Pindah ibu kota memang hal yang biasa saja. Wajar dilakukan oleh negara manapun. Yang penting alasan dan motifnya tepat. Tepat untuk kepentingan negara dan rakyat tentunya, bukan tepat untuk kepentingan oligarki. Jadi justru memastikan bahwa motif untuk pindah ibu kota bagi suatu negara itu jauh lebih penting, sebab perpindahan itu membawa konsekuensi yang sangat penting bagi kelangsungan negara dan rakyat negara tersebut. Karenanya hal itu butuh perencanaan yang luar biasa.
Menjaga Agama
Di masa khilafah tercatat ada beberapa kali perpindahan ibu kota. Khalifah Ali bin Abi Thalib sempat memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah. Tak lama kemudian di masa dinasti Umayyah, Muawiyah memusatkan pemerintahannya di kota Damaskus. Dari kota Damaskus ibu kota negara Khilafah berpindah ke Baghdad, tepatnya di masa bani Abbasiyah. Pasca hancurnya kota Baghdad akibat serbuan tantara Mongol, pusat pemerintahan dipindahkan ke kota Kairo, Mesir. Sedang perpindahan dari Kairo ke Istanbul terjadi ketika Khalifah terakhir Abbasiyah mengundurkan diri setelah melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia.
Di masa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib perpindahan ibu kota didasari atas keinginan untuk meredam gejolak politik yang terjadi pasca terbunuhnya Utsman bin Affan. Pasca perang Jamal yang dimenangkan pihak Ali, ibunda Aisyah diantar kembali ke Madinah dengan penghormatan dan pengawalan lengkap. Dan tentu bukan persoalan yang mudah bagi Ali pada saat itu untuk tetap berada di Madinah.
Kalaupun menetap di Basrah, itu juga tidak memungkinkan. Karena disanalah basis perlawanan dibangun oleh ibunda Aisyah, Thalhah dan Zubair. Sementara di Damaskus ada Muawiyah yang sejak awal sudah menuntut Ali untuk segera menyelesaikan kasus pembunuhan Ustman. Berpindah ke Mekkah juga bukan pilihan bagi Ali. Sebab jika terjadi penyerangan kembali pada kekuasaan Ali, maka Ka’bah akan menjadi taruhannya.
Maka memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah adalah pilihan terbaik saat itu bagi Ali untuk menyelamatkan kaum muslimin dari berbagai fitnah yang berkembang kala itu. Keputusan itu membawa dampak luar biasa. Dari Kufah inilah, khalifah Ali bin Abi Thalib bisa memantau pergerakan di Madinah, Mekah dan juga Damaskus. Sekaligus dengan perpindahan ini, kesucian dua kota tersebut (Madinah dan Mekkah) tetap terjaga dari pertumpahan darah.
Demikianlah khalifah Ali bin Abi Thalib lebih mengedepankan kemashlahatan Islam dan kaum muslimin pada saat menetapkan kebijakan untuk memindahkan pusat pemerintahan. Jadi bukan karena kepentingan individu ataupun kelompoknya.
Butuh Perencanaan Matang
Ketika Bani Abbasiyah berkuasa abad ke-8, Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah. Ketika merancang pembangunan kota Baghdad, pertimbangan kedaulatan negara dan kepentingan kaum muslimin tetap menjadi pertimbangan utama.
Perencanaan kota Baghdad sangat memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan dari luar. Ada empat benteng yang dibangun mengelilingi Baghdad, masing-masing diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus, sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut. Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.
Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mendatangkan ribuan arsitek, insinyur, surveyor, tukang kayu, pandai besi dan lebih dari seratus ribu buruh dari seluruh kerajaan Abbasiyah. Khalifah al-Mansur juga menyewa dua desainer yakni Naubakht Ahvaz, mantan Zoroastrian Persia dan Mashallah, seorang mantan Yahudi dari Khorasan, Iran.
Pembangunan kota Baghdad dimulai pada tanggal 30 Juli 762 dengan pertimbangan karena saat itu air sungai Tigris sedang tinggi, sehingga kota dijamin aman dari banjir. Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 kilometer.
Setiap bagian kota yang direncanakan untuk sejumlah penduduk tertentu. Di dalamnya dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Demikianlah dengan pertimbangan utama kemashlahatan kaum muslimin, terlaksananya syariat Islam secara sempurna dan penjagaan terhadap kedaulatan negara, pembangunan ibu kota baru dilaksanakan dengan perencanaan yang matang.
Kembali Pada Aturan Islam
Berbeda dengan dua fakta di atas, pengesahan UU IKN yang terasa terburu-buru memang menyisakan pertanyaan, sesungguhnya apa motifnya? Apalagi jika ditambah dengan berbagai kajian lingkungan yang tak mendukung, suara masyarakat lokal yang menolak dan juga skema pembiayaan yang disinyalir akan semakin membebani rakyat. Maka wajar jika tercium aroma adanya kepentingan oligarki di balik pengesahan UU IKN ini.
Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini telah membuat berbagai kemudahan dalam pembuatan UU yang berpihak pada kepentingan para pemilik modal. Maka wajar pula jika berbagai kebijakan yang dihasilkan juga memiliki motif tersembunyi berupa keuntungan besar bagi para pemilik modal.
Yang jelas pembuatan UU yang diserahkan pada manusia dalam sistem demokrasi adalah pangkal dari segala kerusakan yang ada. Karena ketika manusia membuat UU, maka dia takkan pernah bisa melepaskan dirinya dari berbagai kepentingan hidupnya. Berbeda orang, berbeda pula kepentingannya, berbeda pula produk UU yang dihasilkannya. Hampir bisa dikatakan UU yang ada dalam sebuah negara demokrasi takkan pernah bisa memihak kepada rakyat kecil dan jauh dari rasa keadilan.
Karenanya hidup dalam sistem semacam ini sudah selayaknya diakhiri. Caranya adalah dengan mengganti sistem demokrasi yang menyerahkan pembuatan UU ke tangan manusia dengan sistem Islam yang menyerahkan pembuatan aturan hanya berdasarkan pada apa yang diperintahkan Allah swt. Dengan demikian setiap penguasa akan dituntut untuk selalu bertakwa kepada Allah Swt. Rasa takwa inilah yang akan mengantarkannya untuk selalu mengedepankan kepentingan Islam dan kaum muslimin dalam setiap pembuatan kebijakannya kelak. Insya Allah.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar