Selama ini masyarakat kebanyakan menyangka bahwa wali songo adalah generasi pertama penyebar Islam di Jawa. Padahal sesungguhnya jauh sebelum wali songo datang, terdapat ulama telah mendahului mereka.
Kisah mengenai dirinya didapat dari peninggalan yang berupa petilasan (maqom) tempat yang pernah ia kunjungi yang mayoritas terdapat di gunung-gunung. Selain itu keberadaan ulama ini sering disebutkan dan menempatkan cerita yang istimewa dalam babad (sejarah), serat (ajaran-ajaran dan disampaikan dalam kisah berhikmah), juga suluk (biasanya berisi dzikir dan sebagainya).
Seperti diungkap oleh sejarawan, penulis ‘Atlas Walisongo K.H. Ng. Agus Sunyoto, M.Pd di chanel Youtube NU online ia katakan bahwa dalam kitab musarar dikisahkan saat itu sultan Al Ghaba dari negeri Rum mengirimkan puluhan ribu orang untuk datang ke tanah Jawa. Ternyata mereka banyak yang terbunuh begitu pula rombongan kedua.
Kemudian didatangkanlah para ulama yang dianggap mempunyai karomah, dari mereka juga banyak yang wafat. Namun ada satu yang masih hidup, ialah Syekh Subakir, yang nama aslinya adalah Sayyid Muhammad al Baqir.
Dirukyahnya Tanah Jawa
Diceritakan bahwa saat itu di nusantara banyak yang menganut ajaran Tentrayana. Sedangkan dalam ajaran tersebut terdapat upacara Pancamakara (makan makanan berdaging, ikan yang hidup di air, minum minuman keras, seks bebas dan terakhir setelah urusan perut dan syahwat terpenuhi dan tidak ada nafsu lagi, kemudian mereka bersemedi).
Mereka meyakini bila melakukan langkah-langkah di upacara tersebut kemudian bersemedi, dipercaya semua hal yang abadi akan turun ke bumi. Dalam banyak catatan, orang-orang yang mengamalkan ajaran Tentrayana ini mempunyai kesaktian yang tinggi, seperti kebal terhadap senjata.
Kemudian ditingkat yang paling tinggi dari Pancamakara itu ternyata lebih mengerikan lagi. Makanan berdaging diganti dengan daging manusia, ikan diganti dengan ikan gembung yang beracun. Minuman keras diganti dengan darah manusia. Begitulah, upacara Pancamakara ini menjadi ritual penyembelihan manusia yang diceritakan dari beberapa prasasti. Menurut Agus, para raja pun juga melakukan ritual yang demikian.
Dengan banyaknya kemaksiatan yang merajalela, pastinya tidak membuat tentram masyarakat di sekitar, sehingga Syekh Subakir merukyah tanah Jawa. Sejarawan muda, Nurfajarudin mengatakan bahwa, dirukyahnya Tanah Jawa menurutnya adalah kode. Bukan hanya ditujukan pada mahluk halus yang bersemayam, namun bisa juga yang dimaksud adalah sistem yang ada di Jawa saat itu jauh dari syariat yang menjauhkan dari kebaikan.
Petilasan Syekh Subakir ini banyak terdapat di gunung-gunung, yang juga terdapat di gunung merapi. Oleh karenanya ditengarai bahwa beliau adalah ahli geografi, sosiologi yang juga historian, karena saat itu kebudayaan Islam lebih tinggi daripada Jawa.
Di bekas tempat ia merukyah tersebut dinamakan petilasan Syekh Subakir yang disebut makam Dhowo dan di sana bukan merupakan makam beliau. Termasuk di gunung Tidar, Magelang. Hal tersebut yang menjadi legenda dan mengakar di Jawa.
Kedatangan Syekh Subakir ke Tanah Jawa
Datangnya Syekh Subakir ini karena dikirim oleh Sultan dari negeri Ngerum. Kosakata Ngerum di Jawa merupakan tokoh tertinggi, dipuja oleh masyarakat Jawa karena ia merupakan penguasa dunia. Bahkan Denys Lombard, sejarawan ketimuran juga menulis demikian.
Menurut Nurfajarudin, memang terjadi bayak perdebatan kapan tepatnya Syekh Subakir berkunjung ke tanah Jawa. Namun dalam kitab musarar, karya Pangeran Wujel, murid dari Sunan Bonang begitu juga dalam kitabnya Raden Ronggowarsito, dikisahkan bahwa Syekh Subakir ini lebih tua dari era Wali Songo, sekitar abad 10-13 M. Ada juga yang mengatakan bahwa ia datan pada masa raja Samaratungga dari dinasti Syailendra.
Dari sini terdapat dua pelajaran, pertama, Syekh Subakir merupakan pelopor dakwah, bagaimana beliau datang jauh ke tanah Jawa untuk berdakwah. Beliau tidak hanya datang ke wilayah pesisir, namun ke pedalaman Jawa yang hutannya tentu lebih rapat. Kedua, dahulu kala ada institusi Islam besar yang mengemban dawah ke seluruh dunia termasuk tanah Jawa yang juga dicatat oleh nenek moyang bangsa Indonesia.
Sehingga kisah tentang Alghoba dari negeri Turki ataupun sultan Ngerum dari negeri seberang, sudah tercatat di banyak catatan sejarah dari nenek moyang di Nusantara. Maka bila masih ada pernyataan bahwa nusantara tidak berhubungan erat dengan Ottoman, lebih baik bacalah catatan-catatan sejarah nusantara. Wallahhu’alam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar