“Uang bukan sumber kebahagiaan”, kata A. “Iya, tapi gimana bisa bahagia kalau perut keroncongan Bung? Trus ketika anak sakit, dokter sama obatnya nggak bisa dibayar pakai daun. Token listrik nggak bisa dituker pakai keringet, harus pakai duit. Anak sekolah butuhnya juga duit. Belum kalau pengin punya rumah sendiri, punya kendaraan sendiri, dan lain-lainnya masih panjang ini.
Memang uang bukan segalanya, tapi hari ini segalanya butuh uang Bro... ”, timpal si B panjang lebar. “Ibaratnya hari ini orang miskin nggak boleh sakit, orang kecil nggak boleh sekolah tinggi, rakyat biasa nggak boleh mimpi punya segalanya”. lanjut B dengan sedikit kesal.
Adalah fakta bahwa hari ini hampir semuanya membutuhkan uang. Untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, rakyat harus membeli bahkan dengan harga yang terus naik. Kondisi ini akhirnya menggiring masing-masing individu menjadikan materi sebagai tujuan bahkan standar kebahagiaan. Mereka menganggap semakin banyak harta akan semakin bahagia karena bisa membeli segalanya.
Sementara faktanya tidak selalu demikian. Orang miskin memang ada yang sengsara, tetapi ada juga yang tetap bahagia. Orang banyak hartapun sama, bisa bahagia karena hartanya, bisa juga dibuat sengsara karena hartanya. Tepatkah jika materi atau harta dijadikan sebagai standar kebahagiaan seseorang?.
Belum lama ini muncul data survei yang menunjukkan angka indeks kebahagiaan rakyat Indonesia yang diambil dari 73.000 keluarga untuk mewakili 270 juta lebih jiwa seluruh rakyat Indonesia. Survei dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2014, setiap tiga tahun sekali dengan tujuan sebagai ukuran pembangunan yang bersifat subyektif. Hasilnya nilai kebahagiaan rakyat Indonesia rata-rata di atas angka 70. Tingkat pendidikan dan pendapatan disebut mempengaruhi tingkat kebahagiaan.
Apakah ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia cukup bahagia? Sesuaikah dengan realitas bahwa rakyat benar-benar bahagia dengan fakta-fakta di atas? Mampukah angka merepresentasikan rasa? Karena bahagia bagi A belum tentu bahagia bagi B dan seterusnya. Jalan yang ditempuh untuk mencapai kebahagiaanpun menjadi berbeda-beda sesuai dengan pemahaman masing-masing.
Bagi yang berpandangan bahwa uang adalah sumber kebahagiaan, maka fokusnya adalah mendapatkan uang sebanyak-banyak, bahkan mungkin dengan segala cara. Bagi yang berpandangan bahwa tingkat pendidikan atau jabatan adalah sumber kebahagiaan, maka dia akan terus mengejar gelar pendidikan dan jabatan tadi, tak peduli apapun caranya. Bahkan bagi pencuri misalnya, maka bahagia baginya tentu saat berhasil beraksi tanpa tertangkap polisi. Bagi pelaku zina, peminum khamr, L96T, yang membahagiakan mereka adalah saat bisa bebas berbuat tanpa harus terbentur aturan-aturan yang melarang.
Selama standar kebahagiaan ditentukan oleh manusia, selama itu pula akan terus muncul perbedaan bahkan pertentangan dan perselisihan yang tak berujung. Kebahagiaan yang disandarkan pada kecukupan harta atau kepuasan nafsu semata adalah tolok ukur ala kapitalisme sekuler. Kapitalisme menilai sesuatu atas dasar manfaat dan perhitungan untung rugi.
Cara pemenuhannya pun tak menghiraukan hukum halal haram karena lahir dari konsep sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Halal haram hanya untuk menghukumi aktifitas ibadah. Maka aktifitas diluar ibadah tak lagi menggunakan hukum halal haram, melainkan kebebasan atas nama hak asasi. Dari sinilah pertentangan dan perselihian muncul sehingga yang terjadi adalah kerusakan.
Sementara itu, tolok ukur kebahagiaan di dalam Islam adalah satu, yaitu ridho Allah. Setiap perbuatan manusia, baik menyangkut ibadah maupun di luar ibadah, selalu terikat dengan hukum syarak, halal, haram, sunnah, makruh, mubah. Tujuannya adalah berlomba mengumpulkan pahala demi meraih ridho Allah karena ridho Allah adalah jalan meraih sumber kebahagiaan hakiki, yaitu surga.
Orang kaya akan bersyukur dan bahagia dengan kekayaannya. Hartanya digunakan untuk kebaikan demi mendapatkan pahala. Bagi yang hidup kekuranganpun sama, tetap bersabar karena yakin kesabaran akan mendatangkan pahala, dan terus berikhtiar bekerja dengan cara-cara yang halal. Menuntut ilmu bagi seorang muslim bukan untuk gagah-gagahan, tapi jalan untuk lebih meluaskan aktifitasnya dalam mendakwahkan Islam.
Jabatan bagi seorang muslim adalah amanah yang tidak ringan bahkan dianggap sebagai ujian karena pertanggungjawaban berat di hadapan Allah kelak. Maka pemimpin beriman tidak akan bermain-main dengan jabatannya.
Namun, mengejar kebahagiaan sesuai dengan tolok ukur Islam bukan hal yang mudah hari ini. Karena setiap individu tidak bisa terlepas dari sistem atau kebijakan yang berlaku. Hari ini sistem yang belaku adalah kapitalisme sekuler. Sistem yang memaksa umat tergantung pada materi (uang) untuk bisa bertahan hidup. Hari-harinya disibukkan dengan rutinitas bekerja dengan kondisi serba sulit, hingga teralihkan dari tujuan utamanya sebagai hamba Allah. Susahnya mencari pekerjaan memaksa seorang ayah menjadi pencuri demi makan anak istri. Berusaha mencari rejeki yang halal, tapi terbentur dengan kebijakan yang tidak lepas dari hal-hal yang diharamkan, riba misalnya.
Jadi boro-boro merasakan kebahagiaan, bisa cukup makan bagi sebagian orang sudah Alhamdulillah. Tahun 2021 tercatat 27 juta lebih rakyat Indonesia masih terkategori miskin. Di satu sisi, 70% pejabat kekayaannya meningkat bahkan ditengah pandemi. Kapitalisme telah membuat jurang kesenjangan sosial dan ekonomi semakin dalam. Orang kaya semakin kaya, yang miskin bisa dilihat sendiri bagaimana faktanya. Hal ini karena kapitalisme membebaskan siapapun memiliki apapun.
Siapa yang kuat, dialah yang bisa mengambil banyak. Kita lihat siapa hari ini yang menguasai dan menikmati sumber daya alam yang melimpah ruah di negeri ini, apakah rakyat?
Di dalam Islam, peran pemimpin adalah mengurusi urusan rakyat seluruhnya. Negara bertanggungjawab memenuhi segala kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan secara gratis atau murah dan mudah tanpa terkecuali, muslim maupun non muslim. Dari mana sumber kekayaan negara yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya? Islam mengatur tentang sistem kepemilikan harta, sehingga tidak ada celah siapapun untuk memonopoli kekayaan negara.
Satu contoh saja, dalam Islam barang tambang haram hukumnya diberikan kepada individu, swasta apalagi asing, tetapi harus dikelola oleh negara dan hasilnya untuk membiayai semua kebutuhan rakyat. Sudah banyak ahli yang menghitung jika emas di Papua itu dikelola oleh negara dan semua hasilnya dibagikan kepada rakyat, maka tidak ada lagi rakyat miskin di negeri ini. Belum dari potensi kekayaan alam yang lain yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
Dengan kondisi umat yang terjamin kesejahteraannya, hidup bahagia akan menjadi sesuatu yang mudah untuk diraih. Selanjutnya umat bisa memaksimalkan hidupnya untuk beribadah karena tak perlu ada yang dikhawatirkan dan memang inilah yang dijanjikan Islam. Jadi, selain dibutuhkan pemimpin terbaik, yang benar-benar amanah, dibutuhkan juga sistem tata kelola negara yang terbaik pula, yaitu Islam. Jadi, mungkinkah bahagia di bawah sistem kapitalisme?
Oleh Anita Rachman
0 Komentar