap dan dianggap lebih baik. Padahal, jika pembangunan dan ekonomi tidak timpang maka tidak akan terjadi konsentrasi penduduk di suatu daerah, termasuk di Kota Bogor.


Bogor sebagai kota penyangga Ibu Kota tempat kegiatan ekonomi berpusat merupakan tempat yang nyaman untuk dihuni dan refreshing. Karena biaya hidup di ibu kota dirasa lebih tinggi dan secara lingkungan dirasa sudah tak nyaman. Banyak warga yang bekerja di Jakarta memilih tinggal di Bogor. Ini menyumbang kemacetan di jam berangkat dan pulang kerja. Lalu di akhir pekan juga terjadi kemacetan karena banyak warga Ibu Kota pelesiran ke Kota Hujan selain warga setempat.


Kemacetan juga disebabkan belum maksimalnya pengaturan transportasi dan tata ruang kota, dan perilaku masyarakat. Menurut Direktur Keamanan dan Keselamatan (DirKamsel) Korlantas Polri Brigjen Pol Chryshnanda Dwilaksana, ada 10 faktor penyebab kemacetan lalu lintas (https://otomotif.kompas.com), antara lain:


Kapasitas jalan


Kondisi jalan


Faktor kendaraan


Faktor pengemudi


Adanya pembangunan jalan


Parkir sembarangan


Sistem-sistem tata ruang perkotaan


Kebijakan industri dan perdagangan kendaraan bermotor


Sistem angkutan umum


Kesadaran masyarakat dalam berlalulintas


Jika hal-hal tersebut dapat diatur dengan baik maka kemacetan bisa teratasi. Tentu saja, tidak bisa berharap pada pengaturan yang bersandar pada sistem kapitalis seperti saat ini. Karena justru kapitalismelah yang melahirkan ketimpangan ekonomi dengan dampak terkonsentrasinya penduduk di suatu daerah. Kapitalisme melahirkan pula penguasa yang tak peduli rakyatnya. Hingga urusan kemacetan pun berlarut-larut tak berkesudahan.


Dalam konteks Indonesia, kemacetan bisa diatasi dengan menyebar penduduk ke daerah di luar Jawa. Artinya perlu sistem ekonomi yang berkeadilan dan mampu menjaga kekayaan negara dan umat tetap pada pemiliknya yang sah. Sehingga negara bisa membiayai seluruh kemaslahatan umat.


Lalu, butuh penguasa yang mengayomi rakyat hingga dia bersungguh-sungguh merencanakan suatu kota dan menyediakan fasilitas transportasi baik jalan, kendaraan publik, dan infrastruktur lainnya. Tentu saja fasilitas ini bisa dinikmati warga secara gratis dan nyaman. Sistem ekonomi dan penguasa seperti ini hanya lahir dari ideologi Islam.


Kota Berkah Bersyariah


Untuk mengatasi kemacetan di Indonesia termasuk Kota Bogor di dalamnya, harus dimulai dari membenahi pola berpikir dari penguasa dan warganya. Kita harus mulai berpikir tentang mewujudkan kota impian. 


Sebuah kota yang bukan hanya terhindar dari kemacetan. Tapi sebuah kota yang dirancang sedemikian rupa sehingga membuat semua orang mudah untuk selamat agamanya; sehat fisik, jiwa dan sosialnya; meningkat ilmu dan kecerdasannya; berkah rezekinya; dan mereka dapat meninggalkan dunia dengan husnul khatimah. Itulah kota bersyariah.


Tentu saja, pastinya  bukan kota yang setiap hari dihantui kesemrawutan atau kemacetan di jalanan, banjir setiap musim hujan, tidak aman (fasilitas) jalanannya, beragam tindak kriminal dan rawan terhadap bencana apa saja termasuk bencana alam yang diakibatkan tata kelola lahan yang salah.


Kuncinya adalah usaha tak henti untuk merencanakan tata kota dengan baik, melaksanakan rencana dan mengawasinya jangan sampai ada pelanggaran. Ada banyak teknologi yang dapat dilibatkan agar penataan kota berjalan optimal. Dan ini pernah dilakukan di kota-kota besar Khilafah Islam seribu tahun yang lalu.


Seribu tahun yang lalu, tidak banyak kota besar di dunia dengan penduduk di atas 100.000 jiwa. Menurut para sejarahwan penduduk Modelski maupun Chandler, Baghdad di Irak memegang kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M. Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah dihuni 1.500.000 jiwa. Peringkat kedua oleh Cordoba di Spanyol yang saat itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibu kota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.


Namun sebagaimana laporan para pengelana Barat, baik Baghdad maupun Cordoba adalah kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kotor dan di malam hari gelap gulita, sehingga rawan kejahatan. (www.fahmiamhar.com) 


Inilah kota impian yang dibangun oleh seorang pemimpin negara yang menjalankan syariah Islam. Bukan lagi sekedar wacana, tapi sudah tercatat dalam sejarah. Inilah kota bersyariah, kota penuh berkah.


Kota impian nan penuh berkah ini pun akan mampu diwujudkan kembali dengan jalan mewujudkan sistem Islam dalam bingkai khilafah. Sistem khilafah secara komprehensif menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga bukan hanya problem kemacetan yang terurai, namun akan terwujud pula keberkahan hidup yang akan dirasakan oleh seluruh warga daulah khilafah. Wallahu’alam. 


Oleh : Rini Sarah






Posting Komentar

0 Komentar