Polda Jabar akhirnya menetapkan Habib Bah*r Sm*th sebagai tersangka kasus penyebaran berita bohong yang disampaikan dalam salah satu ceramah di wilayah Bandung Raya. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar Kombes Arief Rachman menyampaikan dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, hari ini penyidik mendapatkan dua alat bukti yang sah serta didukung barang bukti. (jpnn.com, 04/01/2022).
Dilansir dari RMOL.ID, 05/01/2022. Menurut Ahli hukum pidana, Abdul Chair Ramadhan bahwa penetapan status tersangka atas Habib Bah*r Sm*th yang diikuti dengan penangkapan patut dipertanyakan. Dikatakan demikian oleh karena selain proses hukumnya sangat cepat, juga penerapan salah satu deliknya adalah sama dengan Habib Riz*eq Sih*b pada RS UMMI yakni pasal 14 dan 16 Undang Undang 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Delik yang dikenal dengan “berita bohong” (hoaks) dalam banyak perkara mengandung kepentingan politis ketimbang yuridis. Demikian itu menjadikannya cenderung subjektif dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam rumusan undang-undang.
Selanjutnya Abdul Chair mengatakan pernyataan Habib Bah*r Sm*th tentang pembunuhan yang didahului dengan penyiksaan sudah menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian bukan hanya Bah*r Sm*th yang mengatakan hal itu. Masyarakat luas dan di dalamnya para tokoh juga menyampaikan hal yang sama, bahkan ada Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan L*skar Fr*nt Pemb*la Islam (TP3). Dala buku putih TP3 yang berjudul “Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Enam Pengawal H_RS”, terdapat penjelasan berbagai kondisi yang dialami para korban.
Begitupun ketika pihak keluarga korban KM50 dan Penasehat Hukum audiensi dengan Komisi III DPR RI, dugaan terjadinya penyiksaan juga telah disampaikan. Kesemuanya itu sudah viral terlebih dahulu sebelum Habib Bah*r Sm*th menyampaikannya. Adalah suatu hal yang aneh apabila Habib Bah*r Sm*th mengatakan adanya penyiksaan sebab pemberitaan atau informasi tersebut kemudian dirinya dikatakan telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Seiring dengan itu, selama ini tidak pernah ada suatu kondisi kerusuhan atau huru hara terkait dengan pemberitaan yang viral tersebut.
Salah seorang dari pengacara Habib Bah*r Sm*th, Ichwan Tuankotta, heran terkait penetapan tersangka Habib Bah*r Sm*th. Dia menilai proses hukum yang menetapkan Habib Bah*r Sm*th sebagai tersangka sangatlah cepat. Hanya berjarak dua hari dari pemanggilan, langsung menjadi tersangka kemudian ditangkap. Ichwan pun menyinggung tindakan yang berbeda antara pengkritik pemerintah dengan yang tidak. Dia menyebut beberapa tokoh lain yang bebas dari proses hukum. “Hal ini bila menjerat para oposan pengritik pemerintah. Sementara para penista agama bebas dari proses hukum. Deni Siregar, Ade Armando, dan Permadi Arya meski sudah dilaporkan berulang-ulang tak tersentuh hukum.” Ujarnya. (detiknews.com, 04/01/2022).
Lagi-lagi kebebasan berbicara dan berpendapat yang kali ini dilakukan oleh Habib Bah*r Sm*th tidak berlaku di negeri ini. Kebebasan berbicara, berekspresi, dan berperilaku yang digadang-gadang menjadi slogan dalam alam demokrasi menjadi absurd. Demokrasi yang hipokrit alias munafik, di satu sisi ia membolehkan siapapun bebas berbicara, berpendapat, dan berperilaku asalkan hal tersebut ditujukan untuk mencela, menghina Islam dan umatnya dan bukan untuk lainnya terutama para kelompok elit yang sedang berkuasa. Menjadi suka-sukanya penguasa untuk menetapkan kebebasan seperti apa yang boleh dan tidak boleh. Jika kebebasan berbicara, berpendapat, dan berperilaku tersebut dirasakan mengancam status quo mereka, dipastikan hal tersebut akan dilarang.
Menjadi kebal hukum salah satu hal yang kerap kali ditunjukkan oleh para penguasa dan pengikutnya, tapi tidak berlaku untuk rakyat dan para oposannya. Tidak ada keadilan hukum, yang ada hanya keberpihakan hukum kepada para penguasa dan para kroninya. Equality before the law tidak akan pernah dirasakan oleh rakyat kecil khususnya bagi umat Islam di dalam sistem demokrasi.
Banyak fakta terjadi adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan kekuasaan dengan yang tidak memilikinya. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun realitanya justru para penegak hukum hanya menjadi corongnya para pemilik kekuasaan. Semuanya hanya terjadi dalam sistem hipokrit, sistem demokrasi yang berasal dari pemikiran manusia, buatan manusia. Sehingga aturan dan hukum yang ada sangat mudah dimanipulasi, dirubah, bahkan dihilangkan hanya untuk kepentingan segelintir kelompok.
Masihkah berharap akan keadilan hukum? Rasanya sudah menjadi mustahil jika terus berharap dalam sistem yang dianut saat ini. Telah terkikis habis rasa percaya akan sistem yang ada. Terbukti bahwa aturan dan hukum buatan manusia sangat rentan dengan dengan hawa nafsu, sarat akan kelemahan dan kepentingan. Keadilan yang didambakan dalam sistem demokrasi akhirnya hanya sebatas mimpi. Tidak akan pernah didapatkan oleh mereka yang lemah dan kosong kekuasaan. Wallahualam.
Oleh Elif Shanum
0 Komentar