Indonesia ketiban sampur. Mulai 1/12/2021 hingga 30/11/2022 mendatang, Indonesia memegang Presidensi G20 2022. Dalam Presidensi tersebut, Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa”.
Tujuannya, untuk meningkatkan keragaman budaya sekaligus potensi wisata dan investasi yang ada di Indonesia, serta menggerakkan perekonomian daerah.
Selama Indonesia memegang sampur Presidensi G20, akan dilaksanakan 121 agenda pendukung di berbagai daerah hingga acara puncaknya Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November 2022. Penyelenggaraan agenda pendukung G20 tersebar di berbagai lokasi di Indonesia termasuk lima daerah Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yaitu Danau Toba di Sumatra Utara; Borobudur, Magelang di Jawa Tengah; Mandalika di Nusa Tenggara Barat; Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur; dan Likupang di Sulawesi Utara. Daerah lainnya yang akan didapuk menjadi tempat penyelenggaraan Side Events adalah Jakarta, Bali, Bintan, Batu, Bogor, Sorong, Surabaya, Makassar, Palembang, Belitung, Solo, Banjarmasin dan Pontianak.
Dalam pelaksanaan agenda pendukung G20 ini Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, berharap bahwa agenda ini akan menaikan perekonomian daerah. Khususnya untuk mempromosikan keunggulan produk, pariwisata, dan kearifan lokal tiap daerah. (www.republika.co.id)
Menurut Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki, potensi ekonomi diselengarakannya KTT G20 baik agenda utama dan pendukung sangat besar terutama untuk UMKM. Teten menggambarkan akan ada 20.988 delegasi yang datang ke Indonesia bersama staf atau anggota keluarga. Jumlah ini dinilai dapat berlipat menjadi 41.976 – 83.952 potensi orang hadir ke Indonesia. Yang ini akan bisa menjadi pasar bagi produk-produk UMKM dan sektor pariwisata. Hingga beliau mengatakan G20 berpotensi menciptakan 33.000 lapangan kerja baru dengan nilai konsumsi sebesar Rp 1,7 triliun. (www.bisnis.tempo.co). Hal ini seakan jadi oase bagi pemulihan ekonomi nasional maupun daerah, termasuk Bogor. Walaupun Menteri Keuangan masih meragukan sejauh mana stimulus ekonomi ini akan bertahan.
Saat ini, negara-negara di dunia memang sedang melakukan pemulihan ekonomi akibat krisis yang diperparah dengan hadirnya pandemi. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan semua negara tidak terkecuali melakukan kebijakan yang luar biasa untuk menyelamatkan perekonomian dan masyarakat dari pandemi. Semua negara mengeluarkan kebijakan countercyclical baik dari sisi fiskal, moneter dan regulasi keuangan. (www.cnnindonesia.com)
Di sisi lain, menurut catatan Bank Indonesia, dalam agenda KTT G20 di Indonesia nanti, juga akan dibahas upaya perlindungan dari G20 kepada negara-negara yang masih menuju pemulihan ekonomi (terutama negara berkembang) dari efek limpahan (spillover) exit policy yang diterapkan oleh negara yang lebih dahulu pulih ekonominya, umumnya negara maju.
Menyiapkan antisipasi perlindungan dari spillover exit policy memang bukan sikap paranoid. Justru, negara bukan hanya perlu mengantisipasi spillover saja, tetapi harus menyiapkan negara dengan perekonomian yang mandiri dari dikte negara asing dan mampu melindungi seluruh kekayaan rakyat dan negara dari penguasaan asing.
Karena kalau kita runut, pasca kolonialisme secara fisik dihapuskan, negara-negara adidaya membentuk organisasi internasional sebagai alat untuk menguasai dunia. G20 atau organisasi-organisasi internasional sejenis adalah salah satu contohnya. Ia merupakan media negara-negara maju untuk mendiktekan kepentingannya kepada negara berkembang.
Selain itu, G20 dan asosiasi-asosiasi yang sejenis merupakan alat bagi Barat untuk menguasai sumber daya alam (SDA) kaum muslimin via investasi dan sekaligus menjadikannya sebagai pasar terbesar mereka. Mereka mengarahkan agar negara berkembang hanya mengais remahan rezeki dengan mengembangkan leissure economy. Salah satunya adalah mengembangkan pariwisata. Sementara SDA yang merupakan sumber kekayaan terbesar justru mereka kuasai.
Di lain pihak, penitikberatan ekonomi pada sektor pariwisata akan menimbulkan dampak sosial ikutan. Seperti legalisasi minuman keras, prostitusi, masalah lingkungan dan penetrasi kebudayaan. Kota Bogor saja kemarin mengalami polemik akibat di bukanya sebuah cafe yang menjual miras.
Sedangkan untuk tetap menjaga agar pasar (masyarakat pribumi) memiliki daya beli, mereka ‘mengijinkan’ bahkan menginisiasi warga negara berkembang untuk mengembangkan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang mayoritasnya memberdayakan perempuan. Memang benar, bergeraknya UMKM akan membawa pergerakan aktivitas ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Juga jelas akan berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, semua juga menyadari bahwa tingginya PDB tidak mencerminkan sejahteranya penggerak UMKM dan masyarakat.
Meskipun UMKM menyumbang PDB hampir 60%, tetapi rasio Gini masih tinggi, yakni sebesar 0,381 poin pada September 2021. Artinya, masih terjadi ketimpangan di tengah rakyat Indonesia dan pemerataan kesejahteraan sama sekali belum terwujud. (www.tribunnews.com)
Saat ini pun, UMKM menghadapi tantangan digitalisasi ekonomi dan faktanya masih ada kendala. Direktur Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU Kementerian Keuangan menyatakan baru sekitar 18% pelaku UMKM yang memiliki pemahaman literasi digital. Persoalan lainnya adalah rendahnya kapasitas produksi UMKM sehingga kerap kesulitan saat menerima banyak permintaan dari pasar daring, juga kemampuan manajemen UMKM yang masih tradisional sehingga akuntabilitasnya menjadi rendah saat berhadapan dengan pihak perbankan untuk mendapatkan pinjaman modal. Permasalahan-permasalahan UMKM ini pun dirasakan di Kota Hujan. Seperti yang diungkapkan Pak Wali bahwa UMKM Kota Bogor menghadapi dua permasalahan besar berupa kelembagaan dan kapasitas yang dikaitkan dengan pendataan, pembinaan, bantuan modal, dan go digital. (www.jabar.antaranews.com)
Jadi, berharap memulihkan ekonomi hanya pada presidensi G20 bagaikan halusinasi. Apalagi eventnya hanya berlangsung 1 tahun saja. Terlebih lagi acaranya diorkestrasi oleh penjajah.
Untuk melepaskan perekonomian dari jeratan dikte penjajah memang dibutuhkan keberanian menentukan sikap untuk keluar dari organisasi-organisasi internasional tadi. Lalu, berpikir tentang perubahan radikal dalam memandang perekonomian dan kehidupan. Kita harus bangkit dengan pemikiran-pemikiran yang sahih tentang pengaturan ekonomi.
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, sudah sewajarnya kita kembali pada pemikiran terkait ekonomi beserta pengaturannya yang berlandaskan Islam. Islam mempunyai sistem ekonomi yang akan melindungi kekayaan umat dan negara dari penguasaan asing dan segelintir individu dengan mengatur kepemilikan.
Islam juga mempunyai mekanisme yang akan membentuk iklim usaha yang kondusif bagi warganya. Kemudahan dalam memperoleh permodalan tanpa riba, memberi infrastruktur yang memperlancar usaha termasuk dalam proses digitalisasinya, dan tak membebani ekonomi dengan berbagai tuntutan pajak dan ribetnya perijinan. Negara pun memberikan jaminan keamanan serta menyediakan sarana transportasi yang akan menunjang keberlangsungan usaha.
Dalam kerjasama ekonomi dengan luar negeri, Islam mempunyai kerangka sebagaimana hubungan luar negeri lainnya. Kerangkanya adalah dakwah dan jihad. Hingga Islam akan memproteksi kerja sama ekonomi yang membawa bahaya bagi negara dan memperkuat negara lain. Dan Islam hanya memberi satu pintu masuk bagi asing jika ingin melakukan aktivitas ekonomi. Tidak membebaskan orang asing bebas membawa modalnya hingga ke daerah-daerah tanpa pengawasan. Karena ini membahayakan kedaulatan negara.
Selanjutnya, Islam memiliki sistem ekonomi terbaik yang sanggup menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Sistem ekonomi Islam juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi laki-laki dan gaji yang menjamin kesejahteraan hidup keluarga. Hingga tidak ada eksploitasi perempuan dalam pasar tenaga kerja ataupun dunia usaha. Walaupun Islam tetap membolehkan perempuan untuk bekerja dan mempunyai usaha. Hanya saja mereka tak akan dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi apalagi jadi garda terdepan untuk menghabisi krisis ekonomi.
Penerapan sistem ekonomi Islam tak bisa berdiri sendiri. Ia harus diterapkan bersama seluruh sistem kehidupan lainnya secara kafah dalam bangunan khilafah islamiyah. Inilah yang akan menjamin hidup mandiri, mulia, dan sejahtera bagi Kota Bogor, Indonesia, dan dunia. Wallahua’lam.
Oleh : Rini Sarah
0 Komentar