Nasib Sains di Indonesia, Dosen: Jadikan Akidah dan Pemikiran Islam Menjadi Kiblat Pengembangan Ilmu Pengetahuan



Seiring dengan dileburnya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) banyak yang pempertanyakan nasib perkembangan sains Indonesia ke depan di bawah birokrasi saat ini. Untuk membahas itu pada suara muslimah kali ini, kami telah berhasil mewawancarai Dr. Ira Geraldina, S.E, M.S.Ak.Ca seorang Dosen dari salah satu universitas di Jakarta, berikut hasil wawancaranya. 


Tanya: Apa pendapat Ibu mengenai peleburan beberapa lembaga badan penelitian nasional Indonesia menjadi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)? 


Jawab: Pada satu sisi, peleburan beberapa lembaga badan penelitian nasional Indonesia menjadi BRIN baik untuk memudahkan koordinasi, namun sayangnya harus dinodai dengan pemberhentian 113 orang peneliti Lembaga Eijkman karena terbentur aturan kepegawaian. 


Tanya: Apakah hal tersebut ada kaitannya dengan mekanisme dan sistem politik yang diterapkan di Indonesia? Di mana keputusan politik yang ada cenderung pada kepentingan para elite? 


Jawab: Sebuah keputusan politik tentu saja hasil preferensi para elite yang memiliki kepentingan, misalnya keputusan penempatan  Ketua Dewan Pengarah BRIN ditempati oleh  pengurus partai politik. Namun saya belum melihat indikasi konflik kepentingan para elite dalam pemberhentian 113 orang tersebut. Keputusan tersebut menggugah kesadaran publik mengenai posisi peneliti dan ilmu pengetahuan yang terkesan kurang berarti dalam kebijakan pemerintah. Padahal peradaban suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kredibilitas peneliti dan ilmu pengetahuan. Para peneliti dan pengembangan ilmu pengetahuan harus dikalahkan oleh aturan birokrasi kepegawaian. Menyedihkan sekali.


Tanya: Ada yang beranggapan sistem kapitalis demokrasi tak mampu membedakan antara riset sains murni dengan teknologi riset pemikiran yang memiliki sudut pandang tertentu, bagaimana pandangan ibu?


Jawab: Dalam perspektif falsafat ilmu yang berkembang di masyarakat sekarang, ilmu pengetahuan mempunyai tiga komponen, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi berbicara mengenai hakikat (wujud/fakta) ilmu pengetahuan, epistemologi berbicara bagaimana cara memahami fakta (wujud) ilmu pengetahuan, dan aksiologi berbicara ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dipahami sebagai produk berbasis fakta yang diperoleh dengan metode untuk memahami fakta tersebeut seobyektif mungkin. Sehingga, ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang berbasis pada fakta, hanya aspek penggunaannya (aksiologisnya) saja yang diatur oleh nilai, umumnya nilai moralitas, nilai estetika dan nilai sosial politik masyarakat. Wajar kemudian timbul kontroversi bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan berbasis nilai tertentu, seperti nilai-nilai Pancasila, karena menghilangkan unsur obyektifitas fakta dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang harus bebas dari nilai. Yang sangat memungkinkan nilai-nilai Pancasila sebagai pakem sosial politik bangsa (misalnya) menjadi rujukan aspek aksiologisnya (penggunaan produk ilmu pengetahuan), bukan sebaliknya.


Tanya: Lantas bagaimana Islam memandang konsep riset sains dan teknologi? 


Jawab: Dalam perpektif Islam, seluruh permasalahan hidup harus dikembalikan kepada nilai-nilai (akidah dan pemikiran) Islam, termasuk dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara ontologis, segala sesuatu adalah ciptaan Allah SWT, baik yang berwujud (terindera) maupun tidak berwujud (tidak terindera). Untuk memahami ciptaan Allah yang terindera, maka kita dapat menggunakan metode penelitian yang sesuai untuk memahami obyek (fakta) tersebut. Berdasarkan hasil penelaahan tersebut, maka lahirlah ilmu pengetahuan yang berbasis fakta atau bebas nilai. Contoh, bagaimana menghasilkan model produksi yang efisien diperoleh dengan mengamati beberapa proses produksi beberapa kali secara obyektif, sehingga ditemukan ilmu pengetahuan (bebas nilai) mengenai proses produksi mana yang paling efisien. 


Sedangkan untuk memahami ciptaan Allah yang tidak dapat atau sulit diindera secara langsung, maka kita dianugerahi pemikiran Islam yang dikembangkan dari wahyu (sumber-sumber hukum Islam) dengan metode ijtihad. Contoh, bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang bisnis (perusahaan) secara umum, maka diperlukan landasan nilai tertentu karena sulit untuk dapat memahami sistem bisnis secara obyektif. Tidak semua hal dalam sistem bisnis dapat kita indera. Sebagai muslim, tentunya sumber-sumber hukum Islam menjadi rujukan nilai, sehingga lahirlah pemikiran-pemikiran bisnis Islami yang tentu memiliki falsafah dan corak berbeda dengan nilai selain Islam (bisnis ala kapitalis dan sosialis). 


Singkat kata, dalam pandangan Islam, produk ilmu pengetahuan dikategorikan menjadi dua, yaitu produk ilmu pengetahuan berbasis nilai dan bebas nilai. Umat Islam boleh memanfaatkan produk-produk ilmu pengetahuan yang bersifat bebas nilai, sekalipun dikembangkan oleh non-Islam, selama cara dan pemanfaatannya tidak bertentangan dengan aturan Islam. Sebaliknya, umat Islam diwajibkan untuk mengadopsi seluruh produk ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari sumber-sumber hukum Islam, dan membuang produk-produk ilmu pengetahuan (pemikiran) yang bersumber dari pemikiran barat dan timur yang bertentangan dengan pemikiran Islam. 


Tanya: Adakah fakta sejarah mengenai perkembangan/kemajuan ilmu sains dan teknologi dalam dunia Islam? 


Jawab: Ilmu pengetahuan bebas nilai yang berkembang sekarang menggunakan temuan-temuan para ilmuwan pada jaman kegemilangan Islam, seperti Ibnu Sina, dua karyanya, yaitu Kitab al-Shifa’ (The Book of Healing) dan The Canon of Medicine dipakai sebagai standar ilmu medis di seluruh dunia sampai sekarang, dll. Negara (pemerintahan Islam) saat itu sangat menghargai peneliti dan menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan peneliti, sehingga mereka bisa tekun melakukan penelitian tanpa disibukkan dengan urusan perut, administrasi dan birokrasi. 


Tanya: Apa yang perlu kita lakukan untuk meraih masa kegemilangan itu kembali? Bagaimana caranya?


Jawab: Mengembangkan peradaban berbasis akidah Islam dan saintek diperlukan dukungan kebijakan dan infrasturktur dari negara yang memiliki visi dan misi untuk menjadikan akidah dan pemikiran Islam menjadi kiblat pengembangan ilmu pengetahuan, baik yang berbasis nilai Islam maupun bebas nilai. Negara yang menerapkan syariah Islam secara kafaah agar akidah Islam menjadi pakem dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai solusi bagi permasalahan manusia. [WID]



Posting Komentar

0 Komentar