Perhelatan bergengsi Formula E (FE) masih menjadi perbincangan hangat warga ibu kota. Hantaman Covid-19 yang bertubi-tubi tidak menyurutkan Pemprov menggelar balap mobil berskala internasional tersebut. Terbaru, kabarnya ajang balap mobil listrik FE batal diadakan di Monas dan sudah masuk tahap pelelangan.
Berdasarkan berita di laman merdeka.com, 4/1/2022, Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro), Widi Amanasto mengatakan bahwa tender kontraktor untuk pembangunan sirkuit Formula E sudah dimulai. Namun, dia masih belum dapat memastikan publikasi proses lelang tersebut.
Menurut Ketua Pelaksana Formula E, Ahmad Sahroni, untuk tempat penyelenggaraan FE telah diberikan approval akan diadakan di Ancol (idxchannel.com, 22/12/2022).
Banyak pihak menyayangkan pembangunan sirkuit balapan yang ditargetkan rampung selama 3 bulan itu. Pasalnya, tempat penyelenggaraan berada di lahan bekas rawa. Selain kontur tanahnya tidak stabil, daerah Ancol berisiko mengalami banjir rob. Menurut anggota Komisi B DPRD DKI, Pandapotan Sinaga, dari laman kompas.com, 30/12/2021, berdasarkan hasil tinjauannya, lokasi balapan merupakan daerah rawa tempat pembuangan hasil sedimentasi dan juga hasil pengerukan proyek MRT yang dibuang begitu saja.
Lagipula, kalau memang FE merupakan ajang bergengsi, idealnya baik Pemprov maupun pemerintah pusat benar-benar menentukan tempat yang tepat dan teruji. Sayangnya, penentuan pembangunan sirkuit di Ancol terkesan terburu-buru. Dilansir dari laman mediaindonesia.com, 31/12/2021, Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, Anggara Wicitra Sastroamidjojo menyayangkan perencanaan yang kurang terukur dalam pengambilan keputusan penentuan tempat trek balapan. Lokasi yang berubah-ubah sejak awal mengesankan tidak ada kajian terlebih dahulu dan tidak melewati studi kelayakan.
Apalagi sejak Jakarta akan menjadi tuan rumah balap mobil bergengsi ini, persiapan FE telah menyedot banyak dana. Alih-alih mampu menggenjot perekonomian negeri, ajang FE menimbulkan polemik di tengah pandemi dan menimbulkan kerugian. Mulai dari biaya commitment fee yang mahal, sosialisasi pra event, persiapan infrastruktur, hingga biaya pemugaran Monas.
Pemilihan tempat yang berada di wilayah Jakarta Utara juga merupakan tindakan gegabah. Alih-alih menjadikan lahan kosong agar lebih bermanfaat, pemerintah menerabas aturan lingkungan. Pasalnya, laman kompas.com, 19/9/2010 mewartakan bahwa menurut Dosen dan peneliti pada Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung, Armi Susandi, mengatakan bahwa penurunan tanah di wilayah Jakarta bagian utara berpotensi terus berlanjut secara tiba-tiba, terutama ke lokasi-lokasi rawan di wilayah lain. Kenaikan permukaan air laut dan intrusi air laut menyumbang peranan penting dalam melapukkan tanah, sehingga labil dan mudah amblas.
Selain itu, satu hal yang menggelitik adalah sebelumnya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan bahwa ada lima opsi lokasi pengganti Monas yang dikeluarkan oleh PT Jakpro, dua di antaranya adalah kawasan Senayan dan Pulau Reklamasi di Pantai Maju Bersama (kompas.com, 11/10/2021).
Pertanyaannya, Mengapa Pulau Reklamasi dijadikan salah satu opsi lokasi FE? Padahal, jelas-jelas Gubernur DKI Jakarta menegaskan proyek reklamasi pantai utara Jakarta dihentikan dan tidak masuk rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) 2017-2022. Dia juga mengatakan reklamasi lebih banyak mudharat dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Namun, adanya opsi tersebut menunjukkan proyek reklamasi Teluk Jakarta hanya hibernasi sesaat alias tidak sepenuhnya dihentikan, miris.
Dari fakta di atas, jelas terlihat pemerintah pusat maupun Pemprov inkonsisten dalam melahirkan kebijakan. Selain itu, pemerintah tidak fokus menuntaskan pandemi. Varian delta yang mengamuk menyebabkan gelombang tsunami pandemi kedua tidak juga membuat pemerintah sadar. Apalagi, kabarnya saat ini timbul beberapa varian mutasi virus baru seperti Omicron.
Pemerintah susah payah mengupayakan dana fantastis baik dari APBD maupun mencari sponsorship untuk ajang bergengsi ini. Namun, jeritan rakyat akibat laju kontaminasi virus Corona diabaikan. Belum lagi, memasuki tahun anggaran baru 2022 baik pemerintah pusat maupun pemprov DKI cukup kesulitan dalam penyusunannya karena dana yang terbatas.
Dikutip dari laman bisnis.com, 13/12/2021, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa pada 2022, defisit APBN ditetapkan sebesar Rp868 triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah akan menarik utang hingga Rp973,6 triliun pada tahun 2022 sesuai rencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2022, astaghfirullah.
Selain itu, sungguh menyedihkan, tidak jauh dari lokasi sirkuit balap mobil listrik yang direncanakan. Ada warga Jakarta Utara yang masih harus berjibaku dengan banjir rob akibat pembangunan yang massif di wilayah pesisir Jakarta. Bukannya menyelesaikan nasib warga pesisir di wilayah kumuh, pemerintah sibuk mengurus balap mobil untuk warga asing.
Memang hidup di bawah naungan pemimpin yang mengadopsi sistem bobrok sekuler demokrasi kapitalisme bikin rakyat "megap-megap". Penguasanya lalai dari tanggung jawab utama menyejahterakan rakyat. Karena diasuh oleh kapitalisme, wataknya culas dan materialistis. Mereka selalu menjadikan alasan ekonomi untuk meraup keuntungan pribadi. Jabatan tidak dianggap amanah yang harus dipertanggungjawabkan di yaumil hisab kelak.
Mereka hanya mementingkan prestige. Bukannya mengelola negara dengan baik, mereka justru merugikan negara. Seperti dalam ajang FE ini, pemerintah dinilai kurang jeli memperhitungkan pendapatan dan pengeluaran anggaran. Harusnya, pemerintah belajar dari gelaran yang sudah-sudah, seperti Formula E di Montreal yang faktanya tidak berhasil menggenjot perekonomian negara.
Tentu kenyataan pahit tersebut tidak akan terjadi jika saja sistem Islam yang diadopsi negeri ini. Sistem Islam mengutamakan kesejahteraan rakyatnya daripada menghamburkan uang untuk kegiatan unfaedah. Apalagi ketika negara sedang menghadapi pandemi seperti saat ini.
Dari Ibnu Umar ra., Nabi saw. bersabda: "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya" (HR. Muslim).
Jangankan mengeluarkan uang untuk balapan, Khalifah Umar bin Khattab pada masa paceklik dan kelaparan, beliau rela hanya makan roti dan minyak, sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”
Ketika negeri yang dipimpinnya dilanda wabah penyakit, Umar langsung mengambil langkah cepat dan tepat mengisolasi yang sakit dan memisahkannya dengan yang masih sehat. Pintu keluar - masuk ke negeri tersebut ditutup agar penyebaran segera terhenti. Sangat berbeda dengan penguasa saat ini yang masih jumawa ketika gelombang Covid-19 datang dengan membolehkan orang asing berwisata.
Pemimpin yang dilahirkan sistem Islam sangat hati-hati mengelola dana umat. Karena mereka sadar bahwa hal itu merupakan bagian dari amanah seorang pemimpin. Semua dilakukan dengan landasan ketakwaan dan tentunya sesuai dengan tuntunan Allah Swt. dan Rasul-Nya (syariat Islam).
Sangat bertolak belakang dengan kondisi kepemimpinan hari ini, dimana para penguasa tidak menjadikan aturan Allah Swt. yaitu Al Quran dan assunnah sebagai dasar kepemimpinan umat. Sehingga, sikap tamak, korupsi, khianat, lalai, dan pemimpinnya tidak bisa membedakan mana prioritas mana bukan seperti kasus penyelenggaraan ajang Formula E di tengah pandemi, wallahualam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar