Pencairan BSU Bagi Guru Honorer Mampukah Mendongkrak Kesejahteraan Hidupnya ?

 


Kondisi pandemi yang berkepanjangan telah banyak menguras air mata rakyat. Efek pandemi ini pun menghantam perekonomian tak terkecuali para guru honorer. Nasib guru honorer memang sungguh memprihatinkan kondisi perekonomiannya. Banyak dari mereka kehidupannya di bawah garis kemiskinan sementara dedikasinya kepada bangsa ini begitu luar biasa. Kondisi guru honorer baik yang mengabdi di bawah naungan Diknas maupun Kemenag sebenarnya tidak berbeda jauh sama-sama masih kurang sejahtera. Namun justru ketika mendapatkan bantuan justru harus dikembalikan lagi. 


Dikutip dari JPNN.com, Kementerian Agama mengambil tindakan tegas terhadap sejumlah guru honorer madrasah dan pendidikan agama Islam (PAI). Mereka diminta mengembalikan bantuan subsidi upah (BSU) yang diterima dari Kementerian Agama. Hal ini didasarkan atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk tahun anggaran 2020. 


Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Muhammad Zain mengungkapkan keharusan mengembalikan disebabkan karena sejumlah guru itu ternyata telah mendapat bantuan sejenis lainnya, termasuk bantuan prakerja/BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, ada ketentuan setiap guru tidak bisa menerima bantuan sejenis. "BPK yang meminta agar yang double dikembalikan ke kas negara," kata Zain dalam keterangan resminya, (JPNN.com, 02/01/2022) 


Tunjangan insentif guru madrasah bukan PNS tahun ini sebesar 250ribu rupiah per bulan dan diberikan delapan kali. Jadi totalnya dua juta rupiah, dipotong pajak sesuai ketentuan undang-undang," terang Zain di Jakarta, Minggu (Kemenag.co.id, 03/10/2021) 


Melihat fakta ini sungguh miris. Bagaimana tidak bantuan yang diberikan kepada guru nonpns ini sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan hidup yang saat ini kian mencekik. Jangankan bisa sejahtera untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan saja secara logika sangat tidak mencukupi. Tak bisa dibayangkan lagi banyaknya guru-guru yang kian hari di bawah garis bayang-bayang kemiskinan. Bahkan mirisnya lagi dari setiap pencarian BSU ini nyatanya banyak yang tidak mendapatkannya. Semisal guru-guru honorer yang berada di pelosok-pelosok daerah yang mengabdi dengan dedikasi tinggi . Namun justru tidak tersentuh bantuan apa pun. 


Birokrasi yang menyulitkan dan ribet nyatanya telah menjadikan sebagian nasib guru di negeri ini kian memprihatinkan. Ada yang mendapatkan bantuan tetapi banyak juga yang tidak akibat tumpang tindih data guru-guru honorer. Kondisi menambah permasalahan baru yakni ketimpangan sosial diantara para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Inilah sebagian potret kehidupan guru honorer yang hidup di bawah sistem kapitalisme. 


Sementara jika kita melihat kondisi pejabat di negeri ini, justru lebih banyak bergelimangan harta yang notabene mereka adalah wakil rakyat. Bahkan berbagai bantuan banyak di korupsi oleh pejabat di negeri. Semisal korupsi bansos yang kian merebak di berbagai daerah. Menkeu Sri Mulyani juga merasa sakit hati manakala uang bansos dikorupsi(Detik.com, 07/01/2022).


Seyogianya, kita tentu tidak ingin terus menyaksikan carut marut bangsa dan para pendidik generasi ini. Kita pasti menginginkan generasi ini diselamatkan oleh para pendidik yang sejahtera sehingga mereka bisa fokus dalam mendidik. Bukan seperti sekarang, kita merasa nelangsa menyaksikan para guru honorer yang terus dikungkung dalam kondisi kemiskinan. Oleh karena itu kita membutuhkan solusi tuntas yang tidak membeda-bedakan antara yang honorer dan ASN. Di mana fasilitas yang dirasakan dibedakan oleh strata masuk pegawai negeri ataukah tidak. 


Bagaimana Islam Menyejahterakan Para Guru


Islam sebagai agama pemecah permasalahan umat seharusnya mulai dilirik oleh penguasa negeri ini. Hal ini karena Islam telah memberikan contoh konkret kesejahteraan guru tanpa membedakan status pendidikan, kondisi wilayah pengabdian ataupun yang lainnya. Selama merupakan bagian dari rakyat Daulah Islam mereka akan di penuhi kebutuhan pokok hidupnya. 

Di dalam sistem Islam penetapan upah bagi para guru tidak didasarkan pada harga barang dan jasa, yang dalam jangka pendek selalu berubah-ubah.

Kondisi ini tentu akan mengakibatkan upah naik turun, pendapatan pekerja pun akan turun. Sedangkan manakala harga naik, upah pekerja semakin membesar sehingga akan cenderung merugikan pemberi kerja. 

Di dalam sistem para guru begitu di sejahterakan, kebutuhan pokok hidup mereka pun terpenuhi secara tuntas. Tak perlu lagi ada bansos atau tunjangan sosial lainnya seperti yang terjadi di sistem kapitalisme sebagai ciri tambal sulam agar kezaliman yang diciptakan tidak nampak. Sementara dalam sistem Islam (khilafah) hal yang demikian (bansos) tidak perlu ada, karena sudah diberikan sehingga para guru pun tidak khawatir dalam memenuhi kebutuhan hidup. 


Inilah peran penguasa yang senantiasa takut kepada Allah Swt. Penguasa dalam sistem akan berusaha amanah untuk menyejahterakan rakyatnya tak terkecuali para guru. 

"Imam /khalifah adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. " (HR Muslim). 


Di dalam sistem Islam jasa guru dihargai sedemikian rupa semisal pada masa Khalifah Umar bin Khattab memberi kan gaji 15 dinar setiap bulan, jika dikonversi ke mata uang rupiah saat ini 120 juta rupiah/bulan. Masyallah. Sebuah jumlah nominal yang menggiurkan. 


Oleh karenanya, masihkah kita mempertahankan sistem yang rusak ini yang tak mampu menyejahterakan rakyatnya tak terkecuali para guru. Mempertahankan atau mengganti dengan sistem Islam kafah semua ada dalam pilihan kita.

 Wallahualam.


Oleh Heni Ummufaiz


 

Posting Komentar

0 Komentar