Pro Kontra Hukuman Mati Kasus Pelecehan Seksual, Bukti Penegakan Hukum Demokrasi Abal-abal


Jaksa penuntut umum (JPU), yang juga Kepala Kejati Jabar, Asep N Mulyana menuntut terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap 13 orang santriwati sebuah Pesantren di Bandung, HW, untuk dihukum mati, sebagai bukti dan  komitmen untuk memberikan efek jera kepada pelaku atau pihak lain yang akan melakukan kejahatan (11/1/2022).

JPU juga menuntut hukuman tambahan berupa tindakan kebiri kimia dan hukuman lainnya. Tuntutan JPU tersebut memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Tuntutan hukuman mati dan kebiri kimia dianggap mencerminkan kejahatan yang serius.

Dukungan atas hukuman tersebut datang dari berbagai pihak, seperti Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga.

Tuntutan tersebut dianggap sebagai bentuk komitmen dan keseriusan pemerintah melindungi tumbuh kembang anak. Serta, sesuai dengan Pasal 81 ayat 5 undang-undang Perlindungan Anak.

Namun, Ketua Umum Amnesty Internasional, Usman Hamid Usman menyatakan hukuman mati dan kebiri merupakan bentuk penghukuman yang tidak manusiawi, kejam, dan merendahkan martabat manusia, meski diakuinya perbuatan pelaku memang sama sekali tidak bisa ditoleransi, karena benar-benar menginjak-injak perikemanusiaan.

Sementara Komnas HAM juga beranggapan ini tidak sesuai dengan prinsip HAM dan semangat perubahan hukum di  Indonesia. Penolakan juga disampaikan oleh Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, dan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.

Seperti kita ketahui, kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kejahatan seksual selama ini dianggap belum mendapat hukuman yang menjerakan. Karena realitasnya, kasus kejahatan seksual dan korupsi tetap saja merebak luas. Namun anehnya, saat hukuman mati yang merupakan hukuman terberat ini ditegakkan, tetap saja tidak membuat para pelaku ini takut. Maka, patut disinyalir ada sesuatu yang salah dalam integrasi antara penegakan hukum demokrasi ini dengan mentalitas rakyat, terutama pelaku.

Kontradiksi dalam sistem demokrasi ini pun nyata saat diajukannya tindakan hukuman mati ini dibarengi dengan timbulnya polemik antara pihak-pihak yang setuju agar bentuk hukuman yang ditegakkan dapat membuat jera dengan pihak-pihak yang menentang hukuman mati ini karena alasan terkait komitmen negara atas penegakan HAM.

Pro dan kontra terhadap hukuman yang dituntut oleh JPU menunjukkan bahwa standar penilaian manusia akan senantiasa bertentangan satu sama lain, berdasarkan kepentingan pihak masing-masing. Ketika banyaknya pertentangan ini, maka bagaimana kita dapat mengharapkan adanya keadilan hukum yang sesungguhnya akan diinginkan dan dirasakan oleh semua pihak?

Ketika hukuman mati dan kebiri atas pelaku kejahatan kemanusiaan ini dianggap bertentangan dengan HAM, lalu para pendukung tuntutan JPU ini pun lantas mempertanyakan kembali, bagaimana jika aspek HAM ini berpijak dari sisi korban kejahatan seksualnya? Di mana korban sangat menderita. Serta, dampak dari kejahatan ini yang menghancurkan fisik maupun psikis korban yang sejatinya dianggap tetap tak sebanding dengan seberat-beratnya hukuman bagi pelaku.

Inilah bukti cacatnya sistem sekuler demokrasi hari ini. Selain menggantungkan solusi kejahatan pada sanksi/hukuman yang tidak mampu menciptakan lingkungan kondusif yang mendukung agar kejahatan tidak merajalela. Serta, masih terjadinya perpecahan respons dan aspirasi dari masyarakat yang tentu saja akan memengaruhi jalannya proses penegakan hukum ini.

Bukan hal yang aneh, polemik ini menjadi gambaran ketika penetapan hukuman diserahkan kepada akal manusia. Apabila standar hukum tidak disandarkan kepada Zat Yang Maha Mengetahui hukum terbaik bagi hamba-Nya, yaitu Allah Swt., maka perpecahan akan senantiasa terjadi.

Pro dan kontra dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat ini menunjukkan ketidakadilan hukum akan niscaya terjadi serta sulit bahkan mustahil masyarakat mendapatkan ketenangan atas keadilan hukum yang ditegakkan. Bukan hanya dalam satu kasus ini saja, melainkan juga pada kasus-kasus lain. Bahkan di seluruh kasus-kasus hukum yang juga belum mencapai titik terang tegaknya keadilan hukum.

Inilah bahayanya ketika penetapan hukum disandarkan kepada sekularisme yang mengagungkan lemahnya akal manusia dengan membuang jauh peran agama dalam pengasuhan urusan kehidupan. Perbedaan standar dan pendapat manusia yang mengantarkan pada perbedaan pilihan hukum yang sudah jelas-jelas telah ditentukan hukumnya oleh Allah Swt., tentu menjadi bukti kuat bahwa peran Allah Swt. sebagai pembuat hukum, telah dipinggirkan.

Persoalan besar atas polemik kejahatan seksual ini tentu saja membutuhkan solusi mendasar, baik dari sisi pencegahan maupun sanksi yang menjerakan, juga perlindungan penuh terhadap korban. Hanya aturan Allah lah yang akan memberikan keadilan terbaik di dunia maupun di akhirat. Dalam seluruh aspek, yakni baik pada pelaku, korban maupun masyarakat secara keseluruhan.

Hukum yang adil ini hanya akan dapat diterapkan sempurna dalam sistem yang juga menerapkan aturan Allah secara kafah dalam semua bidang kehidupan. Yaitu tegaknya Khilafah Islamiah yang tidak hanya akan melahirkan keadilan dalam perkara kejahatan seksual, atau segala kasus hukum lainnya. Tetapi juga akan meniscayakan tegaknya keadilan dalam seluruh problematik kehidupan lainnya seperti ekonomi, sosial, politik dan lainnya. Wallahualam.


Oleh Novita Sari Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar