Sedih dan prihatin kasus HIV-AIDS paling tinggi ditemukan di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Ketua Yayasan Lembaga Kajian Strategis (Lekas) Muksin Zaenal Abidin memaparkan dari 304 kasus baru HIV -AIDS di Bogor, hampir sebagian berada di kawasan Puncak. Menurut Muksin, penyebab tingginya angka kasus positif HIV-AIDS di kawasan Puncak tidak lepas dari lokasi Puncak sebagai tujuan destinasi wisata serta sangat mudah ditemukan praktik prostitusi.
Mirisnya, kasus penularan HIV-AIDS didominasi oleh masyarakat berusia produktif, yakni rentang usia 25 tahun hingga usia 49 tahun. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Bogor, Adang Mulyana bahwa secara kumulatif jumlahnya mencapai 2.616 orang hingga akhir September 2021.
Pemerintah Kabupaten Bogor telah mencoba mengatasi dan berusaha mencari solusi persoalan HIV-AIDS di wilayahnya. Diantaranya adalah langkah pencegahan seperti skrining terhadap populasi berisiko pada ibu hamil, pasien TBC, pasien infeksi menular seksual (IMS), dan populasi kunci atau kelompok masyarakat yang rentan terhadap penularan HIV-AIDS.
Langkah pencegahan lainnya adalah dengan memberikan alat kontrasepsi berupa kondom kepada wanita pekerja seks komersial. Memberikan jarum suntik steril kepada komunitas pengguna napza suntik atau penasun sebagai langkah persuasif. Pemerintah Kabupaten Bogor juga gencar melakukan penyuluhan di sekolah terkait HIV serta menyebarkan edukasi dan informasi ke masyarakat. Disusul dengan pengadaan pertemuan lintas sektor oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan skrining pada warga binaan pemasyarakatan. Hal itu dilakukan agar Kabupaten Bogor bebas dari epidemi HIV-AIDS pada tahun 2030.
Berbagai solusi telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk menghambat pertumbuhan HIV-AIDS. Namun, alih-alih kasus HIV menurun atau menghilang, justru tiap tahun bertambah kasus baru. Segala upaya untuk mencari solusi tidak mampu menuntaskan persoalan sampai akarnya. Solusi yang dihadirkan pun terkesan hanya tambal sulam sebab didasarkan pada perspektif sekuler-liberal.
Kondisi ini membuat sejumlah masyarakat dari kalangan pakar turut mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak membuahkan hasil. Belum lama ini, tenaga kesehatan (nakes) muslimah Kabupaten Bogor mengadakan acara membahas persoalan HIV-AIDS. Acara tersebut dihadiri oleh Dr.dr. Rahmini Shabariah, Sp.A dan dr. Arum Harjanti. Dalam diskusi yang berlangsung online tersebut, dr. Arum Harjanti menyampaikan benang merah antara gaya hidup yang salah seperti seks bebas, maraknya PSK dengan kliennya, penyimpangan orientasi seks (lesbian dan homoseksual), penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain dengan penyumbang jumlah kasus terbesar di Kabupaten Bogor.
Sementara itu, upaya penanggulangan HIV-AIDS di Kabupaten Bogor masih membiarkan pelaku zina atau seks bebas di masyarakat. Atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) perilaku LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) dibiarkan bahkan diperjuangkan untuk legal. Belum lagi dukungan terhadap liberalisasi pergaulan yang mengatasnamakan hak seksual dan hak reproduksi. Secara garis besar, persoalan HIV-AIDS terjadi akibat diterapkannya sistem pergaulan yang salah dan menurut Islam adalah perilaku maksiat.
Seharusnya fakta tersebut menyadarkan kita bahwa persoalan HIV-AIDS tidak bisa menggunakan perspektif sekuler-liberal. Satu-satunya solusi mengentaskan masalah ini adalah kembali pada aturan Allah Swt. yakni menerapkan syariat Islam. Sebagaimana yang dituturkan Dr.dr. Rahmini Shabariah, Sp.A bahwa Islam memberikan gambaran strategi Islam yang termaktub dalam QS. Al Isra: 1 (larangan mendekati zina) dan QS. An Nur: 30 (menjaga pandangan dan kemaluan).
Larangan berzina di dalamnya termasuk aktivitas pacaran dan ikhtilath atau campur baur laki-laki dan perempuan tanpa tujuan syar'i. Laki-laki wajib menundukkan pandangan terhadap kaum wanita agar terhindar dari memandang lawan jenis dengan dorongan syahwat. Kaum wanita diwajibkan menutup aurat ketika ke luar rumah dan menjaga penampilan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Jika semua itu dijalankan, maka pintu perzinahan yang menjadi gerbang bertambahnya kasus HIV-AIDS akan menutup.
Cara Islam mengatasi masalah HIV-AIDS tidak hanya berbicara langkah preventif, tetapi bersifat komprehensif melibatkan aspek promotif, kuratif dan rehabilitatif. Beratnya fakta HIV-AIDS di lapangan, ditambah berbagai program pemerintah yang minus solusi membutuhkan sinergi individu, masyarakat dan negara. Setiap individu harus memiliki ketakwaan diri sebagai benteng dari perilaku maksiat, seperti pergaulan bebas. Masyarakat juga dituntut untuk melakukan amar makruf nahi munkar sebagai bagian dari aktivitas kontrol perilaku menyimpang masyarakat. Disamping itu, negaralah yang memiliki power kuat dalam menyelesaikan persoalan HIV-AIDS dengan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam menerapkan sistem pergaulan Islam dan sistem sanksi sesuai syariat Islam. Sistem pergaulan Islam sebagai langkah preventif, sedangkan langkah kuratif dapat memberikan sanksi yang akan memberikan efek jera. Negara menanggung dan memulihkan kesehatan untuk menjaga kehidupan warganya. Penderita HIV-AIDS diobati dan dirawat secara fisik maupun mental sehingga bisa menjalani hidupnya dengan sabar dan tawakal. Sebagai langkah promotif, negara terus menjaga komitmen untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan warganya agar penderita maupun keluarganya memandang sakit yang diderita adalah bagian dari musibah penggugur dosa. Meningkatkan kualitas hidup dengan menjaga kesehatan dan menyediakan obat-obatan serta makanan yang memadai.
Seluruh langkah tersebut membutuhkan dana dan komitmen yang besar. Oleh karena itu, perspektif negara dalam mengurusi rakyatnya bukan berlandaskan asas sekuler-kapitalis, tetapi riayah su'unil ummah. Pemerintah memiliki mindset yang benar dengan bertanggung jawab penuh terhadap seluruh kebutuhan rakyat. Maka, wajib diterapkan sistem pendukung kehidupan sesuai dengan Islam, baik dalam sistem pendidikan, sistem kesehatan, sistem ekonomi, dan sistem politik Islam. Semua itu membutuhkan negara yang menjalankan Islam secara kaffah, yakni Khilafah Islamiyyah. Dengan cara ini penyebaran HIV-AIDS akan berkurang bahkan tidak ada sama sekali.
Oleh: Mitri Chan
0 Komentar