Otoriter, Perpres Jokowi Terkait Vaksinasi Buah Simalakama Buat Rakyat

 



Vaksinasi menjadi hal yang penting di masa pandemi saat ini. Suka atau pun tidak semua harus mematuhi karena ini merupakan sebuah solusi sementara manakala lockdown total tidak terselenggara.

Oleh karena itu, pemerintah kemudian memerintahkan agar semua warga harus di vaksin. Bagi yang tidak mau divaksin ada sanksi pidana yang akan diterima.

Dikutip dari law-justice.co - Gugatan warga terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 resmi ditolak Mahkamah Agung (MA). Itu tandanya, sanksi pidana bagi yang tidak mau divaksin dikuatkan MA.

Perpres itu bernama lengkap Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Di Pasal 13A ayat 2, Pasal 13A ayat 4, dan Pasal 13B yang mengatur tentang kewajiban vaksinasi bagi masyarakat serta sanksinya apabila dilanggar baik berupa sanksi administratif dan juga sanksi pidana. Aturan sanksi pidana ini di judicial review ke MA oleh Saka Murti Dwi Sutrisna dkk tapi kandas.

"Tolak," demikian bunyi putusan judicial review yang dikutip dari websiite MA.(law-justice.co, 12/01/2022).

Dari fakta bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya ada yang memanfaatkan terkait vaksinasi tersebut. Bahkan saking pentingnya vaksin hingga vaksin pun diperjualbelikan demi sebuah kepentingan pribadi.

Dikutip dari Liputan6.com, Medan Oknum dokter terdakwa kasus jual beli vaksin Covid-19 di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), dr Kristinus Saragih dituntut 3 tahun penjara. Kristinus diketahui sebagai dokter berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dinas Kesehatan Sumut(Liputan6.com 9/12/2021).

Potret sistem kapitalisme kian hari nampak kebusukannya. Tak peduli itu dilakukan oleh mereka yang notabene wakil rakyat, publik figur ataupun pejabat yang menduduki posisi penting. Hampir semuanya tergerus paham kapitalisme. Apapun itu berorientasi materi, melakukan aktivitas tidak bersandarkan asas kemanusiaan apalagi rasa takut kepada Allah Yang Maha Mengawasi.

Paham ini mengakibatkan setiap ada celah keuntungan walaupun akan merugikan banyak orang pasti akan dilakukan. Pun demikian dengan program vaksinasi.

Vaksinasi yang digadang-gadang mampu menjadi solusi bagi permasalahan pandemi nyatanya banyak yang menolak, besar kemungkinan karena kurangnya edukasi kepada masyarakat. Adapun pemberian sanksi pidana sesungguhnya sebuah hal yang dinilai otoriter. Hal ini karena vaksin merupakan hak yang harus diterima bukanlah kewajiban yang harus dijalankan. Di sinilah peran negara memberi edukasi secara optimal tanpa ada komersialisasi dibalik program vaksinasi.

Karena jika hal itu terjadi masyarakat hanya akan menelan pil pahit otoriternya penguasa. Tidak divaksin dipidana tetapi di sisi lain ada saja yang memanfaatkan pandemi ini dengan menjual vaksin demi kepentingan komersialisasi. Padahal sesungguhnya vaksinasi merupakan bagian dari `hak` atas kesehatan yang dijamin oleh konstitusi serta aturan penerjemahnya, yaitu UU No 36/2009, UU No 4/1984, dan UU No 11/2005.

Namun ironi vaksin ini dimanfaatkan, uang pun bisa menjadi sebuah jaminan dalam melancarkan kepentingannya.

Pada akhirnya segala macam cara dilakukan demi mendapatkan kartu vaksin. Sementara di sisi lain masyarakat pun banyak yang abai terhadap ketentuan agar terhindar dari virus seperti jaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan dsb.

Akibatnya jika kemudian virus Covid-19 menyerang kembali seperti yang sekarang omicron sulit untuk mengelak.

Vaksinasi Dalam Islam

Islam sebagai ideologi yang khas dan unik memiliki segudang pemecah permasalahan umat. Islam saat diterapkan dalam bingkai khilafah pernah memberikan contoh saat pandemi melanda. Peran individu, masyarakat hingga negara bahu membahu untuk menuntaskan pandemi. Ketakwaan kepada Allah menjadi landasan dalam melakukan aktivitasnya.

Semisal penguasa dalam Islam akan sigap saat pandemi melanda dengan cara menutup akses tersebarnya virus di dalam negara.

Penguasa pun memisahkan orang sakit dengan orang sehat agar mudah ditangani. Sementara saat lockdown total dilakukan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat dipenuhi secara total. Sehingga rakyat tidak perlu pusing harus keluar saat pandemi terjadi.

Selain itu negara senantiasa memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menaati peraturan untuk tidak keluar rumah saat pandemi terjadi. Siapa pun yang melanggar akan diberikan sanksi karena akan membahayakan kesehatan bagi dirinya dan orang lain.

Di sisi lain pemerintah daulah  islam juga menyiapkan tenaga kesehatan yang optimal dari mulai dokter, perawat dan para ahli di bidang virus untuk menemukan vaksin agar mudah menuntaskan pandemi.

Mereka bekerja secara optimal guna menuntaskan pandemi. Rasa takut dan keimanan kepada Allah menjadi pegangan sehingga dalam melayani masyarakat dilakukan dengan rasa sayang serta cinta. Inilah yang membedakan dengan sistem kapitalisme.

Bahkan vaksinasi faktanya sudah ada sejak kekhilafahan Turki Utsmaniyah kira-kira seabad lalu. Surat keterangan telah divaksin tersebut berbahasa Arab resmi tetapi ada juga Prancis dalam lembaran yang sama. 

Dalam dokumen vaksinasi tersebut, terdapat data-data dari seseorang yang sudah disuntik. Mulai dari nama, umur dari seseorang yang divaksin hingga data dan pekerjaan orang tua. Saat itu baru ada dua jenis vaksin yang ditemukan, yakni campak dan herpes.

Dari sertifikat vaksin yang beredar di dunia maya, menunjukkan jika vaksinasi dilakukan untuk mencegah wabah penyakit pada masa Kekhilafahan Turki Utsmaniyah, saat masa pemerintahan Sultan Abdulhamid II tahun 1326 H/1908 M.
Jelas fakta ini menjadi bukti kuat bahwa Islam merupakan solusi tuntas masalah kesehatan terutama saat pandemi melanda. Wallahualam.


Oleh Heni ummufaiz
Ibu Pemerhati Umat

Posting Komentar

0 Komentar