Awal tahun baru 2022 bertepatan juga dengan bersekolahnya kembali para siswa setelah liburan semester pertama. Senin, 3 Januari 2022, pemerintah pusat memberlakukan kembali Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dengan kapasistas 100 persen di daerah yang berada pada level PPKM 1 dan 2. Salah satunya dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta.
Pemberlakuan PTM ini sendiri sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19. Aturan ini menyatakan bahwa kegiatan belajar mengajar PTM di sekolah boleh melibatkan 100 persen siswa mulai semester kedua tahun ajaran 2021/2022.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbudristek, Jumeri bahwasannya semua satuan pendidikan yang berada di daerah dengan PPKM level I, II, dan III wajib melaksanakan PTM terbatas. Oleh karena itu, orang tua tidak dapat memilih PTM terbatas atau PJJ bagi anak setelah Januari ini (republika.co.id,4/1/22).
Berbagai diskursus pun muncul, mulai dari isu jaminan kesehatan tenaga pengajar dan siswa yang menjadi taruhan hingga ancaman loss learning. Belum lagi berbagai kebijakan yang berubah-ubah semenjak pandemi ini membuat banyak orang tua kebingungan. Bagaimana nasib pendidikan anak-anaknya kelak?
Pemerintah memang sedang berupaya mempercepat proses vaksinasi bagi anak usia 6-11 tahun sebagai upaya persiapan PTM ini. Namun, tentu cakupan vaksinasi tidak bisa dijadikan satu-satunya parameter untuk menetapkan kebijakan ini. Pemerintah perlu memberikan rekomendasi terkait kondisi-kondisi tertentu di mana sekolah memang tidak memenuhi syarat untuk melaksanakan PTM 100 persen.
Misalnya saja terkait sarana dan prasarana kesehatan serta penerapan protokol kesehatan untuk meminimalisasi interaksi dan kerumunan. Komisioner KPAI, Retno Listyarti menyatakan bahwa banyak pertimbangan yang membuat PTM terbatas Januari nanti belum siap. Pengawasan PTM yang dilakukan oleh KPAI selama 2021 pada 17 sekolah yang berada di 18 kabupaten/kota di 8 provinsi menunjukkan hasil bahwa anak didik masih sulit untuk mengubah perilakunya di masa adaptasi pandemi Covid-19 (medcom.id, 30/12/21).
Tentu kita bisa membayangkan bagaimana jika PTM 100 persen ini diterapkan pada semua jenjang pendidikan, termasuk untuk anak usia dini? Sebenarnya kekhawatiran ini wajar terjadi. Sebab, kebijakan yang dikeluarkan saat ini cenderung tergesa-gesa tanpa memperhatikan banyak pertimbangan. Bahkan tak sedikit rekomendasi dari para ahli cenderung diabaikan. Mirisnya, kebijakan ini dikeluarkan justru saat virus varian Omicron mulai masuk ke Indonesia.
Ternyata tak lama setelah diterapkan PTM 100 persen, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan bahwa tujuh sekolah di Jakarta harus ditutup sementara karena pada masa pelaksanaan PTM 100 persen ini ada siswa yang terpapar Covid-19. Lalu, apakah kebijakan ini sudah merupakan langkah yang tepat?
Data terbaru per 10 Januari 2022 menunjukkan kasus positif virus corona (Covid-19) varian Omicron di Indonesia menjadi 506. Rincian jumlah tersebut, yaitu sebanyak 415 di antaranya berasal dari pelaku perjalanan luar negeri. Adapun yang berasal dari transmisi lokal di masyarakat sebanyak 84 (cnbcindonesia.com, 12/1/22).
Ironisnya, ketika virus Omricon mulai menyebar secara masif di berbagai negara, pemerintah nyatanya masih tidak mengikuti rekomendasi dari berbagai pihak untuk menutup jalur penerbangan. Oleh karena itu, wajar jika penambahan kasus positif Covid-19 varian Omricon memang didominasi oleh perjalanan luar negeri.
Jika kita menganalisis lebih dalam, tentu kebijakan ini seperti halnya kebijakan-kebijakan saat awal masa pandemi dilakukan karena alasan investasi dan kepentingan ekonomi. Namun, pertanyaannya apakah keselamatan masyarakat akan menjadi taruhannya?
Syariat Islam, Solusi Tuntas Penanganan Pandemi
Berbicara tentang pendidikan tentu tidak bisa dipisahkan dengan sistem politiknya. Ketidakjelasan berbagai kebijakan di dunia pendidikan salah satunya terjadi karena tidak adanya kejelasan visi dan misi pendidikan itu sendiri.
Syariat Islam memandang pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Oleh karena itu, dalam kondisi apa pun negara tidak boleh mengalami loss generation. Visi pendidikan Islam yang jelas dan terstruktur ternyata tidak sekadar menghasilkan kualitas generasi yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Namun, yang lebih penting lagi adalah generasi yang berkepribadian Islam. Artinya, bukan hanya pola pikir, tetapi juga pola sikap haruslah sesuai dengan syariat Islam. Lalu, apa saja yang harus diperhatikan?
Pertama, negara harus berperan penuh dalam mengurusi rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Imam/ khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Proses pengurusan ini bukan sekadar membuat suatu kebijakan, tetapi melakukan monitoring dan evaluasi. Oleh karena itu, negara tidak akan melepas apalagi mendelegasikan tugas-tugasnya kepada pihak lain apalagi korporasi. Negara juga tidak bisa berlepas tangan dengan mengembalikan pendidikan hanya menjadi tanggung jawab orang tua di rumah.
Oleh karena itu, meskipun dalam kondisi pandemi, negara tetap harus memiliki roadmap yang jelas agar pendidikan bisa tetap dilaksanakan secara optimal dengan memperhatikan berbagai rekomendasi para ahli. Bukan mengambil keputusan atas kepentingan pihak tertentu saja. Maka, negara harus menetapkan tata laksana yang tepat sesuai dengan panduan hukum syara’.
Negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh dalam melakukan tindakan preventif maupun kuratif selama wabah terjadi. Bahkan, negara harus menjamin fasilitas kesehatan dan juga pendidikan yang mumpuni. Misalnya, menyediakan laboratorium, fasilitas kesehatan, vaksin, obat-obatan hingga tenaga kesehatan yang memadai. Apalagi kedua bidang ini termasuk ke dalam kebutuhan dasar masyarakat. Oleh karena itu, tidak boleh ada pembedaan fasilitas negara untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tersebut.
Kedua, pemerintah harus memastikan keamanan dari masyarakat. Sebab, nyawa satu orang manusia bukanlah sesuatu yang tidak ada nilanya. Hal tersebut bisa dilihat dari sabda Rasulullah SAW yang artinya, “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya” (HR Imam Muslim).
Khatimah
Penetapan kebijakan PTM 100 persen menjadi bukti bahwa berbagai kebijakan yang lahir dalam sistem kapitalisme sekuler memang lebih berpihak kepada kepentingan ekonomi. Begitu pun pendapat ahli cenderung diabaikan karena lebih memilih mengikuti rekomendasi para pemilik modal untuk tidak menutup penerbangan internasional selama pandemi ini. Padahal, bisa jadi keselamatan masyarakat yang menjadi taruhannya. Lalu, kepada siapa kita harus berharap untuk menyelesaikan kondisi pandemi ini? Semua solusi itu tidaklah bisa hadir tanpa adanya penerapan aturan Islam secara kafah dalam seluruh lini kehidupan, termasuk dalam mengatur kesehatan dan pendidikan saat pandemi.[]
Oleh: Annisa Fauziah, S.Si., Aktivis Muslimah
0 Komentar