Keputusan pemerintah untuk meleburkan lembaga Eijkman dengan BRIN menuai polemik. Berbagai analisa bermunculan menyoal peleburan tersebut. Bahkan tak sedikit yang mengatakan bahwa peleburan tersebut ibarat memenjara riset dalam kerangkeng birokrasi. Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengatakan hal itu sebagai kemunduran bagi dunia riset Indonesia.
Menurutnya, BRIN juga turut mematikan kegiatan riset oleh peneliti lewat peleburan ini. Sebab peneliti seolah terkekang dengan birokrasi ala BRIN yang notabene ialah lembaga pemerintah.
"Di BRIN pasti tidak akan seperti di Eijkman. Nanti para peneliti tidak lagi punya kebebasan, ruang gerak yang cukup untuk meneliti sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya. Sementara Eijkman kan memberikan kebebasan itu," imbuhnya sebagaimana yang dilansir www.medcom.id (5/01/22)
Kebijakan ini diambil sesuai dengan ketentuan pasal 58 Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN. Aturan tersebut menyatakan, mulai 1 September 2021, seluruh lembaga penelitian diintegrasikan ke dalam BRIN. Ada lima entitas lembaga penelitian resmi, yakni Batan, Lapan, LIPI, BPPT, dan Kemenristek/BRIN, termasuk di dalamnya LBM Eijkman yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.
Sejak peleburan itu, nasib para pegawai LBM Eijkman menjadi sorotan. Status puluhan peneliti LBM Eijkman menjadi terkatung-katung pasca peleburan. Padahal para pegawai itu adalah orang-orang dengan intelektual dan skill yang cukup tinggi, yang selama ini berkontribusi terhadap kemajuan ilmu dan teknologi di negeri ini. Bisa dikatakan mereka adalah orang-orang cerdas, kritis, dan memiliki segudang potensi. Jika negara ini bisa memberdayakan mereka dengan baik, tentu negara ini bisa menjadi negara yang besar dan maju dari aspek riset dan teknologinya.
Realita ini terjadi tentu tak bisa dilepaskan dengan mekanisme dan sistem politik yang diterapkan saat ini. Keputusan politik yang berbasis kepentingan para elite terkesan telah mengambil seluruh komando di negeri ini. Sama persis dengan kondisi saat pandemi Covid-19 berlangsung. Saat itu komandonya bukanlah bidang kesehatan yang memahami dengan jelas seluk beluk penularan Covid-19.
Jika ditelaah, dengan penerapan sistem kapitalis demokrasi ini, semua sangat memungkinkan terjadi. Selama hal itu sesuai dengan kepentingan negara-negara besar yang men-drive berbagai kebijakan kepada para penguasa boneka, maka kebijakan apapun harus landing. Tanpa peduli bagaimanapun ending-nya. Nasib para pegawai yang terkatung-katung itu kemungkinan juga takkan bisa berlanjut dengan lebih baik.
Sistem kapitalis demokrasi memang tak mampu membedakan antara riset sains murni dan teknologi dengan riset pemikiran yang memiliki sudut pandang tertentu. Seharusnya riset yang berkaitan dengan sains murni dan teknologi diberi kebebasan dan harus lepas dari pengaruh politik. Sebab riset semacam ini basisnya adalah ilmu pengetahuan yang sifatnya universal dan bisa diterapkan oleh siapa saja dan dimana saja. Karena itu seharusnya berbagai kepentingan politik tidak boleh campur tangan dalam pelaksanaan riset semacam ini.
Tentu berbeda dengan riset terkait pemikiran yang mengandung sudut pandang tertentu. Negara harus memastikan bahwa riset-riset semacam ini memang hanya boleh dilakukan dan dikontrol oleh lembaga negara. Sebab jika tidak, maka riset-riset semacam ini justru akan membahayakan negara.
Dalam sistem Islam, riset terkait sains dan teknologi ini diberi ruang yang sangat luas. Cukuplah kiranya menyebut nama-nama, seperti Jabir bin Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, ar-Razi, al-Farabi, at-Tabari, al-Biruni, Ibnu Sina, dan Umar Khayyam sekadar untuk menunjukkan kemajuan sains dan teknologi Islam pada masa keemasannya. Tak seorang pun, baik di Timur ataupun di Barat, yang meragukan kualitas keilmuan mereka.
Adalah Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah di masa Bani Abbasiyah yang sangat dikenal mencintai ilmu. Di masanya, ilmu pengetahuan Islam berkembang sangat pesat. Dia pun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai akademi ilmu pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.
Al-Makmun juga mendirikan lembaga lain, yakni Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Sayangnya, pada saat itu kajian-kajian teologi liberal juga berkembang. Pemerintahan Al-Makmun menjadi tercemar lantaran ia melibatkan diri sepenuhnya dalam pemikiran-pemikiran teologi liberal, yaitu Muktazilah. Belajar dari sejarah inilah, maka riset yang terkait dengan pemikiran memang sepenuhnya harus dipastikan tidak akan mengganggu kondisi politik negara.
Sayangnya sistem kapitalis demokrasi yang sedang berjalan ini tak mengenal pemetaan itu. Sistem ini hanya memandang keuntungan sebagai target utamanya. Karena itu semua kebijakannya tak pernah ada yang memihak rakyat. Wajar, karena memang sistem ini adalah sistem yang rusak buatan manusia. Sebenarnya sistem ini sudah tak lagi layak untuk diterapkan. Cukup sudah, korban sudah terlalu banyak. Tinggal Islam satu-satunya harapan. Waallahu a’lam.
Kamilia Mustadjab.
0 Komentar