Pencitraan Ala Demokrasi Bukan Kerja Nyata Hanya Polesan Semata




Dilansir dari laman berita sindonews.com bahwa Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengingatkan warga Persyarikatan untuk tidak terkecoh fenomena politik menjelang Pemilu 2024. Ia menyoroti mulai menjamurnya baliho hingga iklan yang mengarah pada pencitraan diri seorang tokoh menjelang pesta demokrasi mendatang. 

“Kalau bapak ibu perhatikan, sekarang ini orang-orang sudah mulai tebar pesona. Saya terus terang saja merasa khawatir, terutama orang yang sekarang menjadi menteri dan pejabat itu kan lebih fokus pada pencalonan dirinya di 2024 daripada dia bekerja sebagai menteri, atau bekerja sebagai gubernur, atau bekerja sebagai pejabat yang lainnya,” ujarnya dikutip dari laman resmi Muhammadiyah pada Selasa (28/12/2021).  Dalam pengajian pagi PCM Sleman itu, Mu’ti menyindir fenomena itu sebagai kontes kecantikan, fenomena ini disebutkan akan lebih menjamur pada tahun 2022. 

Pernyataan Abdul Mu’ti tersebut bukan tanpa dasar, lihat saja bagaimana baliho dari Ketua DPR RI Puan Maharani yang mulai  terpampang di beberapa tempat. Tidak tanggung-tanggung, baliho yang terpasang berada disepanjang jalan menuju lokasi bencana letusan Gunung Semeru di Lumajang. Hal itu diberitakan di dalam sebuah video yang dibagikan oleh Instagram @surabayamelawan dan diberi caption ‘semeru meletus, korban tak terurus, politik jalan terus’. (sindonews.com, 23/12/2021). 

Hal yang sama bahkan pernah terjadi sebelumnya, di tengah pandemi covid-19 sejumlah politisi sudah mulai tebar pesona dengan memasang baliho bergambar wajah dirinya dengan ukuran super besar dan menyesaki jalanan. Sejumlah politisi yang masif wajahnya di baliho-baliho adalah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua DPP PDIP Puan Maharani, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. (kompas.com, 9/8/2021).

Meskipun Pilpres masih terbilang cukup lama, seolah tidak ingin membuang waktu maka start perkenalan diri sudah mereka mulai. Sungguh miris, di tengah pandemi dan bencana alam yang sedang menghampiri justru korban musibah dieksploitasi. Aksi pemberian bantuan bagi para korban pun terlihat alakadarnya dan terkesan sebagai ajang ‘pencitraan’. Alih-alih mendapatkan simpati dan dukungan, justru cibiran dan pandangan negatif yang didapatkan dari masyarakat.

Perilaku para politisi tersebut jelas  menggambarkan pribadi-pribadi yang egois, minim empati, haus popularitas, serta ambisius akan kekuasaan. Terbentuknya pribadi-pribadi ‘cacat’ tadi tentunya tidak terjadi begitu saja. Sistem atau aturan yang mendominasi dan yang saat ini dianut lah yang menjadi pembentuk pribadi-pribadi ‘cacat’ secara tidak langsung. Demokrasi telah mematikan hati nurani. Bagaimana tidak, seharusnya mereka lebih fokus dan tulus dalam membantu masyarakat yang terdampak pandemi dan bencana alam, yang terjadi justru sebaliknya memanfaatkan kondisi yang ada hanya untuk mendongkrak elektabilitasnya. 

Pencitraan, jurus andalan yang sering dimainkan oleh para politisi, pejabat, aparat penegak hukum, dan tidak ketinggalan para pemangku kekuasaan di negeri ini. Janji-janji manis serta survey yang seakan memperlihatkan baiknya kinerja namun tidak disokong fakta real di masyarakat  menjadi senjata yang seringkali mereka lemparkan untuk menarik simpati dan dukungan. Pencitraan yang mereka lakukan dalam politik tentunya bertujuan mendulang suara rakyat sebanyak-banyaknya, sehingga pada saatnya tiba mereka telah mendapatkan kekuasaan, janji hanyalah janji yang kemudian rakyat pun dilupakan bahkan ditinggalkan.

Sungguh sebuah ironi, dimana demokrasi masih saja menjadi asas dan tumpuan untuk memperbaiki negeri ini. Pemilihan langsung yang katanya berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat justru menjadi bumerang. Rakyat manakah yang katanya mereka wakilkan suara dan pendapatnya? Betulkah keberadaan para pemimpin dan para wakil rakyat tersebut sudah sesuai dengan janji-janji dan cita-cita luhur yang mereka gembar gemborkan selama ini? Betulkah dengan asas tersebut rakyat menjadi makmur sejahtera? Kemakmuran dan kesejahteraan yang ada hanyalah milik mereka para elit politik, para pemangku jabatan dan kekuasaan, juga rakyat yang tentunya memiliki kekuatan modal dan tidak  berlaku untuk rakyat kecil. 

Rakyat kecil hanya kebagian sisa-sisa dan ampas ‘kesejahteraan’, bahkan jika bisa rakyat tidak mendapatkan bagiannya sama sekali. Inilah bahaya dari sebuah pencitraan palsu yang dilakukan hanya untuk mengelabui rakyat, ibarat kata habis manis sepah dibuang. Jika para elit politik tadi sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, rakyat kecil yang sudah memilih mereka pun akan didepak jauh-jauh. 

Masihkah berharap pada politik pencitraan semacam ini? Masihkah kita mau jatuh pada lubang yang sama untuk ke dua kalinya? Tidakkah kita menginginkan perubahan? Sebuah perubahan yang nyata dan bukan hanya sekedar omong kosong. Politik pencitraan ini hanya akan semakin mengokohkan sistem demokrasi dengan segala keburukannya. 

Perubahan yang dilakukan haruslah sebuah perubahan yang mendasar, Perubahan yang sejatinya tidak mengenal pencitraan palsu, pencitraan yang dibuat sedemikian rupa hanya untuk menarik simpati dan dukungan tapi realitanya nol besar. Perubahan yang bukan perubahan parsial atau tambal sulam, perubahan yang justru mendorong para pemimpin kekuasaan berlomba-lomba memberikan yang terbaik untuk rakyatnya. Karena sejatinya seorang pemimpin itu adalah pengurus atau pelayan bagi rakyat bukan sebaliknya. 

Apakah ada sistem yang pemimpinnya adalah pelayan dan pengurus bagi rakyatnya? Tentu saja ada. Selama berabad-abad lamanya di dalam sejarah telah membuktikan bahwa hanya Islam yang mampu membuktikannya. Dimulai dari kepemimpinan Rasulullah Saw hingga diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin, dan diteruskan oleh Kekhalifahan selanjutnya. Dimana para pemimpin di dalam Islam tadi mampu bertanggung jawab baik secara duniawi dan ukhrowi (akhirat), sehingga mampu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya secara keseluruhan. 

Sehingga pencitraan pun otomatis tercipta secara real, rakyat yang akhirnya memberikan langsung citra positif tersebut bagi para pemimpin yang berhasil memenuhi janjinya secara konsisten, dan dalam jangka waktu yang panjang. Lihat saja bagaimana Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang begitu terkenal akan pencitraan diri yang positif sebagai seorang pemimpin yang adil, pemimpin yang tegas, pemimpin yang dermawan dan juga sederhana. Semua keteladanan Umar bin Khattab tersebut lahir dari sebuah keimanan sehingga muncul kesadaran akan ada pertanggung jawaban kelak di hari akhir. Tanggung jawab sebagai seorang pemimpin akan amanahnya dalam mengurusi dan melayani rakyatnya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga pencitraan bukanlah sekedar ‘pencitraan’ dengan makna yang negatif. Bukan pencitraan ala-ala di dalam sistem demokrasi yang saat ini marak terjadi, pencitraan yang hanya tipu-tipu, no real, dan fake. Wallahualam. 

Oleh Elif Shanum

 

Posting Komentar

0 Komentar