Metaverse, Revolusi Teknologi yang Mensejahterakan?


Pasca abad 20 teknologi berkembang sangat cepat. Seiring dengan perkembangan komputer, internet pun berevolusi. Dengan perkembangan teknologi tersebut memang diakui bahwa kehidupan manusia menjadi lebih mudah.

Begitupula kehidupan sosial manusia yang saat ini bergantung dengan internet. Ditambah wabah Covid-19 menjadikan perkembanganya makin melesat. Sebut saja aplikasi Zoom yang memfasilitasi hampir semua aktivitas manusia pada saat membutuhkan pertemuan. Sejurus dengan itu, di penghujung tahun 2021, metavers ramai diperbincangkan di dunia maya.

Mengenal Metaverse
Pada tahun 1999 lalu, film fiksi ilmiah The Matrix yang dibintangi oleh Keanu Reeves lama bertengger di film box office. Dengan menggaet keuntungan ratusan juta di dalam maupun luar negeri AS, kemudian dibuatlah beberapa film sekuel berikutnya, yang pada awalnya tidak diperkirakan film ini akan meledak.

Film ini bercerita tentang seorang hacker yang bernama Neo dan mengetahui akan keadaan sebenarnya dari realitas lalu bergabung dengan sebuah kelompok pemberontak melawan program-program komputer penjaga yang disebut agen-agen.

Film ini dapat menggambarkan dunia metaverse saat ini yang sedang ramai dibicarakan.

Metaverse merupakan internet dalam bentuk tiga dimensi. Dimana manusia saling terhubung untuk bekerja, bertemu ataupun bermain dengan menggunakan headset realitas virtual, kacamata augmented reality (AR), aplikasi smartphone dan atau perangkat lainnya.

Dalam metaverse setidaknya mengkombinasikan lima teknologi sekaligus, yakni media sosial, game online, augmented reality (AR), virtual reality (VR), dan cryptocurrencies. Kelima aspek tersebut mengintegrasikan para penggunanya ke dalam sebuah dunia imajinasi yang interaktif dan real time (kumparan.com 26/11/2021).

Pro Kontra Kehadirannya
Covid-19 tentunya merubah pola kehiduan sosial yang sebelumnya bekerja di kantor menjadi bekerja atau beraktivitas apapun di depan layar dan cukup di rumah saja. Pendiri Microsoft, Bill Gates meramalkan bahwa dalam tiga tahun ke depan Metaverse akan berkembang dan digunakan banyak karyawan kantoran.

Berbeda dengan Bill Gates, mantan CEO Google, Eric Schmidt justru mengatakan bahwa teknologi metaverse bisa berdampak buruk dan akan menimbulkan masalah baru bagi manusia. Sebab orang menjadi lupa akan kehidupan nyata dan lebih mengedepankan dunia virtual (Katadata.co.id 3/11/2021).

Schmidt melanjutkan, metaverse membawa risiko keamanan siber. Schmidt mengatakan, Facebook yang berganti nama menjadi Meta akan menjalankan sebagian besar algoritme dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) sebagai dewa raksasa palsu. Menurutnya, akan menciptakan hubungan yang tidak sehat dan parasosial. Selain itu, dilaporkan banyak kejadian pelecehan seksual di ruang maya tersebut.

Metavers dan Kepuasan Manusia
Saat ini secara sadar ataupun tidak, dunia nyata berangsur telah bergeser ke dunia maya dan dunia metaverse adalah copy paste dari dunia nyata yang divirtualkan. Apa yang dilakukan di dunia nyata juga bisa dilakukan di metaverse. Seperti berkarir, membeli aset tanah, bangunan, mobil dengan sertifikat yang sah menurut aturan dalam metaverse, termasuk memasang iklan di billboard.

Melihat banyaknya peluang untuk mengembangkan ekonomi, para kapital tentunya tak akan tinggal diam dan berusaha mensejajarkan langkahnya ke ‘dunia baru’ ini. Pejabat Kementrian TIK Korea Selatan contohnya yang berharap bahwa negaranya menjadi pemain utama dalam dunia ini. Setidaknya mereka menganggarkan 604,4 triliun won pada 2022 untuk bisnis ini.

Mereka juga mengalokasikan 9,3 triliun won untuk mempercepat transformasi digital seperti metaverse. Selain itu perusahaan kelas dunia banyak yang telah berinvestasi dalam dunia virtual ini, tak ketinggalan pengusaha asal negeri Ginseng pun turut ambil bagian. Seperti YG Entertainment, SM Entertainment, Samsung, SK Telecom ataupun perusahaan kelas kakap lainnya seperti SoftBank, Apple, Alibaba dan lainnya.

Uang, uang dan uang, seakan manusia tidak akan puas walaupun uang sudah berlimpah ditangan. Segala cara sampai pada pencapaian teknologi canggih dicapai pun hanya untuk kebutuhan perut dan kepuasan yang tak akan pernah ada batasnya.

Melihat itu, Ichsanudin Noorsy dalam forum bedah buku ‘Kritik Pemikiran Barat Kapitalis’ di Khilafah Chanel, 25 Desember lalu menyatakan bahwa, walaupun teknologi sudah berkembang demikian pesatnya, namun tetap saja benda menjadi Tuhan. “Materialisme adalah sesuatu yang dilihat sebagai kesejahteraan tapi berbasis pada kebendaan”. Oleh karenanya ide kapitalisme yang menuhankan benda menjadi ide yang rapuh.

Didasari dari pemikiran Adam Smith yang tertuang dalam bukunya ‘The Wealth of Nations’ yang menurutnya tidak menyelesaikan akar kehidupan karena basisnya kapitalisme barat. Gagasan tentang kehidupan, semuanya berbasis kebendaan dan kebendaan dicapai dengan modal rasionalis atau empiris. “Begitu ringkas”, pungkasnya.

Ia menyatakan bahwa ternyata setelah dua ratus lima puluh tahun kemudian tetap saja ekonomi barat tidak mampu mengangkat harkat dan martabat manusia karena mendasarkan pada materialisme. Saat ini sesungguhnya ekonomi barat juga tak berubah, tetap mendasari segalanya pada materialisme, namun rujukannya pada kekuatan teknologi dalam rangka penggunaan uang.

Sehingga boleh saja teknologi berkembang demikian hebatnya, namun bila otak yang memainkannya adalah orang lama, kesejahteraan ataupun keamanan tetap tak terjamin. Karena teknologi sesungguhnya adalah hanya alat bantu manusia, bukan sebaliknya, manusia diperbudak teknologi.

Dalam sejarahnya, para penemu yang berasal dari peradaban Islam pun banyak sekali, bertaburan hingga namanya harum dan ilmunya pun dipakai hinga sekarang. Namun perkembangan teknologi yang tinggi pada jamannya tak menjadikan manusia lengah. Karena teknologi dipakai bukan untuk nafsu kebendaan, namun untuk kepentingan penyebaran Islam.
Wallahualam Oleh : Ruruh Hapsari
______________
Yuk raih amal saleh dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di

Posting Komentar

0 Komentar